SolilokuiVeritas

Penundaan Pemilu: Adu Kuat Poros Amandemen UUD 1945

“Dalam politik tak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika sesuatu terjadi, Anda bisa bertaruh bahwa itu sesungguhnya direncanakan sebelumnya.” — Franklin Delano Roosevelt

Oleh  : Setiyardi Budiono*

JERNIH–Arasy politik Indonesia dikejutkan dengan pernyataan tiga Ketua Umum Partai Politik. Mereka secara terbuka menyatakan gagasan untuk mengundurkan jadwal Pemilihan Presiden, yang sedianya akan berakhir pada Oktober 2024.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar pertama kali menggulirkan gagasan tersebut. Wacana panas itu dilanjutkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Menko Perekonomian Airlangga mengaku membawa aspirasi para petani sawit yang katanya menginginkan masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang. Terakhir, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan melempar gagasan serupa.

Setiyardi Budiono

Sebetulnya ini bukan gagasan orisinal. Wacana ini pertama kali disampaikan bukan oleh sembarang tokoh. Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala BKPM, awal Januari lalu melontarkan diskursus penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Dia mengaku membawa aspirasi para pengusaha yang menginginkan berlanjutnya pemulihan ekonomi. Tentu saja usulan itu tak bisa dianggap angin lalu. Bahlil adalah anggota kabinet yang dipilih oleh Presiden Jokowi.

Ada baiknya kita kembali menyimak pendapat Franklin Delano Roosevelt, satu-satunya Presiden Amerika yang menjabat untuk empat periode: “Dalam politik tak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika sesuatu terjadi, Anda bisa bertaruh bahwa itu sesungguhnya direncanakan sebelumnya.” Rasanya mustahil ketiga ketua umum parpol itu ‘kebetulan’ secara bersamaan mengajukan gagasan yang sama. Jadi, terang-benderang gagasan ini diorkestra oleh kekuatan politik.

Persoalannya kini bukan lagi siapa di balik gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden/wapres. Publik harus bersiap dengan kemungkinan wacana ini kemudian menjadi gerakan politik formal yang memang diakomodasi oleh koridor konstitusi kita, UUD 1945. Pasal 37 UUD 1945 mengatur secara tegas tentang tata-cara perubahan isi UUD. Kita telah bersepakat bahwa perubahan itu adalah keniscayaan, terkecuali untuk dua hal: pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, selain dua hal itu secara normatif dimungkinan untuk diubah.

Terdapat beberapa syarat untuk melakukan perubahan pasal dalam UUD 1945, di antaranya: Usul perubahan pasal-pasal UUD 1945 dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD 1945, diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Untuk mengubah pasal UUD 1945, Sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Putusan untuk mengubah pasal UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.

Sejarah dan Perubahan Konstitusi Kita

Sehari pasca kemerdekaan, yakni pada tanggal 18 Austustus 1945, UUD 1945 berhasil disahkan sebagai konstitusi melalui Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Junbi Inkai). Sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat, etat de droit), tentu saja eksistensi UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang panjang hingga akhirnya dapat diterima sebagai landasan hukum (juridische gelding) bagi implementasi ketatanegaraan di Indonesia.

Dalam sejarahnya, UUD 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil ketua, dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, tiga orang dari Sumatra dan masing-masing satu wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945.

Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka, yang kemudian dikenal dengan nama UUD 1945. Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid Hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).

Pada 17 Agustus 1945, menurut fakta (ipso facto) kita memang menyatakan merdeka sebagai sebuah negara. Namun, terkait pemerintahan yang berdaulat, dan wilayah, secara yuridis (ipso jure) sesungguhnya baru sah ‘dimiliki’ dan ‘diakui’ pada 18 Agustus 1945 melalui rapat paripurna PPKI yang menetapkan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta selaku wakil presiden, juga menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Kemuliaan konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai basic law dan the higher law.

Dalam konstitusi terdapat pula cakupan pandangan hidup (way of life, weltanschauung) dan inspirasi bangsa yang memilikinya. Dari dalil tersebut konstitusi kemudian dijadikan sebagai sumber hukum (source of law, rechtsbron) yang utama, sehingga tidak boleh ada satupun peraturan perundang-undangan (wettelijk regeling) yang bertentangan dengannya (in strijd zijn met de grondwet).

Menurut C.F. Strong, “Constitutions may be said to be collection of principle according to which the powers of the Governments the rights of the governed and the relation between the two are adjusted.” Dalam arti bahwa konstitusi dapat dikatakan sebagai suatu himpunan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah dan hak-hak yang diperintah serta hubungan antar keduanya.

Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama, subtansi materi yang dikandungnya maupun masa berlakunya, beserta perubahan-perubahannya yakni dengan rincian sebagai berikut:

1. Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);

3. Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950-5Juli 1959);

4. Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);

Dan setelah itu, secara fundamental isi UUD 1945 mengalami perubahan radikal sebagai respon atas tumbangnya Presiden Soeharto akibat Gerakan Reformasi 1998.

Perubahan UUD 1945 Pasca Reformasi 1998

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar hukum tertulis, konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia sampai saat ini. UUD 1945 bukan kitab suci yang tak bisa diubah. Bagaimana pun konstitusi adalah produk kesepakatan politik yang mengikuti dinamika politik yang mutakhir. Pasca Reformasi 1998, pada kurun waktu 1999-2002,UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen) yang mengubah susunan lembaga dalam sistem ketata-negaraan Republik Indonesia.

Perubahan tersebut sudah terjadi empat kali, yaitu:

– Perubahan (Amandemen) I

Perubahan atau Amandemen UUD 1945 pertama dilakukan tanggal 14-21 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR. Amandemen tersebut menyempurnakan sembilan pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Terdapat dua perubahan fundamental yang dilakukan, yaitu: Pergeseran kekuasaan dengan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR. Pembatasan masa jabatan presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, untuk satu kali masa jabatan.

– Perubahan (Amandemen) II

Perubahan UUD 1945 kedua terjadi pada 7-18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR. Pada perubahan UUD 1945 tersebut ada 15 pasal perubahan atau tambahan, serta tambahan dan perubahan enam bab. Terdapat delapan perubahan penting, yaitu: otonomi daerah atau desentralisasi Pengakuan serta penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Penegasan fungsi dan hak DPR Penegasan NKRI sebagai sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan haknya ditetapkan dengan undang-undang. Perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia Sistem pertahanan dan keamanan negara Pemisahan struktur dan fungsi TNI serta Polri Pengaturan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

– Perubahan (Amandemen) III

Perubahan UUD 1945 ketiga berlangsung dari tanggal 1-9 November 2001 dalam Sidang Umum MPR. Terdapat 23 pasal perubahan atau tambahan dan tiga bab tambahan. Terdapat 10 perubahan mendasar, yaitu: Penegasan Indonesia sebagai negara demokratis berdasar hukum berbasis konstitusionalisme. perubahan struktur dan kewenangan MPR Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat.

Mekanisme pemakzulan presiden dan atau wakil presiden Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Pemilihan umum Pembaharuan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan Perubahan kewenangan dan proses pemilihan serta penetapan hakim agung. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Pembentukan Komisi Yudisial

– Perubahan (Amandemen) IV

Perubahan UUD 1945 keempat berlangsung dari tanggal 1-11 Agustus 2002 pada Sidang Umum MPR. Terdapat 13 pasal, tiga pasal aturan peralihan, dua pasal tambahan, dan perubahan dua bab.

Keniscayaan Perubahan Kembali UUD 1945

Wacana yang digulirkan tiga partai politik –Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional, tentu saja harus ditanggapi dengan kepala dingin. Meskipun terkesan merupakan upaya melanggengkan kekuasaan, tapi upaya itu diakomodir oleh konstitusi kita. Tapi harus diakui juga bahwa gagasan ini bukan sesuatu yang mudah untuk direalisasikan.

Sejauh ini beberapa partai sudah menyatakan sikap menolak. PDI Perjuangan, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera menyatakan tak ingin memundurkan jadwal pemilu. Sedangkan Partai Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan seperti masih melihat situasi.

Memang saat ini peluang para pendukung gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden masih kecil. Selain ditentang mayoritas partai, dukungan publik pun masih minim. Tapi dengan kekuatan oligarki yang saat ini ada, penulis berpendapat tak ada yang tak mungkin. Kekuatan ideologi berulangkali terbukti kalah dengan kekuatan modal. Kita tak pernah bisa menebak arah angin pembicaraan para elite politik di balik tembok tebal kekuasaan.

Seperti halnya kita tak pernah menyangka bahwa Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah dalam Pilpres 2019, banting setir menjadi anggota kabinet Presiden Jokowi. Konon dalam politik semua hal bisa terjadi. Satu-satunya yang tak mungkin terjadi dalam politik hanyalah memakan kepala sendiri. [ ]

*Pemred ‘Obor Rakyat’, yang pernah mendekam di LP Cipinang

Check Also
Close
Back to top button