Puisi

5 PUISI AFNAN MALAY

SURGA KECIL

di kota hunian, rumahku terselip
antara tikungan besar pertigaan
ada jam-jam tertentu
jalan beradu cepat
atau bergerak
melambat

lolos dari tikungan
beberapa kawan
menunggu
bersulang
kami rayakan kebersamaan
kegembiraan dipotong-potong
seberapa nikmat yang
didapat piringku
salmon memerah
pipi

surga kecil
masuk lorong
mungkin kuhampiri
tanpa sengaja
tiba-tiba, “selamat ya bro
jangan bosan ulang tahun.”
diiringi makian-makian
jenaka, dipeluk malaikat
surga-surga kecil
buah tidak
digantung
musim

Jakarta, 25/No-24

*

CATATAN REDAKSIONAL

Salmon, Makian, dan Malaikat: Afnan Malay Menyulap Tikungan Jadi Surga

Oleh Irzi Risfandi

Ada banyak puisi yang mencoba menjelaskan apa itu kebahagiaan, ada pula yang mencoba menyihir langit agar tampak seperti rumah. Tapi jarang ada puisi yang berani bilang bahwa surga itu bisa terselip di tikungan kota, di antara salmon, makian jenaka, dan pipi memerah. Afnan Malay, dalam puisi Surga Kecil, tidak menulis tentang kesakralan dengan cara murung atau mengawang-awang. Ia menulisnya dengan gelak, dengan potongan piring, dan mungkin—dengan satu dua tegukan kopi atau anggur murahan. Surga versinya bukan destinasi spiritual, tapi semacam lintasan—tempat yang kita temui tanpa sengaja, lalu tersenyum sendiri setelahnya.

Afnan Malay adalah penyair yang punya kredensial cukup ajaib. Pencipta Sumpah Mahasiswa tahun 1988, sarjana hukum dari UGM, sempat kuliah Sosiologi tapi tak selesai tesis—dan itu mungkin justru menyelamatkan puisi-puisinya dari jebakan metodologi akademik yang terlalu kaku. Ia penyair yang rajin residensi: dari Chili ke Kazakhstan, dengan sajak yang mengendap dari Reformasi ke reformasi yang entah kapan tuntasnya. Puisinya tersebar di berbagai antologi, dan dalam buku-bukunya seperti Tukang Cukur Tuan Presiden, ia kerap bicara tentang negara, kuasa, dan tubuh warganya. Tapi dalam Surga Kecil, Afnan melonggarkan kerah bajunya, melepas sepatu formilnya, dan membiarkan puisi ini bernapas santai—seperti Jumat sore yang malas ditutup.

Puisi ini bekerja dengan potongan visual yang tak muluk. Kita diajak masuk ke kota hunian, sebuah rumah di dekat pertigaan. Lalu kehidupan mulai menyelinap dalam bentuk ritme lalu lintas, teman-teman yang bersulang, makanan yang dipotong-potong, dan salmon yang entah kenapa membuat pipi seseorang memerah. Afnan menulis dunia dengan cara yang tidak mencoba menaklukkan, tapi menyodorkan fragmen kecil yang ternyata lebih dalam dari kesan awal. Bahkan baris “surga kecil / masuk lorong / mungkin kuhampiri / tanpa sengaja” terdengar seperti pengakuan jujur dari penyair yang tak sedang menggubah dogma, tapi sedang mencatat momen sederhana yang berhasil melampaui harapan.

Yang mencolok dari puisi ini adalah kemampuannya menjaga jarak antara keseriusan dan kejenakaan. Lihat bagaimana ia menggabungkan ucapan selamat ulang tahun dengan makian-makian jenaka dan tiba-tiba menghadirkan malaikat—bukan sebagai simbol religius, tapi sebagai figur yang memeluk sambil tertawa. Di tangan penyair lain, ini bisa jatuh jadi sentimentil atau sarkastik. Tapi Afnan justru membingkainya sebagai realisme puitik yang hangat, absurd, dan sedikit mabuk ringan. Ia tahu bahwa kadang surga datang bukan dari langit, tapi dari meja makan yang penuh tawa dan sedikit gosip basi.

Maka Surga Kecil bukan hanya puisi tentang ruang, tapi juga tentang ritme hidup urban yang tak kehilangan cinta. Ia bicara tentang kota, tapi bukan dengan keluhan atau kemegahan. Ia bicara tentang manusia, tapi bukan dengan drama atau deklarasi. Puisi ini seperti lorong sempit yang mendadak mengembang karena sebuah pelukan atau tawa yang tulus. Dan saat kamu selesai membacanya, kamu sadar: oh, mungkin kamu juga pernah melewati surga kecil semacam ini. Tapi bedanya, kamu tidak sempat menuliskannya. Untung ada Afnan Malay.

2025

*

PENYESALAN KECIL

ketika ditanya sahabat
sama-sama menjemput
renta
penyesalan hidup, mata
redup lelaki itu mengingat
tahun yang
telah melupakan
dirinya

ia menyesal, pipa cangklong
jadi dibeli berwarna hitam
tersisa warna biru, semua asap
berwana hitam

biru lebih menarik, “hisapanmu akan
sampai, bergabung dengan
birunya langit.” keningnya
berkerut, kenapa
tidak ke penjual
yang lain?

pernah kuceritakan
tahun-tahun sengaja kulupa
bukan kepadamu, orang itu
menanggapi, hah, hanya
perkara kecil

lelaki itu memegang pipa
cangklong biru, matanya
terpejam, “orang itu sok tahu
benar
bagiku
perkara
besar.”

Jakarta, 25/Nov-24
* 

PENYANYI KECIL

penyanyi kecil
lagunya syair
tertatih-tatih menemukan
jalan yang dicari

suaranya tidak merdu ngilu
telinga terpana mendengar
penyanyi kecil
parau mengiris

ia, telunjuk pengingat pendengar
adakah sumbang yang sempurna?
hingga tidakmu berdiri,
lantang
menyeru

suara
penyanyi kecil
tak membuat
lena

Jogja, 29/Nov-2024

*

PIDATO KECIL

saudara-saudara,
paling seru dari
sebuah pidato adalah
tepuk tangan tanpa henti atas
sebuah angan-angan yang lepas
dari tangan, “nyaring bunyinya
menepuk angin,” hembus mulut bicara
yang tercatat, adakah?
kecil dikatakan besar
terdengar pengeras
suara

panjang pidato memucat kata-kata
lama pidato menjerat waktu waktu
orang-orang
berkerumun
mulut patuh, menganga
harapan-harapan
tergulung

saudara-saudara,
tinggi-tinggi diri
dilambung pidato
terhenti dihadang tepukan
tangan, “genggaman angin
berhembus-
hembus.”

Jogja, 3/Des-24

*

PUISI KECIL

sampaikah waktu
bukit-bukit tinggi terdaki
di atasnya bersandar pohon-pohon
kesana kemari memotret diri disimpan
kenangan, akan
kupandangi

melihat di bawah jejak tapak-tapak
pendakian berbekas melukisi tanah
dan belukar, semak melingkar
tinggal kenangan terbujur
leluasa tersimpan
masuk, ke
dalam
diri

Jogja, 8/Des-24

*

BIODATA :

Afnan Malay, penyair yang menetap di Yogyakarta, dikenal sebagai pencipta Sumpah Mahasiswa (1988). Ia merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), dan sempat menempuh studi Sosiologi Pascasarjana di kampus yang sama, meski tidak menyelesaikan tesisnya.

Ia pernah mengikuti program residensi puitika internasional atas dukungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, masing-masing di Chili (2022) dan Kazakhstan (2024). Selain karyanya tersebar dalam berbagai antologi bersama, Afnan telah menerbitkan beberapa buku puisi tunggal, antara lain:
Tuan Presiden dan Pelajaran Membaca (2020)
Tukang Cukur Tuan Presiden: Sajak-Sajak 25 Tahun Reformasi (2023)

Check Also
Close
Back to top button