Vaksin COVID-19 Johnson & Johnson Miliki Efek Samping yang Langka
Jika ada kemungkinan satu dalam sejuta orang penerima vaksin bisa terkena Sindrom Guillain-Barre, masihkah orang layak untuk divaksinasi? Ya iyalah…
Oleh : Trevor Filseth L
JERNIH– Pada hari-hari awal setelah pengembangannya, vaksin Johnson & Johnson digembar-gemborkan sebagai terobosan jitu dalam perang melawan COVID-19.
Vaksin ini pada awalnya dilihat sebagai alternatif yang menarik untuk vaksin Pfizer dan Moderna, karena dapat diberikan dalam dosis tunggal, sehingga dapat digunakan lebih cepat. Namun, sejak saat itu vaksin tersebut menjadi terkenal karena reaksi merugikan pada beberapa orang, sebagaimana dilaporkan melalui Sistem Pelaporan Kejadian Merugikan Vaksin dari Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), atau VAERS.
Vaksin Johnson & Johnson telah disetujui untuk penggunaan darurat pada Februari 2021 dan sejak itu telah diberikan kepada sekitar 13 juta orang Amerika Serikat. Namun, sejak itu, sejumlah orang telah melaporkan efek kesehatan yang merugikan -– sebagian kecil penerima, meski masih sangat banyak orang yang memilihnya sebagai alternatif dua dosis lainnya, Pfizer dan Moderna. Setelah selusin penerima vaksin Johnson & Johnson mengalami pembekuan darah yang langka pasca vaksinasi, penggunaan vaksin ini dihentikan sebentar pada awal April. Namun akhir bulan itu juga penggunaannya dibolehkan kembali.
Pada Senin lalu, Food and Drug Administration (FDA) menambahkan peringatan tambahan tentang potensi efek samping baru: peningkatan risiko sindrom Guillain-Barre. Ini adalah penyakit neurologis langka, di mana sel-sel saraf tubuh diserang oleh sistem kekebalannya sendiri.
Kondisi ini dapat menyebabkan kelumpuhan; meskipun biasanya berlalu dalam beberapa minggu, kerusakan saraf yang diakibatkannya seringkali tidak dapat diubah. Menurut CDC, rata-rata ada 3.000 hingga 6.000 kasus per tahun, sebagian besar menyerang pria dewasa di atas usia 50 tahun.
Sindrom Guillain-Barre telah dikaitkan dengan vaksin lain yang lebih tua, seperti vaksin flu babi pada tahun 1976. Namun, dalam kasus itu, peningkatan risiko Guillain-Barre secara statistik tidak signifikan.
Yang terpenting, secara statistic hal itu juga tidak signifikan untuk vaksin Johnson & Johnson. Sementara seratus laporan sindrom Guillain-Barre pada penerima J&J telah diajukan, dari 13 juta dosis, jumlah ini merupakan kesalahan pembulatan. Peluang seseorang untuk mengembangkan komplikasi neurologis yang serius dari vaksin J&J tampaknya, secara harfiah, satu dari sejuta.
Karena itu–dan karena beberapa penyintas COVID-19 kemudian mengembangkan sindrom Guillain-Barre sendiri, yang mengindikasikan virus itu juga dapat menempatkan orang pada risiko yang lebih besar-– pejabat kesehatan sangat setuju bahwa jauh lebih aman untuk menerima suntikan vaksin tersebut daripada menolaknya. [The National Interest]
Trevor Filseth adalah penulis desk luar negeri dan current affair The National Interest.