“Kawalat” Alias Kualat Zaman Moderen
Nasib Gunung Padang juga akhirnya tidak jelas. Dengan habisnya masa jabatan Presiden SBY (2014), hasil penggalian itu “teu hulu teu buntut”.
Oleh : H.Usep Romli HM
Istilah “kawalat” sudah terasa amat “nyunda”. Padahal merupakan kata serapan dari bahasa Jawa “kualat”. Artinya, kena tulah alias “katulah”, atau mendapat hukuman Allah SWT di dunia, akibat perbuatannya yang penuh dosa.
Kejahatannya bebas lepas dari cengkeraman hukum formal, namun tetap akan menemui hukum lain yang memang tidak dapat diukur dengan pasal-pasal kitab pidana. “Kawalat” adalah pasangan dari “doraka”, “katulah”, “hukumullah”, dan sejenisnya, yang berkaitan erat dengan hukuman bersifat spiritual.
“Kawalat” tidak hanya terjadi pada jaman dahulu kala saja. Pada zaman moderen juga, “kawalat” masih berlaku. Banyak contoh peristiwa, yang jika direnungkan dapat dikategorikan “kawalat”. Seperti kasus “operasi tangkap tangan” (OTT) oleh KPK terhadap beberapa pejabat publik, mulai dari bupati, walikota, gubernur, anggota DPRD/DPR dll. Mereka yang terkena OTT, benar-benar “kawalat” akibat perilakunya yang menyimpang dari norma kehidupan yang baik dan benar. Melanggar huku demi mengejar untung dengan cara “buntung”, berupa suap sogok, dan sejenisnya,
Banyak pula peristiwa “kawalat” yang dikaitkan dengan penodaan tempat-tempat “keramat”. Ternasuk merusak situs-situs purbakala bernilai sejarah. Contoh segar dalam ingatan, tahun 2002, situs purbakala Batutulis, Bogor, digali oleh Menteri Agama KH Dr.Said Agil Al-Munawar. Entah atas inisiatif siapa, Menag berani berbuat begitu. Tapi diduga keras, disuruh atau dilin-dungi “kekuasaan”. Mang Ayat (Prof.Dr. H. Ajatrohaedi, 1939-2006) guru besar FIB UI, dalam buku memoarnya “65-67 Catatan Apa Adanya” (2012), mengungkap kemungkinan “Palembang Connection” karena Menag se-”Palembang” dengan Taufik Kemas suami Presiden Megawati (2001-2004). Makanya dia leluasa mengobrak-abrik situs Batutulis tanpa izin pihak berwenang.
Menurut Mang Ayat, reaksi protes dari kalangan tokoh seni budaya Sunda atas penggalian tersebut, tak digubris sama sekali. Apa yang digali, dan apa yang dicari juga sama sekali tidak jelas. Tak mustahil dikaitkan dengan keinginan memiliki benda bernilai “mistik” yang berkhasiat untuk melanggengkan kekuasaan.
Tapi tampaknya tak menghasilkan apa-apa. Penggalian terhenti begitu saja. Bekas-bekasnya dibiarkan bongkar-bangkir. “Cul leos”. Yang mengherankan, orang setingkat menteri agama lulusan sebuah perguruan tinggi Saudi Arabia terkenal beraliran “Wahabi” yang anti khurafat, takhayul, bid’ah, nekad terang-terangan mencari benda yang dianggap berkhasiat istimewa.
Pada 2004, Said Agil Munawar, ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi dana haji. Dijatuhi hukuman beberapa tahun. Orang-orang menganggapnya “kawa-lat” akibat perkara Batutulis.
Penggalian situs purbakala yang dikaitkan dengan penguasa dan kekuasaan, terjadi pula tahun 2008-2010 di Gunung Padang, Cianjur. Disponsori Andi Arief, staf khusus Bidang Kebencanaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melibatkan beberapa ahli arkeologi dan komunitas paranormal, Gunung Padang dibongkar. Diopinikan, di situ terdapat emas gelondongan dan piramida yang berumur lebih tua daripada piramida para Firaun Mesir.
Polemik muncul antara yang pro dan kontra. Tapi proyek jalan terus. Maklum secara tak langsung mendapat dukungan istana. Bahkan Andi Arfief dkk, telah merencanakan penggalian-penggalian lain di beberapa gunung berbentuk piramida. Antara lain Gunung Sadahurip Garut dan Gunung Aseupan di Kabupaten Bandung.
Bupati Garut waktu itu, Aceng Fikri, sangat antusias menyambut rencana Andi Arief dkk. Beberapa kali ia mempresentasikan “piramida emas” Gunung Sadahurip di berbagai media cetak dan televisi. Sayang, sebelum ambisinya terwujud, ia keburu dimakzulkan akibat pelanggaran etika moral sebagai bupati (2012), setahun menjelang jabatannya habis.
Nasib Gunung Padang juga akhirnya tidak jelas. Dengan habisnya masa jabatan Presiden SBY (2014), hasil penggalian itu “teu hulu teu buntut”. Arkeolog dari Badan Arkeologi Nasional, Dr. Lufti Youndri, sangat menyesalkan kondisi Gunung Padang pascapenggalian. Banyak benda yang hilang, lubang-lubang dibiarkan menganga. Di samping itu timbul korban, beberapa penduduk sekitar harus mendekam di penjara akibat menentang penggalian yang merugikan kehidupan masyarakat setempat. [ ]