Menerima Risiko Terburuk
Seperti kita maklumi, beratnya penderitaan tidak murni berasal dari musibah atau kemalangan itu sendiri. Tetapi sebagian (besar) dibentuk oleh persepsi atau penyikapan kita terhadap kemalangan itu.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Buku “Feeling Good: The Mood Therapy” ditulis oleh Prof. David D. Burns, pakar psikiatri dari Universitas Stanford pada tahun 1980. Prof. Burns dikenal sebagai pemrakarsa suatu metode terapi yang dinamakan Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Saya membaca buku itu sekitar 20-an tahun lalu. Isinya tentang bagaimana “meluruskan” pikiran saat menghadapi kemalangan atau situasi sulit.
Seperti kita maklumi, beratnya penderitaan tidak murni berasal dari musibah atau kemalangan itu sendiri. Tetapi sebagian (besar) dibentuk oleh persepsi atau penyikapan kita terhadap kemalangan itu.
Ketika terjadi krisis ekonomi global tahun 1998 dan 2008 — misalnya, ternyata sikap orang berbeda-beda. Ada yang tenang. Ada yang depresi berkelanjutan. Bahkan banyak yang bunuh diri — British Journal of Psychiatry merilis laporan tentang peningkatan tren bunuh diri di Eropa pada periode itu. Peristiwanya sama, tetapi penyikapan orang per orang beragam.
Para agamawan sering menasihati kita untuk tabah dan sabar saat tertimpa musibah. Buku Burns ini menindak lanjuti itu, mendetailkan langkah-langkah kita dalam membentuk persepsi yang sehat saat menghadapi kemalangan — khususnya mengatasi depresi.
Buku ini sangat tebal, terdiri dari banyak sub-tema yang disusun padat, sistematis, dan taktis. Tidak mungkin saya ceritakan dalam beberapa paragraf saja. Saya hanya ingin mengambil satu trik penting — dan jitu — tentang cara menyikapi kemalangan, trik yang juga sering saya praktikkan untuk diri sendiri. Trik ini bertajuk “penerimaan terhadap risiko terburuk.”
Mengapa orang ketakutan dan cemas berlarut-larut saat tertimpa kesulitan? Sebab utamanya karena orang tak mau menerima (secara kognitif) risiko terburuk. Dalam pikirannya, orang sering berusaha menolak risiko itu, menghindari memikirkannya, atau denial. Masalahnya, semakin jauh kita menghindar, semakin gahar ketakutan dan kecemasan bersimaharaja.
Karena lagi pandemi, ilustrasikan saja kita seorang pengusaha yang terdampak langsung pandemi dan terancam gulung tikar. Langkah terapinya menjadi begini:
1) Langkah 1: kenali risiko. Apa risiko terburuknya? Kita menjadi miskin dan gelandangan? Ya nggak, lah. Itu bukan risiko terburuk. Itu kecemasan berlebihan. Risiko terburuknya adalah kita tak bisa lagi menggaji karyawan. Utang macet, dan kita dikejar-kejar kreditur atau debt collector.
2) Langkah 2: menerima risiko. Pikiran kita harus menerima risiko terburuk itu, jangan menolaknya. Tetapi ajaibnya, begitu kita bisa menerima itu, pikiran menjadi lebih enteng, plong. Beban kecemasan justru terangkat. Seperti ditulis di depan, sebagian (besar) penderitaan disebabkan oleh cara berpikir, bukan hanya oleh peristiwanya.
3) Langkah 3: mencari solusi. Setelah kognisi kita menerima potensi risiko terburuk itu, situasinya justru seperti tabir yang berhasil disingkapkan. Ternyata sisi kreatif kita justru menjadi lebih mudah menemukan peluang solusi atas masalah kita. Dalam konteks contoh tadi, ternyata kita masih punya aset untuk menutupi utang.
Kita juga punya banyak teman yang mungkin bisa memberikan peluang proyek atau usaha lain untuk mengatasi krisis. Potensi solusi satu per satu tiba-tiba menghadirkan diri setelah tabir kecemasan berhasil kita hilangkan.
Pikiran, akal budi, konon adalah anugrah terbesar yang hanya Tuhan berikan kepada manusia. Dengan itu kita menjadi makhluk yang istimewa. Terapi kognitif adalah cara menempatkan akal budi itu secara sehat, khususnya saat menghadapi kesulitan.
Alhamdulillah ala kulli hal. Segala puji bagi Allah atas setiap keadaan.[ ]
- Penulis bisa disapa di goeska@gmail.com