POTPOURRI

Ekspresi Anti-Semit di Pekuburan Tua Yahudi di Perdesaan Prancis

“Orang-orang Yahudi yang selamat dan kembali ke rumah setelah 1945, mendapati bahwa para tetangga mereka tidak mau menyerahkan apartemen dan perabotan yang mereka rampas dengan bantuan Jerman,”kata Raphäel

WESTHOFFEN, Prancis— Kebencian kadang mengalahkan akal sehat. Atau, barangkali, bagi sebagian orang akal sehat mudah-mudah saja dikalahkan manakala kebencian telah memuncak.

Itu yang terjadi, misalnya, di Westhoffen, Prancis.  Di sebuah pemakaman tua Yahudi yang lebih dari 200 tahun umurnya, orang-orang yang telah kehilangan akal sehat merusak nisan-nisan tua yang ada. Melaburinya dengan tanda Swastika—bukan tanda Hindu, melainkan tentu saja lambang Nazi, yang untuk menghapusnya butuh waktu, sabar dan tenaga ekstra.

Desember lalu, pemakaman tua kalangan Yahudi di Westhoffen, sebuah desa yang sepi di Alsace, itu dirusak lagi. Dengan fakta tak ada lagi Yahudi di desa tersebut, orang-orang dengan otak yang mungkin terselip sebesar biji kacang di kepala yang penuh dengan kesombongan itu  dengan gampang melakukannya. Tahun lalu ada sekitar 50 insiden serupa dengan target kebencian orang-orang Yahudi di Alsace, tempat hunian orang-orang Yahudi  Prancis sejak Abad Pertengahan. Pemakaman—yang tak lagi bertambah penghuni, Gedung sekolah, juga dinding desa, tak luput dari pulasan swastika, atau gumam tak jelas yang merujuk kepada Kekaisaran Reich Ketiga.

Pekuburan Yahudi yang penuh vandalisme swastika Nazi

Di Pemakaman Westhoffen setidaknya  107 nisan dirusak, begitu pula sebuah pemakaman Yahudi di Quatzenheim, sebuah kampung di timur Westhoffen, 96 nisan rusak atau raib.

Sekitar 80 tahun lalu Alsace dianeksasi Nazi Jerman, dan tentu para pejabat setempat pun menjadi atau lebih Nazi dari orang-orang Jerman itu. Saat itu swastika terlihat di mana-mana, berkibar atau terpasang di dinding-dinding gedung. Orang-orang Yahudi disingkirkan, dideportasi, tak jarang pula dibunuh.

Tapi otoritas lokal hari ini tak bisa menoleransi manakala kuburan Yahudi kuno yang tersisa di Prancis kontemporer itu dirusak dengan simbol Nazi. Mereka pun mengambil langkah berikut: mengorganisasi sukarelawan untuk berpatroli di 67 sisa-sisa peninggalan komunitas Yahudi di Alsace, termasuk pekuburan tersebut, dan melindunginya dari ancaman para perusuh.

Ada 20 relawan. Mereka terdiri dari para pensiunan guru, petani, ibu rumah tangga dan kalangan siswa. Tentu saja, tak ada di antara relawan itu yang bermimpi jadi komisaris sebuah BUMN di Prancis. Bahkan di sana tak ada seorang pun Yahudi, yang katakanlah, bisa mempertinggi simbolisasi tolerasnsi antaragama yang ada.  Ketika bertugas, semua relawan itu memakai lencana besar—Pin barangkali, bertuliskan ‘Guardians of Memory’.

“Menghadapi semua ini, saya tak ingin hanya mengatakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu, untuk bertindak secara konkret melawan semua ini. Kami mencoba menghentikan semua, serta untuk menyampaikan pesan bahwa tindakan-tindakan seperti ini benar-benar memperkuat masyarakat sipil,” kata Axel Imhof, seorang pendeta Protestan berusia 28 tahun yang telah mendaftar sebagai relawan di desanya, Lauterbourg.

Bahkan sebelum kelompok itu diresmikan, beberapa sukarelawan tinggal di sebelah pekuburan yang ada untuk mengawasinya lebih intens.

“Saya punya teman yang orang tuanya tidak kembali setelah perang selesai,” kata Lise Tornare, 75, menjelaskan mengapa ia dan suaminya, Robert, berkomitmen untuk melindungi pemakaman Yahudi berusia 200 tahun di depan pintu mereka di Wintzenheim, di luar kota Colmar.

Swastika di mana-mana, di Prancis juga di Jerman.

Patroli adalah upaya simbolis, penuh dengan ambiguitas. Tidak ada relawan yang berpura-pura akan mencegah hal buruk yang telah berulang kali terjadi, dan diduga dilakukan (pula) oleh penduduk setempat. Beberapa dari kuburan tua yang ringkih itu terisolasi di tengah hutan Alsatian. Pihak berwenang hingga kini pun belum menemukan pelaku insiden tahun lalu.

“Dalam beberapa hal, ada keheningan (soal itu) dalam populasi sekitar,” kata Freddy Raphäel dari University of Strasbourg, seorang sejarawan Alsace Yudaisme. “Tidak mungkin hal seperti itu terjadi di desa tanpa ada yang mengetahuinya.”

“Sayangnya,” kata dia,” Saya membandingkan hal ini dengan heningnya orang-orang yang diam ketika orang-orang Yahudi diusir pada tahun 1940.”

Setidaknya pada tahap awal, tawaran untuk membantu tidak kurang. “Kami pikir itu akan menjadi rumit,” kata Laurent Schilli, yang mengepalai Badan Pengelola Sinagoge Colmar dan mengorganisasi para sukarelawan dengan pihak berwenang setempat. “Tapi kami cepat sekali memiliki 20 orang sukarelawan.”

Namun Raphäel mencatat, kecepatan datangnya relawan baru kini telah melambat, dan jaringan tersebut belum terbentuk di wilayah Bas-Rhin, tempat sebagian besar insiden terjadi. Sukarelawan baru bisa beroperasi di Haut-Rhin, wilayah Alsatian lainnya.

Wajar bila Schilli pun masih khawatir pekuburan yang ada masih jauh dari aman. “Pertanyaan sebenarnya bukan siapa yang melakukannya, tetapi pemakaman mana yang  berikutnya akan disentil,” kata dia. Dirinya tahu, yang terbaik yang bisa mereka lakukan adalah mencegahnya. Tetapi mencegah hal itu terjadi lagi, dia pun mengaku tak tahu bagaimana.  “Kami bisa memperlambat, tetapi tidak bisa menghentikannya,” kata dia.

Tentu saja, otoritas keamanan di sana mengatakan bahwa sikap anti-Semitisme tidak lagi menjadi ancaman signifikan di Alsace. Namun orang-orang Yahudi tidak begitu yakin.

 “Tentu saja, itu ada di Alsace,” kata Francine Weill, yang kerabatnya dimakamkan di pemakaman Westhoffen.  Dia menatap kuburan yang baru saja dibersihkan, lereng batu nisan membentang ke kebun-kebun anggur di luar desa. Lorong-lorong rumput yang tak terawat dan tulisan-tulisan buruk dengan spidol, tonggak-tonggak batu yang tertutup lumut, seolah berbicara kepada tentang dunia orang-orang Yahudi hilang di sini.

Weill masih bisa mengingat cerita bahwa kakek neneknya hanya diberikan waktu satu jam untuk meninggalkan rumah mereka pada bulan Juli 1940.

Maurice Dahan, president of a Jewish community group in the Strasbourg area, said part of the problem was that “after the war our region didn’t face up to its past,” particularly the role of those who fought for the Germans.

Maurice Dahan, presiden kelompok komunitas Yahudi di daerah Strasbourg, mengatakan bagian dari masalahnya adalah bahwa,”Setelah perang wilayah kami tidak melihat masa lalu”, khususnya peran mereka yang berjuang untuk Jerman. “Orang-orang Yahudi yang selamat dan kembali ke rumah setelah 1945, mendapati bahwa para tetangga mereka tidak ingin menyerahkan apartemen dan perabotan yang mereka rampas dengan bantuan Jerman,”kata Raphäel. Kenangan sejarah itu membuat apa yang terjadi di masa kini semakin menyakitkan.

Dalam putaran pertama Pemilihan Presiden Prancis 2017, Front Nasional sayap kanan menyapu perdesaan Alsace. Kemenangan mereka membuat pihak berwenang di sana sangat peka terhadap apa yang oleh Raphäel disebut ‘hubungan yang sulit’ dalam fakta historis kawasan itu dengan orang-orang Yahudi. Kini, ekstremitas dari organisasi-organisasi supremasi kulit putih telah muncul secara teratur di sana, bahkan telah ada pertemuan sayap kanan di Strasbourg.

Aparat yang mengurus ‘Guardians of Memory’ maupun  para sukarelawan sendiri tidak ingin orang-orang berpikir bahwa hanya itu yang ada di Alsace. “Urusannya tak hanya serangan terhadap kuburan,” kata Philippe Ichter, pejabat regional yang membantu kelompok Guardians. “Itu adalah tindakan perlawanan,”kata Ichter.

Patroli Guardians of Memory

Beberapa waktu lalu, di pemakaman Wintzenheim, keluarga Tornares, pensiunan karyawan sekolah, lalu Lalang di sebuah nisan merah yang sudah lapuk dimakan abad. Pada nisan itu tertulis tulisan Ibrani, berbunyi,” Di sini bersemayam seorang pria berharga, sederhana dan lurus,” untuk Jacques Wurmser yang meninggal 25 Maret 1840. Keluarga Tornares kelihatan seolah pekuburan itu tak lebih dari halaman belakang rumah mereka.

“Itu karena persahabatan dengan komunitas Yahudi,”kata Nona Tornare tentang keputusan mereka untuk menjaga kuburan secara informal, jauh sebelum mereka direkrut. “Anda tahu, ketika Anda merawat suatu tempat selama 40 tahun, itu akan  menjadi seolah taman bagi Anda,”kata dia.

Tapi sikap dan penghinaan masa lalu masih berbaur di masa kini. Tidak semua stereotip telah hilang, dan ekspresi dari sindiran anti-Semit masih dapat diterima secara sosial di Prancis.

Sebuah lubang botak besar di tengah batu-batu nisan di Pekuburan Wintzenheim adalah saksi bahwa di hari-hari akhir Jerman mundur di tahun 1945, mereka memaksa penduduk desa untuk menggali lobang di antara nisan, bahan di kuburan untuk menghalangi laju tank-tank Amerika yang mengejar. Penghalang itu tidak pernah digunakan. Tetapi penduduk Wintzenheim, tempat tinggal orang Yahudi sejak abad ke-15, tidak pernah mengembalikan batu-batu nisan yang dicopoti itu. Setelah perang, mereka menggunakannya sebagai hiasan di dinding kebun, atau bahkan sebagai paving stone. Bayangkan!

Di pemakaman Yahudi di Grussenheim, di tengah-tengah ladang sayur di pinggiran kota, Sylvain Sutter, seorang petani, telah mengurus pemakaman sebelum inisiatif Guardians dimulai. Ia telah mengurus dan memelihara pemakaman itu bertahun-tahun sebelumnya, membantu para pedagang yang kerabat mereka dimakamkan di sana. “Jadi bagi saya, ini tidak banyak berubah sama sekali,” kata Sutter. [ditulis dengan bahan tulisan Adam Nossiter, kepala biro The New York Times di Paris]

Back to top button