Solilokui

Catatatan Harian Covid-19 (7) : Dilema Moral

Darah kadang mengucur ketika jarum berhasil menemukan jalan ke pembuluh darah. Sprei merah terkena percikan, dan tentu saja tangan Nathan dan kawannya belepotan darah. Tidak saja tangan saya yang nyeri menahan coblosan jarum infus, tapi menempatkan hati saya pada dilema moral.

Oleh   : Dian Islamiati Fatwa

JERNIH– Pembuluh darah saya cukup lembut. Ini menyulitkan ketika harus mengganti jarum infus setiap 30-40 jam sekali untuk mencegah infeksi dan sering tertutup darah yang kental.

Seringkali jarum tidak menemukan jalan karena lembutnya pembuluh darah. Sehingga harus nyoblos di tempat lain lagi.

Pokoknya horor, kalau perawat sudah bilang cairan infus sudah tidak masuk lagi. Saya harus menenangkan diri, ketika mereka membawa peralatan cabut jarum infus dan mengganti yang baru.

Nathan, 24 tahun asal Lampung adalah perawat yang paling ahli dalam soal coblos mencoblos jarum infus. Tapi itu pun dia mengalami kesulitan, sehingga harus harus ditemani perawat lain membantu.

Ketika saya meringis nyeri, jangan tanya,”Are you okay?”  Pasti saya tonyor.

Perlu dua orang perawat karena pembuluh darah yang lembut

Darah kadang mengucur ketika jarum berhasil menemukan jalan ke pembuluh darah. Sprei merah terkena percikan, dan tentu saja tangan Nathan dan kawannya belepotan darah. Tidak saja tangan saya yang nyeri menahan coblosan jarum infus, tapi menempatkan hati saya pada dilema moral.

Is it morally right to put their lives in risk?

Nathan jelas menghadapi resiko terinfeksi ketika membersihkan darah di tangan. Bukan saja dengan saya tapi juga pasien lainnya. Meskipun sudah menggunakan APD lengkap. Bisa jadi virus menyelinap, sangat-sangat mungkin.

“Tidak takut tertular?”

“Sumpah kami sebagai perawat adalah membaktikan hidup untuk kemanusiaan khususnya kesehatan, Bu.”

Heroik mendengarnya. Anak muda yang penuh idealisme. Tapi hati kecilnya saya yakin menghadapi dilemma moral. Berbulan-bulan mengisolasi diri, tinggal di asrama sebagai orang di garis-depan dalam penanganan covid tidak bertemu keluarga agar  dapat melindungi keluarga dan pasien.

Hal yang sama juga menjadi dilemma bagi yang telah berkeluarga. Mereka tidak saja mempertaruhkan risiko terinfeksi berhadapan dengan orang-orang seperti saya— korban covid— tapi berisiko menginfeksi anak-anaknya, suami/istri atau ortu mereka yang sepuh.

Apakah tugas sebagai tenaga medis profesional harus mengesampingkan bakti dan kesetiaan kepada keluarga, ataukah mendedikasikan hidup untuk pasien?

Pada akhirnya Nathan dan tenaga medis lainnya memang tidak punya pilihan lain, seringkali memang harus turun tangan melayani pasien.

Barangkali saya adalah contoh pasien yang sangat-sangat beruntung. Naswir, suami Ella, terkena covid saat bertugas di Palembang beberapa waktu yang lalu. Ia menggunakan fasilitas RSUD Palembang. Dalam masa kritis Naswir saat demam tinggi, ia justru tidak mendapat perawatan yang maksimal. Dokter dan perawat tidak mau datang ke kamar meskipun tombol panggilan ditekan. Dengan APD yang terbatas, mereka takut tertular!

Sebuah pilihan yang wajar, sebab mereka juga punya hak untuk melindungi diri mereka, dan keluarganya karena tidak tersedia asrama akomodasi bagi tenaga medis Covid.

Dalam benak mereka pilihannya adalah: honoring the proffesion, melindungi keluarga ataukah melindungi diri. Posisi tenaga medis sangat mudah tertular dan menularkan.

Mereka tidak ingin pada akhirnya menutup layanan kesehatan di rumah-sakit  yang berdampak pada layanan kesehatan lainnya seperti yang terjadi di RSUD Probolinggo atau RSUD Samarinda Kaltim.

Tentu ada rasa bersalah dan shame karena tidak mampu memenuhi sumpah profesi sebagai dokter atau perawat.

Ini adalah contoh bagaimana dilemma moral yang dihadapi oleh para tenaga medis profesional yang berdampak pada keselamatan nyawa pasien. Khususnya institusi yang tidak siap secara resources dan logistik.

Jelas hal ini menambah stress tersendiri, sudah berkorban bekerja tak kenal lelah menyelamatkan nyawa pasien, namun pemerintah tidak cepat membuat kebijakan yang membuat para tenaga medis dapat bekerja dengan aman dan nyaman.

Lagi-lagi saya tidak mau terjebak dalam endless blaming game.

Nathan, suster Thea serta tenaga medis lain yang bekerja dalam krisis pandemi covid  telah memberikan pelajaran hidup cukup berharga bagi saya bagaimana menghadapi moral dilemma, bukan soal benar atau salah, tapi pada dua pilihan yang sama benarnya. 

Namun acapkali keberhasilan mereka menyelamatkan nyawa unnoticed and unce-lebrated.

Satu hal yang bisa saya lakukan sebagai pasien covid adalah rasa terima kasih tak terhingga telah dipertemukan dengan mereka.

Harapan saya pemerintah dan masyarakat luas juga memberikan dukungan moral atas dedikasi dan kerja keras yang luar biasa. Hal ini penting guna dapat meningkatkan rasa bangga (sense of pride)  atas peran tenaga medis yang telah dimainkan di masa krisis kesehatan saat ini.

Perjalanan masih panjang menghadapi krisis pandemi Corona. Apresiasi yang dalam akan meningkatkan energi positif dan kekuatan menghadapi tantangan pandemi covid yang lebih besar.

Thank you for being there, you are the angel of our world! [ ]

Check Also
Close
Back to top button