Papua, Alpa dari Politik Keamanan yang Koheren
Dengan dalih operasi keamanan dalam negeri, pemerintah menugaskan Polri sebagai aktor utama. Tapi kenyataan di lapangan bisa berbeda yakni TNI memiliki peran lebih besar dalam isu keamanan. Seperti insiden terakhir April di atas, TNI masih memiliki peran besar dalam menjaga keamanan di sekitar wilayah pertambangan PTFI.
Oleh : Beni Sukadis
Dalam beberapa bulan terakhir awal 2020 ditengah pandemi Covid 19, di Papua terjadi sejumlah insiden yang cukup menyita perhatian. Insiden ini terkait aksi penembakan terhadap aparat keamanan, pegawai Freeport Indonesia dan masyarakat. Pada akhir Maret 2020, aksi penembakan di Kuala Kencana dilakukan kelompok separatis bersenjata mengkibatkan satu warga negara asing asal Selandia Baru tewas dan dua WNI luka-luka, semuanya karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Kemudian pada akhir April, penembakan lainnya terjadi di wilayah Timika pada truk trailer PTFI yang sedang berjalan ke Mimika dan sekaligus pada pos pengamanan TNI di jalur Mile 60. Aparat langsung membalas tembakan yang diduga dilakukan KKB (Kelompok Kriminal bersenjata). Peristiwa terakhir ini berakibat tiga truk terkena tembakan namun tidak ada korban jiwa.
Insiden penembakan berulangkali terjadi dalam satu dekade terakhir, namun belum terlihat penyelesaian yang konkret untuk mengatasinya. Publik belum mendapatkan jawaban yang jelas soal siapa yang bertanggung jawab atau terlibat, walaupun biasanya yang mendapat tudingan yaitu kelompok bersenjata (separatis) tertentu. Meski sering dilakukan operasi keamanan untuk menghadapi gangguan ini, tapi hingga kini belum ada hasil langsung dari pelaksanaan operasi keamanan bagi stabilitas keamanan dan perdamaian di Papua.
Yang seringkali dilakukan pemerintah pusat adalah mengirimkan pasukan TNI/Polri untuk mengejar KKB dan justru acapkali menimbulkan korban jiwa di pihak masyarakat sipil yang tidak ada kaitannya dengan KKB. Hal ini yang sebenarnya terjadi di Nduga sejak 2018, hingga menimbulkan korban jiwa ratusan orang dan belasan ribu meninggalkan tempat tinggal untuk menghindari operasi keamanan.
Operasi Keamanan yang dilakukan pemerintah ini tidak lepas dari kondisi politik keamanan yang mengedepankan represi dan stigmatisasi atas gerakan separatis (Herlambang W.; 2017). Artinya untuk menghadapi kelompok bersenjata itu, pendekatan represif masih dilakukan oleh aparat keamanan sebagai taktik untuk menyelesaikan ancaman keamanan nasional.
Namun, Operasi Keamanan pasca reformasi memang dilakukan secara hati-hati oleh militer karena militer (dan polisi) tidak mau disalahkan dalam isu pelanggaran HAM. Sejauh pengetahuan penuluis, operasi ini tidak ada keputusan politik dari pimpinan nasional yang berisi tujuan, mandat dan berapa lama operasi ini dilakukan dan seringkali lembaga yang semestinya mengawasi kinerja pemerintah dalam bidang keamanan DPR luput untuk mengkritisi langkah-langkah yang dilakukan dalam tiap operasi keamanan/militer tersebut.
Sementara dengan dalih operasi keamanan dalam negeri, pemerintah menugaskan Polri sebagai aktor utama, tapi kenyataan di lapangan bisa berbeda yakni TNI memiliki peran lebih besar dalam isu keamanan. Seperti insiden terakhir April diatas, TNI masih memiliki peran besar dalam menjaga keamanan di sekitar wilayah pertambangan PTFI.
Seperti diketahui, aktivitas tambang PTFI diduga sangat bermasalah dalam kerusakan lingkungan dan mengakibatkan terjadi pelanggaran HAM di wilayah tersebut. Dalam persoalan pelanggaran HAM di wilayah Timika biasanya sangat terkait keberadaan aparat keamanan (TNI/Polri) yang mendapatkan bantuan dana operasional dari PTFI untuk menjaga keamanan di wilayah eksploitasinya.
Secara factual, lima tahun terakhir ini tidak ada kemajuan sama sekali terkait isu politik dan keamanan di Papua. Presiden Joko Widodo tidak memiliki terobosan yang signifikan dalam menangani politik keamanan Papua. Jurnalis dan peneliti asing masih dilarang berkunjung ke Papua. Artinya pemerintah Jokowi tidak serius menangani isu HAM seperti yang dijanjikannya dan lebih fokus pada isu ekonomi dan infrastruktur.
Beberapa masukan dari kelompok masyarakat sipil seperti Forum Akademisi Papua Damai (FAPD) dan akademisi lainnya berupa usulan agar pemerintah menghentikan operasi militer di Papua, sepertinya dianggap angin lalu saja. Pekerjaan rumah pemerintah yang sudah sejak lama disampaikan agar pemerintah Jokowi memprioritaskan dialog damai dengan kelompok signifikan di Papua pun belum mendapatkan respons secara serius.
Sementara itu kelompok politik yang pro-independen Papua di tingkat nasional yakni Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan di tingkat internasional yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), makin menguat. Hal ini ditandai lewat kampanye mereka secara lebih agresif di media massa maupun media sosial dalam menyampaikan kekecewaan atas sikap Jakarta dalam penanganan isu sosial politik, keamanan dan lain-lain di Papua.
Pemerintah Indonesia nampaknya tidak atau belum memiliki keseriusan dalam isu politik keamanan, bahkan belum memiliki konsep yang koheren dalam penanganan isu Papua. Misalnya, pada masa lalu peringatan soal potensi ancaman keamanan di Nduga, sebenarnya sudah dilaporkan dalam analisa dari intelijen, namun proyek infrastruktur itu tetap dilakukan yang kemudian terjadi serangan dari kelompok bersenjata yang mengakibatkan tewas belasan pekerja konstruksi (Kompas, 2018). Perlu ada evaluasi soal dampak proyek infrastruktur lainnya bagi keamanan individu pekerja yang dikirimkan ke Papua dan utamanya bagi kesejahteraan masyarakat lokal.
Insiden penembakan awal tahun 2020 ini merefleksikan bahwa situasi keamanan di Papua tidak berubah banyak (status quo) sejak beberapa tahun terakhir. Pemerintah Indonesia terjebak dalam rutinitas seperti menjalankan operasi keamanan tanpa ada keputusan politik yang jelas dan tujuan yang pasti, karena ketiadaan politik (kebijakan) keamanan yang koheren. Artinya situasi politik keamanan di Papua terjebak dalam lingkaran kekerasan yang tak kunjung selesai. Sehingga situasi yang mengkuatirkan ini merupakan puncak gunung es yang dapat mengganggu kedaulatan dan keutuhan nasional bagi negara Indonesia. [ ]
Beni Sukadis adalah anggota FAPD (Forum Akademisi Papua Damai) dan peneliti senior LESPERSSI.