POTPOURRI

Riwayat Penemuan Situs Sejarah Gunung Susuru Kertabumi Ciamis

CIAMIS (JAWA BARAT) — Nama Gunung Susuru mencuat ke permukaan tidak lepas dari peranan H. Djaja Sukardja saat menjabat kepala seksi Kebudayaan Depdiknas Ciamis tahun 2000, yang saat itu sedang  menyusun buku ‘Sejarah Kota Banjar’.

Gunung Susuru sebagai patilasan Kerajaan Galuh Kertabumi dijadikan dasar pertimbangan karena Singaperbangsa I yang merupakan cicit Prabu Dimuntur, penguasa Kertabumi,adalah tokoh yang  memindahkan pusat pemerintahan dari Galuh Kertabumi ke Banjar Pataruman.  Sehingga Singaperbangsa I dianggap sebagai peletak dasar berdirinya kota Banjar.

Maka untuk memenuhi kelengkapan data yang tengah dikumpulkan, H. Djaja Sukardja menugaskan Penilik Kebudayaan Cijeungjing yang bernama Deni SIP untuk terjun langsung ke lokasi dibantu oleh Bah Adang sebagai sesepuh setempat yang mengetahui keadaan Gunung Susuru sejak masih kecil.

Sebelum Belanda menerapkan Cultuurestelsel di Galuh, Gunung Susuru merupakan kawasan hutan lebat yang sudah disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Bagian kaki bukit Gunung Susuru dikelilingi rapat oleh pohon susuru, yaitu sejenis kaktus yang tumbuh merambat dan setiap batangnya  saling menjalin sehingga membentuk pagar yang sulit ditembus.

Oleh karena itu banyak binatang liar di kawasan Gunung Susuru seperti babi hutan, rusa, kijang, landak, monyet dll. Sebagai kawasan yang disakralkan masih masyarakat yang melakukan ritual pemujaan walau saat itu agama Islam sudah berkembang pesat.  

Oleh karena itu ketika Kanjeng Prebu berkuasa dan syiar Islam semakin ditingkatkan, tradisi religi yang dianggap bersebrangan dengan akidah Islam dikikis secara perlahan dengan pendekatan yang bijak.

Saat tanam paksa diberlakukan abad 19 M, maka Gunung Susuru dijadikan perkebunan jati oleh belanda untuk menyuplai kebutuhan kayu di Galuh yang saat itu tengah membangun berbagai sarana umum. Namun karena pertumbuhan jati di Gunung Susuru kurang berkembang karena lambat pertumbuhannya maka kemudian terbengkalai tidak terurus.

Seorang geolog dan naturalis, DR.R.D.M.Veerbek  (1845-1926) dan van Kinsbergen yang berkunjung ke Gunung Susuru sekitar awal abad 20, melihat Gunung Susuru dalam keadaan rusak sehingga ia menyebutnya Kabojoetan is thans ontredderd (kabuyutan sekarang rusak).

Kabuyutan yang dimaksud Veerbek adalah punden berundak Gunung Susuru. namun ia dan van Kindsbergen sempat memotret dua artefak yang di Gunung Susuru yaitu sebuah arca tipe Pajajaran dan lumpang batu.

Pohon-pohon jati yang tumbuh di masa berikutnya tumbuh kembali dari tunas dari pohon yang sudah ditebang sehingga kawasan tersebut rimbun kembali. Keadaan itu masih berlangsung sampai  1960. Dan kegiatan muja sebagai media ngalap berkah leluhur digantimenjadi ziarah ke makam Prabu Di Muntur.

Di Gunung Susuru, ritual yang dilakukan disebut Ngabungbang, dilaksanakan pada malam Jumat dan Senin Kliwon, siang harinya dilanjutkan dengan mandi di patimuan, sumur taman, Sumur Cikahuripan dan tawasulan di Makam Prabu Dimuntur.

Beberapa tempat lain yang disakralkan dan menjadi bagian dari kegiatan ritual diantaranya Sumur Malati, Sumur Batu, Cibeji, Curug Dengdeng, dan kabuyutan Jalaksana. Semua tempat-tempat sakral tersebut tersebar di 4 dusun, yaitu Nagrog, Sukamulya, Desa dan Bunder.

Setelah tahun 1960, Hutan Jati di Gunung Susuru mulai berkurang  karena kayunya dimanfaatakan untuk pembangunan desa. Seiring itu marak terjadi penebangan liar. Abah Adang kemudian berinisiatip meminta izin ke desa untuk membuka lahan Gunung Susuru menjadi lahan perkebunan dengan alasan daripada kayunya dicuri lebih baik tanahnya digunakan oleh warga yang belum memiliki lahan garap. 

Akhirnya Abah Adang bersama warga menebang semua pohon jati di Gunung Susuru dan tanahnya dibagi menjadi 75 kapling dengan total luas tanah 9 hektar. Oleh 75 orang petani lahan tersebut ditanami padi huma, palawija dan kelapa. Penanaman Palawija dilakukan selama 3 tahun dan dihentikan  setelah pohon kelapa tumbuh besar.

Saat pembukaan lahan tanah pertanian di Gunung Susuru, para penggarap lahan banyak menemukan struktur batu berupa balay dan berbagai artefak berupa gerabah dan keramik yang berlimpah. Struktur balay yang masih utuh membentuk teras yang berundak-undak  ditemukan di barat daya Gunung Susuru, yaitu di bobojong yang menjorok ke Curug Cipinang.

Dikawasan itu Abah Adang saat itu masih menyaksikan adanya struktur balai setinggi 1 meter membentuk ruang persegi dengan  panjangsekitar 3 x 4 meter namun kemudian dibongkar. Sampai saat ini struktur batu balay yang masih asli terdapat di kawasan barat daya Gunung Susuru.

Karena para penggarap tidak mengetahui tentang nilai sejarah maka banyak struktur balay yang rusak karena dibongkar untuk kepentingan lahan tanam. Namun Batu patapaan 1 sampai 4  tidak dibongkar karena sebelumnya sudah dikenal sebagai tempat-tempat yang disakralkan sejak dulu.

Kandungan artefak yang melimpah di kertabumi mulai terlacak setelah Deni SIP mendata berbagai benda sejarah yang menjadi koleksi Ma Elah, istrinya Bah Adang, yang dikenal sebagai indung beurang. Ma Elah banyak memiliki benda pusaka yang diantaranya didapat dari Gunung Susuru.

Maka penelusuran Deni SIP berlanjut ke Gunung Susuru dan hasilnya dilaporkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan melalui H. Djadja Sukardja, Kasi Kebudayaan Dikbud Ciamis yang kemudian meninjau lokasi tanggal 6 Oktober tahun 2000.

Kunjungan pertama para peneliti yaitu tanggal 7 Nopember 2000, Dr. Tony Djubiantoro sebagai Kepala Balar Bandung bersama timnya diantaranya Ir. Agus meninjau Gunung Susuru didamping H.Memet Slamet Asda II dari setda Ciamis. 27 Desember 2000, kembali berkunjung Dr. Tony Djubiantoro didamping Ir. Agus dan Drs. Nanang Saptono mengantar Dr. Mike Morwood Arkeolog untuk riset di Gunung Susuru.

Mike Morwood adalah dosen Australian Archaelogy yang terkenal karena menemukan Homo Floresiensis yang dirilis tahun 2004. Kemudian dari Februari sampai Agustus berturut-turut datang peneliti dan sejarawan, yaitu R. Gun Gun Gurnadi kemudian Ir. Agus, Dra. Endang Widyastuti dan Dra. Sudarti dari Balar Bandung.

Di Bulan Mei, Dr. Rchadiana Kartakusumah dari Puslit Arkeologi Departemen kebudayaan datang meninjau penelitian yang dipimpin oleh Ir. Agus.Dari tinjauan para ahli sejarah, terutama para arkeolog terhadap berbagai temuan di Gunung Susuru yang penting nilainya bagi kesejarahan maka tahun 2000 pengolahan tanah pertanian Gunung Susuru dihentikan.

Karena pentingnya Gunung Susuru bagi kesejarahan di Ciamis, Bah Adang meminta pihak desa untuk mencabut izin pengolahan tanah. Akhirnya semua tanaman di Gunung Susuru yang didominasi pohon Kelapa dan mengganggu struktur kuno kemudian ditebang habis, sehingga gunung tampak gundul.

Namun masyarakat Kertabumi kemudian menghijaukan kembali Gunung Susuru yang gundul dan gersang pada 11 Oktober 2000. Sekitar seribu orang warga bergerak membantu pemerintah untuk memulihkan Gunung Susuru. Di sepanjang 2000-2003 Gunung Susuru berubah total, dari lahan pertanian akhirnya menjadi ladang penelitian sejarah.

Hasilnya kini Gunung Susuru menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. Pohon-pohon Jati yang ditanam saat penghijauan kini sudah merindangi Gunung Susuru. Namun saat musim kemarau terjadi beberapa kali terjadi kebakaran akibat kekeringan.

Saat ini Gunung Susuru sudah dikembangkan dan menjadi salah satu satu objek wisata sejarah Kabupaten Ciamis. (pandu radea)

Baca Juga : https://jernih.co/potpourri/misteri-arca-lenggo-kerajaan-galuh-kertabumi-akhirnya-terpecahkan/

Back to top button