Kesaksian Seorang Penderita Covid-19 (Bagian 2)
Sesaat aku tidak bisa memahami perasaanku. Seperti kebas. Tak merasakan apa-apa. Berikutnya, perlahan otakku mencerna. Ada dua kematian di depan mataku. Berurutan. Hanya dalam hitungan menit. Tubuhku gemetaran.
Tulisan di bawah ini adalah kesaksian, Nina Susilowati, yang tengah dirawat di rumah sakit rujukan karena terpapar Covid. Karena panjang, kami bagi menjadi tiga tulisan. Semoga menjadi pelajaran bagi kita untuk semakin mawas diri, dan membuka hati bagi orang lain agar kita bisa melewati pandemi ini.–
Episode 5
Dua Pasien Seruanganku Dijemput Maut
Cerita tentang dua roommate-ku yang luar biasa di ruang isolasi covid aku tunda dulu. Mereka saat ini sudah keluar dari rumah sakit dan sedang isolasi mandiri.
Aku ingin bercerita dulu tentang dua pasien yang jadi ‘teman’ baruku dua hari ini. Pagi ini mereka dijemput maut dalam waktu berdekatan. Jenasah keduanya masih bersamaku di ruangan isolasi.
Ini bukan kematian yang terjadi pertama kali di depan mataku. Dulu kelas 5 SD aku menghadapi sakaratul maut eyang putriku. Jadi bukan hal baru.
Kondisiku saat ini baik-baik saja. Soal jenasah, nggak apa-apa kok. Aku tidak takut ditinggal sekamaran sementara ini. Aku tahu suster sedang menghubungi keluarga mereka. Aku hanya kudu sabar saja.
Aku juga dalam kondisi siap kalau mau diambil Gusti Allah. Wis pasrah. Tapi asli. Saat ini aku sehat. Tidak ada keluhan berarti. Jadi aku menulis ini dalam keadaan baik-baik saja. Hanya tadi lumayan gemeteran karena emosional, kok iya gerak cepat betul malaikat maut menjemput keduanya…hanya hitungan menit dan terjadi di depanku.
Sarapan belum aku sentuh. Ora kolu. Nggak bisa nelan. Nggak apa-apa. Aku juga tidak merasa lapar. Apapun, aku masih termangu dengan kejadian pagi ini.
Seperti biasa pagi ini suster masuk jam 05.00 WIB. Membawakan sarapan dan obat pagi. Dia meletakkan sarapan dan obat di meja kami masing-masing. Mejaku, meja sebelahku dan meja pasien seberangku.
Bersamaan, pasien sebelahku memanggil dia, sebut saja namanya LIA.
“Suster, seseg..”
“Baik Bu Lia, sebentar ya,” ujar suster yang kemudian menghampirinya. Memasangkan selang oksigen. Tapi, kemudian dia bergegas keluar ambil selang lain dan ventolin, dan segera memasangnya ke Lia.
Setelah selang ventolin terpasang baik, suster beranjak ke pasien seberang. Sebut saja namanya SRI.
“Bu Sri, Bu Sri… Maaf ya mau memasukkan susu lewat selang,”
Sri ini saat masuk dua hari lalu sudah dalam keadaan tidak sadar. Stroke. Meski tak sadar, hari pertama gelisah. Kaki dan tangannya bergerak terus meski lemah. setiap suster visit, namanya dipanggil sudah tidak merespon.
Hari berikutnya Sri lebih tenang. Dari jauh aku lihat nafasnya masih ada. Saat suster visit pun nadinya masih bagus, hanya suhu tubuhnya tinggi.
Semalam jam 23.00 WIB, tensinya masih bagus. Suhunya sayang masih tinggi. Dan pagi ini jam 05.00 pagi, susunya tak jadi dituang lewat selang infus. Suster malah bergegas mengambil EKG dan alat-alat lain. Suster kedua merendenginya.
Keduanya segera disibukkan dengan Sri. Semua alat mengindikasikan penurunan fungsi tubuh. Dari dialog kedua suster aku menangkap tensinya tinggal 60/30 dan terus drop. Tingkat oksigennya juga drop.
Dari kejauhan aku tahu Sri sedang meregang ajal. Hatiku mencelos. Tidak pernah mudah melihat kematian di depan mata.
Aku alihkan ke Lia. Nafasnya tersengal tapi masih teratur. Ventolin masih dihirupnya. Entah kenapa, hatiku mengatakan dia juga akan ‘hilang’. Aku perhatikan semakin lama nafasnya tak beraturan. Kepalanya terkulai.
“Suster, nafas Lia melambat,” ujarku ke kedua suster yang sedang melepaskan peralatan di tubuh Sri. Jelas Sri sudah meninggal.
Mendengar panggilanku, kedua suster langsung menuju ke tempat Lia. Semua alat diboyong mendekat ke tempat tidurnya. Keduanya sibuk memberikan pertolongan. Tapi lagi. Lia juga pergi. Tak bisa terselamatkan.
Hhhh…. narik nafas panjang
Sesaat aku tidak bisa memahami perasaanku. Seperti kebas. Tak merasakan apa-apa. Berikutnya, perlahan otakku mencerna. Ada dua kematian di depan mataku. Berurutan. Hanya dalam hitungan menit. Tubuhku gemetaran.
Tidak. Aku bukan sedang takut kalau nyawaku diambilNya juga. Aku pasrah kok. Dan aku tahu kesehatanku cukup baik hari ini. Cuma, melihat kematian ganda dengan cara seperti ini tetap meruntuhkan pertahananku. Kepengen nangis rasanya.
Emosional.
Aku tunggu sampai suster selesai dengan kedua jenasah. Melepas semua alat bantu. Merapikan jenasah. Dan akhirnya menutup kain pembatas.
Setelah mereka keluar. Ruangan sepi. Hanya ada aku dan dua jenasah yang senyap. Aku segera menelepon anakku. Nangis.
***
Episode 6
Jenazah Dipulasara di Tempat
Sedari pagi aku menunggu sendirian di kamar isolasi. Jenasah masih di tempatnya, tertutup kain pembatas.
Aku hanya bisa duduk diam. Sesekali membalas texting anak-anakku yang kuatir dengan kondisi simboknya ini, juga beberapa teman yang mencoba membesarkan hatiku. Terimakasih untuk semua doa dan semangat kalian. Aku sangat menghargainya.
Sejam…dua jam…tiga jam… Belum juga jenasah dipindahkan.
Waktu segitu terasa lama. Tapi aku juga jadi punya kesempatan merenung. Betapa hidup ini singkat. Kita tidak punya kuasa apa-apa kalau takdir kematian sudah jatuh.
Rayakan lah hidupmu sebaik-baiknya, Nina. Berguna lah untuk yang lain meski sekecil apapun.
Jam 11.30 WIB, kunci pintu dibuka. Empat orang masuk. Rupanya mereka yang akan memindahkan jenasah. Salah satu permisi menutup kain pembatasku, agar aku tak perlu melihat mereka memprosesnya.
Dari balik pembatas aku mendengarkan semua. Dan ini yang bisa aku tangkap berdasarkan indera pendengaranku:
Mereka mentayamumkan jenasah, mengafani, membungkusnya dengan plastik, memasukkannya ke peti mati, dan menyemprot peti mati dengan desinfectant. Semua dilakukan di kamar. Barulah peti mati didorong keluar. Kematian…
Semoga waktuku masih cukup untuk melihat anak-anakku menjadi orang. Semoga hidupku memberikan manfaat bagi orang lain.
Rayakanlah hidupmu teman. Selagi kau bisa, syukuri kehidupan. Jangan habiskan waktu untuk menghujat dan mencerca. Berbuatlah.
Selagi waktumu ada.
***
Episode 7
Tragikomedi Hasil Swab
Ah, ngomongin swab kok gemes-gemes gimanaaa gitu. Tahu swab kan? Itu salah satu cara untuk mengambil sekresi baik dari tenggorokan atau nasofaring, yaitu hidung bagian atas. Aku cerita proses swab Aku aja ya, yaitu lewat hidung.
Prosesnya menggunakan semacam cotton bud, cuma batangnya lebih panjang. Kita diminta tiduran dengan kepala mendongak, dan ‘cotton bud’ dimasukkan ke hidung jauh ke atas, diputar 8-10 kali untuk mendapatkan lendir yang ada di sana. Lendir inilah yang akan dianalisa dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR intinya adalah pemeriksaan untuk mencocokkan DNA atau RNA yang dipunyai virus. Ibaratnya seperti tes DNA, tapi untuk virus di tubuh kita.
Proses laboratoriumnya memakan waktu 3-4 hari. Itu normalnya. Tapi hari gini, saat ribuan hasil swab harus dianalisa, bisa dibayangkan antriannya? Sampai capai ati nungguin hasilnya…hiks.
Saat masuk IGD di RS Pasarminggu, semua gejala covid aku punya: panas tinggi di atas 38, batuk, sesak nafas, hasil thorax berkabut – ciri pneumonia. Lengkap.
Belum lagi komorbid kondisi bawaan yang biasanya memburuk seiring serangan virus, seperti diabetes melitus dan hipertensi. Aku punya semua itu. Plussss, ini plus-nya. Rontgen juga menunjukkan kalau ada pembengkakan jantung. Kurang lengkap apa coba.
Wis, Langsung rawat inap. Tidak ada persiapan apa-apa. Boro-boro baju, tanganku hanya menjinjing sebotol air. Anakku yang tidak boleh nungguin karena ruangan berupa karantina, langsung pulang. Baru paginya ia kirimkan supply baju dll.
Ok, balik ke swab. Sejak masuk kamar, aku berharap segera di swab. Biar muncul kepastian positif atau negatif Corona. Tapi yang ada, hari pertama, dua pasien sekamarku di swab, Aku tidak.
Saat pindah ke lantai 10, hari berikutnya, selang 3 hari kemudian, lagi, dua pasien di ruanganku di swab, aku tidak. Gondok lah. Dan sudah aku ceritakan kan ngamukku di tulisan sebelumnya kan?
Nah hari kelima, barulah aku di swab 1.
“Hasilnya berapa lama mas?”
“Paling dua – tiga hari, Bu.”
Ok, kita tunggu lah.
Empat hari kemudian yang ada kami seruangan di swab semua. Jadi teman-teman se kamarku sudah diswab 3 kali dan aku dua kali.
Sehari, dua hari, tiga hari berikutnya, salah satu pasien sebut namanya Lydia dinyatakan negatif, dan boleh pulang. Sementara aku dan Ria, pasien lainnya belum ada hasil swab.
Sehari setelahnya, Ria dapat vonis kalau dirinya positif Corona dan dipindahkan ke lantai 8, dijadikan satu dengan pasien lain yang sudah positif.
Lha aku?
Hari itu aku tidak mendapatkan jawaban, juga hari ke 9 dan 10. Dhuh, katanya 3-4 hari. Ini sudah hari ke 10, mana hasilnya??? Kepengen rasanya gedruk-gedruk kakiku saking gemas, tapi kok ya tidak lucu. Mosok rambut kepala sudah putih semua begini, akan berlaku kayak anak kecil yang diambil mainannya sih?
Jadi lah, nunggu lagi.
Eh, tapi jelang siang hari itu, aku yang intens texting dengan teman kuliah seangkatan dapat ide bagus. Ide dia dong, bukan ideku. Sayang dia tidak mau disebutkan namanya.
Mendengar kasusku, dia berinisiatif menghubungi Brigjen Pol Dr. Musyafak, sekarang jadi Wabendum PP Kagama dan Sekjen PP Kagama Ari Dwipayana. Lho, apa hubungan keduanya dengan kasus Corona?
“Beliau berdua itu masuk Satgas Covid-19 Kagama, Nin.”
Aku sempat melongo. Baru tahu kalau Kagama punya gugus satuan tugas khusus untuk menanggulangi bencana non alam ini..!
Keren.
“Aku akan minta tolong ke Pak Musyafak untuk melacak hasil swabmu. Beliau semestinya punya jalur ke situ. Kasih aku waktu.”
“Ok, semoga ada hasilnya,”
“Berdoa saja, at least kita sudah berusaha mencari tahu,” ujar temanku itu.
Tidak sampai satu jam, dia mengabari kalau Pak Mus, memang punya koneksi, dan akan mencari tahu posisi data swabku. Termasuk akan kontak kepala rumah sakit tempatku rawat inap, karena beliau mengenalnya dengan baik.
Secercah harapan membuncah. Aku harap-harap cemas.
Jelang Maghrib, tiba-tiba seorang dokter muda masuk diringi satu perawat.
“Bu, ibu ada keluhan (sakit) kah?”
“Tidak, dok. Rasanya aku sudah membaik. Aku tidak sesak nafas lagi dan merasa sehat.”
“Baik Bu. Karena tidak ada keluhan, dan hasil swab ibu negatif, bisa jadi ibu segera pulang. Tapi aku masih harus mengkonsultasikannya dengan dokter yang menangani ibu,” ujarnya sambil ke luar ruangan bareng suster.
Tak lama suster masuk lagi.
“Bu, sudah boleh pulang. Yang jemput diminta bawa fotocopy KTP, Kartu Keluarga, dan meterai 6.000 ya.”
Huwaaa, boleh pulang..!!!
“Boleh pulang sekarang sus?”
“Iya. Anak ibu yang jemput? Diminta datang saja setelah isya.”
Baiklah. Aku lantas menghubungi temanku.
“Bro, terimakasih. Pak Mus rupanya sudah berhasil melacak hasil swab aku. Hasilnya negatif nih. Barusan ada dokter datang, ngabari kalau aku boleh pulang. Sampaikan matur nuwunku ke beliau ya. Lemah teles, Gusti Allah yang mbales.”
“Yess, melu seneng, Nin. Segera akan aku sampaikan ke beliau.”
Jadilah.
Aku segera berkoordinasi dengan anakku, Rengga, minta jemput setelah isya. Skenarionya, meski dia jemput, tapi aku akan pulang dengan taksi. Akibat PSBB kan nggak boleh boncengan motor tuh. Senjata dia cuma motor.
Anakku yang di rumah, Sekar, kuminta menyiapkan ember dengan deterjen di kamar mandi, juga handuk dan baju ganti. Jadi nanti secepat aku masuk rumah, tanpa menyentuh apa-apa, langsung menuju kamar mandi dengan semua bontotan baju gantiku dari rumah sakit, agar bisa aku cuci semuanya dengan detergent.
“Aku sediakan det*l juga deh, jadi ibu nanti bisa mandi pakai itu,” kata Sekar.
Deal…!! Dan aku bergegas menata bajuku, memasukkannya ke tas plastik besar yang disediakan suster. Semua barangku termasuk tas harus masuk ke situ.
Selesai? TIDAAAAKKK..!!!
Tiba-tiba salah satu suster mengetuk pintuku. Dari balik kaca, dia bertanya berapa nomor WAku. Aku jawab lah. Dan dia berlalu.
Aku kembali duduk di tempat tidur saat anakku texting, protes kalau katanya kepulanganku dibatalkan.
Apa???????
HPku berdering. Aku angkat. Suara suster terdengan di ujung sana.
“Ibu, rupanya ada salah baca tentang hasil swab. Ibu dinyatakan positif, dan masih harus isolasi lagi.”
Hatiku langsung mencelos, berusaha mencerna sikon yang baru masuk ke benakku. Mau nangis rasanya. Harapan hanya diberikan untukku 15 menit saja..!
Sejenak termangu. Ya Allah, apa mauMu?
Seribu pertanyaan aku ajukan kepadaNya. Perasaanku meruyak sangat tak jelas, antara mau nangis, tapi juga mau tertawa. Situasi ini pasti akan seru kalau dipaparkan di panggung. Tragis, tapi juga komikal. Hidup rupanya sedang bermain-main denganku, dan aku pun tersenyum.
Ikhlas.
Gusti sang pemberi hidup, mengharuskanku menjalani isolasi lagi. Dia tidak ingin anak-anakku terpapar virus ini…
*Kutarik nafas panjang*
Ya Allah. Terimakasih sudah bersendau-gurau denganku hari ini. Aku tahu, semua kuasaMu.
Hanya kepadaMu aku menyembah. Hanya kepadaMu aku minta pertolongan.
*** [bersambung]