Merekayasa, Mengotak-atik Kodrat, Membangun Ancaman Sendiri
Ayam betina tidak lagi harus mengeram dan menetaskan anak. Sebab semua ayam jantan dimusnahkan atau dijual dengan kamuflase “ayam kampung”. Kodrat alamiah ayam yang “free-sex” sudah dihambat oleh rekayasa genetika, demi peningkatan jumlah dan daya jual.
Oleh : Usep Romli H.M.
Memasuki akhir tahun 2008, muncul prediksi PBB. Ancaman kalaparan internasional akan terjadi tahum 2009. Masyarakat dunia akan mengalami peceklik panjang.
Waktu itu, FAO, lembaga pangan internasional PBB, mengeluarkan statemen-statemen pesimistis bahwa cadangan bebagai benih tanaman sudah mulai menyusut. Produksi benih hasil pusat-pusat penelitian pertanian dan industri tanaman berteknologi canggih, menyusut. International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina, pencipta benih padi unggul untuk disebarkan ke seluruh dunia, sudah nyaris angkat tangan. Kehabisan plasma nutfah jenis padi-padian baru, karena yang belum terinventarisasi telah hilang akibat perubahan lingkungan. Begitu pula International Centre for Maize and Wheat Improvement (CIMMYT) di Nevada, Amerika Serikat, yang mengolah bibit unggul jagung dan gandum.
Bibit-bibit produk lama, sudah mencapai batas akhir daya kemampuan untuk dikembangkan lagi. Terutama menghadapi ancaman penyakit yang semakin meningkat. Sebab, setiap bibit tanaman hasil rekayasa genetik, pasti diikuti ancaman penyakit baru, yang model dan kekuatannya semakin hebat pula.
Seperti “wereng” terhadap jenis padi unggul. Ketika mula ditanam jenis padi PB5 dan PB8, th.1967,baru ada “wereng” biotipe 1. Setelah berhasil diatasi dengan aneka macam pestisida, muncul biotipe-biotipe lanjutannya. Mungkin sekarang sudah mencapai biotipe 4 atau 5, yang memerlukan pestisida atau insektisida pembasmi berkualitas lebih tinggi. Dengan risiko sampingan lebih berbahaya lagi terhadap sawah dan padi, ladang dan tanaman jagung atau gandum dan lainnya. Termasuk pengguna pestisida itu.
Persoalan kekurangan atau kehilangan plasma nutfah ini menjadi masalah penting. Dengan adanya rekayasa genetika tumbuhan dan hewan, sebagian plasma nutfah asli pasti lenyap. Sebab sudah dicampur dengan plasma nutfah asli lainnya, yang kelak menghasilkan satu plasma nutfah tunggal bibit unggul. Seperti plasma nutfah tomat hijau (kemir) dari Peru, dikawinsilangkan dengan plasna nutfah semangka dari Iran. Menghasilkan buah tomat besar menggiurkan. Mudah dijual dan mendapat pasar luas. Tapi gizi dan nutrisinya turun. Tinggal 60 persen saja. Padahal tomat asli Peru semula mengandung zat pencegah kanker.
Begitu pula ikan lele Afrika, yang hidup liar di sungai-sungai Senegal. Dikawinsilangkan dengan ikan lele Thailand, menjadi ikan lele dumbo. Besar, bergajih, dan cepat tumbuh di kolam-kolam pemeliharaan. Sangat populer sebagai ternak ikan berprospek ekonomis. Namun sebagian ada yang lepas ke sungai-sungai, dan mudah berkembang biak. Hanya saja segera menghancurkan habitat sungai tempat aneka jenis lele lokal hidup. Ganas menyerang ikan berbentuk sejenis, di samping juga menyebarkan penyakit yang membunuh lele-lele jenis lain. Akibatnya, semua jenis lele asli berangsur-angsur lenyap. Mulai dari lele biasa, termasuk “bogo” yang menghuni selokan dan sungsi-sungai kecil, hingga jenis-jenis lele asli lokal penghuni sungai besar, seperti kehkel, berod, arelot, tak lagi tersisa.
Aneka jenis lele lokal asli tersebut, tidak sanggup menandingi kebiasaan lele dumbo, yang rakus menghabiskan makanan keluarga lele tradisional. Padahal plasma nutfah lele asli lokal tesrebut, banyak yang belum terselamatkan.
Rekayasa genetika, baik pada tumbuhan maupun hewan, mendapat kritik keras dari Vandana Shiva, ahli fisika dan filsafat India. Dalam bukunya yang terkenal “Biodiversity a Third World Perspective” (1994), Vandana Shiva menguraikan, cadangan pangan manusia di dunia semakin berkurang. Sebab sangat tergantung kepada hasil rekayasa genetik yang semakin mempersempit varietas. Padi dari ratusan jenis benih, tinggal satu dua jenis saja dalam bentuk bibit unggul. Jagung, dan gandum, juga sama. Varietas-varietas semakin berkurang, serta rawan ancaman penyakit.
Jika sekali saja tumpas, tidak ada lagi cadangan penggganti. Tahun 1970-an, tanaman jagung hibryda di Amerika Serikat, diserang penyakit “Helminisporium maydis ras T”. Habis tak bersisa, sebab jagung hibrida tersebut satu keturunan, serta semua berkelamin jantan saja. Sedangkan jagung berkelamin betina, selamat dari serangan.
Tak jauh berbeda dengan ayam yang terancam serangan virus HNSN 5. Flu burung. Sebab semua ayam sudah “diseragamkan” jadi ayam petelur atau ayam pedaging. Keduanya dikurung pada suatu tempat. Tidak mendapat kesempatan untuk berhubungan seksual sesering mungkin, sebagaimana kebiasaan ayam jantan-betina. Sehingga ayam betina tidak lagi harus mengeram dan menetaskan anak. Sebab semua ayam jantan dimusnahkan atau dijual dengan kamuflase “ayam kampung”. Kodrat alamiah ayam yang “free-sex” sudah dihambat oleh rekayasa genetika, demi peningkatan jumlah dan daya jual.
Sapi yang semula 7-8 jenis — di India saja ada Sahiwal, Sindi Merah, Rathi, Tharpakar, Hariana, Ongole, Kankreji, Gir — secara sistematis diperketat menjadi tinggal dua jenis saja yang dianggap unggul, yaitu Jersey dan Holstein.
Belum lagi percepatan lahan pertanian yang lepas kendali, menjadi lahan industri. Seperti banyak diberitakan media lokal Bandung, banyak pabrik penggilingan padi di Jawa Barat, tutup karena kekurangan pasokan gabah. Salah satu penyebabnya adalah penyempitan lahan sawah untuk bertanam padi. Akibat lanjutannya, pemerintah terpaksa melakukan impor beras. Bahkan jagung untuk pakan ternak pun, mengimpor pula hingga ratusan ribu ton.
Beberapa pejabat negara di bidang ekonomi dan perdagangan RI, secara terbuka menyatakan, jika tidak mengimpor beras dan jagung, keadaan Indonesia akan gawat. Mungkin terkena peribahasa “ayam mati di lumbung padi”.
Tujuan bioteknologi rekayasa genetik, dan industrialiasi, tentu sangat bagus. Untuk tujuan kemaslahatan umat manusia. Hanya saja, pada beberapa aspek, lepas dari koreksi dan pengawasan. Apalagi jika dikaitkan dengan HAM, otoritas dan otonomi keilmuan, serta prospek investasi dan pengembangan ekonomi.
Bayangan petaka rawan pangan, yang akan berujung.kepada penyakit busung lapar (hongerodeem), menjelma saat ini, di balik dampak virus Corona Covid-19. Upaya penanggulangan penyebaran virus melalui program “stay at home” dan pencegahan mudik, sedikit banyak memberi andil ke arah itu. Banyak keluarga kekurangan bekal selama tinggal di rumah.
Sumber usaha lenyap. Kegiatan usaha terhenti. Pemasukan tak ada sama sekali. Apalagi jika ancaman wabah terus memanjang lama. Menurut perkiraan BIN, Corona akan mencapai puncak Juli mendatang. Mungkin baru mereda, Agustus atau September. Ramalan WHO dua belas tahun lalu pun mungkin akan terbukti dari sisi lain. [ ]