Solilokui

Bahasa dan Keselamatan

Istilah “keselamatan” sering dirancukan dengan “keamanan”. Demikian juga antara “selamat” dan “aman”.

Penulis: Priyanto M. Joyosukarto

JERNIH-Mahasiswa sekolah tinggi teknik cukup beruntung bila untuk mata kuliah Bahasa Inggris Teknik diampu oleh sarjana teknik (ST) yang paham Bahasa Inggris karena umumnya di universitas mahasiswa diajar oleh sarjana bahasa (SS) yang sudah pasti kecil kemungkinan paham persoalan teknik sehingga cenderung normatif dan menghindari topik-topik teknik.

Bagaimanapun juga Insinyur lebih mudah belajar bahasa Inggris dibanding SS belajar materi pelajaran teknik. Dosen ilmu-ilmu teknik bila bisa ngajar bahasa asing, khususnya Inggris dan Jepang bisa memudahkan transfer iptek dari luar negeri (LN).

Tapi sayangnya, standart operasional (SOP) pendidikan sering abai kompetensi rill dan lebih hormat kepada ijazah. Lebih konyol lagi kalau dekan dan kajurnya nepotis-main tabrak pakem.

Orang-orang teknik/ insinyur yang ahli bahasa asing tidak punya “tempat” mengajarkan ilmu bahasa asingnya di universitas karena menurut aturan itu jatahnya SS.

baca juga: Pecinta Aspal: Truk Pelan Jalannya (TPJ)

Para peneliti/ ilmuwan dan praktisi juga kalau menurut ketentuan tidak punya tempat untuk bisa mengajar karena mereka bukan dosen. Padahal ilmu dan textbook mereka bisa jadi tidak kalah bahkan lebih lengkap dibanding dosen, demikian juga akses keilmuan dan network profesionalnya.

Nampaknya itu bagian kecil saja dari irasionalitas dunia pendidikan. Mereka para peneliti/ ilmuwan itu biasanya para pegawai pemerintah yang sempat menikmati kuliah di universitas top LN.

Kedua dunia itu di negara kita masih terpisah tembok yang tinggi meski nyatanya sudah lama para ilmuwan ngasong ngajar di perguruan tinggi swasta.

Fakta lain, mahasiswa sekolah tinggi bahasa asing (STBA) ternyata juga lebih suka diajari Bahasa Jepang oleh sembarang sarjana lulusan Jepang daripada sekedar jebolan sastra Jepang PT domestik.

Itu karena bahasa terkait dengan budaya sehingga mereka yang sempat kuliah dan tinggal di Jepang tentu lebih mampu kontekstual berbahasa Jepang meski mereka insinyur sekalipun.

Pada suatu kesempatan wisuda sarjana sebuah STBA di hotel saya mendengar dari orang tua mahasiswa yang hadir. kata anaknya yang mahasiswa saya itu, saya termasuk dosen Bahasa Jepang favourite di kalangan mahasiswa padahal saya bukan lulusan fakultas sastra.

baca juga: Pecinta Aspal: Bahaya di Ujung Terowongan

Demikian juga, guru karate kalau belum pernah ke Jepang juga rasanya “belum lengkap” sehingga kurang pede. Contohnya, mereka yang pernah hidup di Jepang tentu lebih mampu mengucapkan “OSU” disertai gesture dan penghayatan yang lebih tepat dan mendalam.

Aturan sering menjegal kompetensi dan menghambat transfer iptek. Sekedar contoh, seorang SS pasti kesulitan membedakan antara area, region dan zone. Demikian juga to save, to secure, dan to store dalam kuliah IT. Atau translation, conversion dan exchange. Itu semua merupakan bagian dari komunikasi keselamatan.

Semua kata tersebut butuh pemahaman arti fisik lebih dari sekedar arti harfiah. Lebih buruk lagi kalua itu melibatkan penerjemahan bolak-balik dari Inggris-Indonesia-Inggris, bila melibatkan orang-orang yang berbeda bisa runyam lagi.

Juga untuk penerapan pada persoalan yang berbeda. Kalau anda habis nulis di laptop biasanya diikuti dengan “save” biar tidak hilang. Lantas anda dan anak-anak mengartikan kata “save” ssebagai menyimpan padahal maksudnya menyelamatkan file anda. Kata menyimpan (to store) sudah ada penggunaan lain yang lebih pas, yakni antara lain; menyimpan operating system di dalam hard disk, dll.

Untuk pengetahuan umum, kita juga sering merancukan antara “to save” dan “safety” dengan “to secure” dan “security” karena mengartikannya keduanya sebagai “mengamankan” dan “keamanan”.

Akibatnya, safety belt diterjemahkan sebagai sabuk keamanan; safe distance, jarak aman. Bila “sabuk keamanan” itu dibalik lagi ke istilah Inggris menjadi “security belt” atau “security perimeter” yang maknanya makin jauh menyimpang.

Pesan di balik itu: berhati-hatilah berbahasa/ berkomunikasi karena bila istilah anda tidak pas dan tidak benar bisa miskomunikasi fatal. Itu berlaku baik verbal, tulisan, maupun gambar pada semua urusan, dari yang sepele sampai super penting seperti perjanjian kontrak bisnis, masalah keselamatan, dan masalah keamanan. Terima kasih,

Priyanto M. Joyosukarto, KOMTRASS & TSS Founder/Nuclear Engineer/Industrial Safety&Security Lecturer/Kyokushin Karate Instructor; Kyokushin Karateka 4-th Dan/ IKOK Reg. No. 73.236 (1989)/M-TSA Inspirator & Motivator/Road Traffic Observer.

Back to top button