Solilokui

“Percikan Agama Cinta”: Cerita Tentang Gentur, Kisah Tentang Tawadhu dan Qanaah

Saudaraku, sungguh kontras dengan situasi kiwari. Aku lihat, belakangan ini tidak sedikit ulama justru alergi dengan sikap yang mempertanyakan dan merendahkan komitmen mereka dalam akhlak? Mereka alergi dengan kesulitan dan penghinaan. Bahkan, mereka gila penghormatan.

JERNIH– Saudaraku,

Siapa yang tak kenal Pesantren Gentur? Pesantren yang terletak di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat ini, cukup unik dan fenomenal. Setidaknya itu bagi warga Pasundan, khususnya Sukabumi, Bogor, Banten, dan sekitarnya.

Deden Ridwan

Unik. Karena pesantren ini konon dikenal anti-mainstream. Ya, misalnya, mengharamkan musik, sekolah formal, masjid tidak boleh pakai pengarah suara, kiai-santri dilarang pakai celana panjang; ke mana pun bergerak tatkala keluar rumah, wajib pakai sarung.

Kenapa hal itu diharamkan? Secara sosio-historis, aku paham asbabul wurud-nya. Karena semua benda-benda itu sangat berbau kolonial. Menjadi personifikasi sekaligus representasi simbolik dari budaya kaum kafir. Benar, itu sebentuk protes keras kaum santri atas tindakan jahat dan sontoloyo para penjajah-kafir.

Fenomenal. Kalau dilacak, banyak pesantren salafiah-tradisional di Jawa Barat punya akar asal-usul dengan Gentur, terutama dilihat dari sanad keilmuan. Murid-murid Gentur betebaran di mana-mana. Memaknai ruang-waktu. Menjadi kiai. Memimpin pesantren. Ibarat mata air, Gentur itu terus mengalir: melahirkan para ajengan dengan ilmu mutabahhir. Memberikan pencerahan pada ummat berbasiskan kearifan lokal.

Ketahuilah. Karena tuntutan zaman, belakangan banyak pesantren salafiah-tradisional yang semula sangat fanatik Gentur, di tangan generasi kedua atau ketiga, sudah mengalami modernisasi.

Lihatlah. Pesantren-pesantren tradisional kini dilengkapi sekolah formal. Yang cukup menarik para kiai-nya pun tidak lagi sarungan. Bahkan, mereka kini berdasi dengan gelar doctorandus plus kiai-haji. Nyantri sekaligus nyakola. Hade pisan!

Pahamilah. Sebelum fenomena perubahan itu muncul, Abahku, K.H. A. Zainal Abidin Aminullah, boleh dibilang termasuk murid Gentur yang kritis, nyeleneh sekaligus fanatik. Sejak awal hingga wafat, Abah sangat respek dan takzim sama Gentur. Kata Abah, Gentur itu punya tradisi keilmuannya yang kuat, terutama ilmu-ilmu alat seperti nahu-shorof, mantik, dan balaghoh, di bawah asuhan Almukarram Mama Ajengan Syatibi.

Sementara dalam hal tradisi lain, Abah berani melawan arus. Bayangkan, saat itu, kemana-mana Abah selalu pakai celana panjang, kadang berjas lengkap dengan dasi, masjid pakai pengarah suara, dan mendukung anak-anaknya sekolah sampai perguruan tinggi.

Dengan langkah berani itu, Abah banyak dicibir. Abah dianggap anti-Gentur. Berkhianat. Namun, sedikit pun Abah tak peduli.

“Saya ini sampai kapan pun tetap Gentur,” tegasnya. Cuma, ya pengikut Gentur yang kritis, sambil tertawa terkekeh… “Justru karena saya khidmat sama Mama Syatibi”, ungkapnya.

“Kalau ada ajaran yang tidak relevan dengan semangat zaman, ya harus kamu berani tinggalkan. Jika kamu merasa murid setia Mama Syatibi Gentur, dahulukan akal dan keilmuan, jangan semata jadi pengikut buta”, lanjutnya, tegas.

Simaklah. Mama Ajengan Syatibi, sang pendiri sekaligus pengasuh generasi awal Pesantren Gentur, memang sosok ulama kharismatik: berakhlak mulia, sederhana, dan tawadhu.

Selain menjadi pengasuh pesantren, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Ajengan Syatibi menekuni profesi memperanakan ikan. Kegiatan ini mencerminkan kecerdasan beliau: melihat potensi dan peluang. Karena kebetulan, Pesantren Gentur berada di lereng pegunungan: sangat subur dan berlimpah air.

Tak hanya itu, Mama Syatibi menganggap berusaha (kasab) adalah tuntutan demi menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Dalam pelbagai kesempatan, Mama Syatibi kerap menegaskan: berikhtiar itu wajib. Perintah agama.

“Wahai santri-santriku, berwirausaha itu perbuatan mulia. Ingat, baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah sosok pedagang hebat”, ungkapnya.

Hayatilah. Pada suatu waktu burayak yang dihasilkan dari menelurkan ikan sangat banyak. Mengetahui burayak (anak ikan) di kolamnya membludak, Mama menyadari akan memperoleh keuntungan ekonomi besar. Namun, Mama segera memerintahkan sesuatu yang janggal kepada pembantunya.

“Lepaskan sebagian burayak tersebut ke sungai!”, perintahnya, tegas.

Mendengar perintah itu, pembantu ajengan tentu terheran-heran. Dengan rasa gugup, lalu bertanya,

“Kenapa Mama, burayaknya harus dilepaskan ke sungai, apa tidak sayang?”

Jawab Ajengan Syatibi, “Mama merasa belum bisa beribadah dengan baik kepada Allah. Takut burayak (rezeki) yang banyak ini jadi istidraz“. Subhanallah. Sebuah sikap tawadhu, qonaah, dan kehati-hatian. Luar biasa.

Sadarlah. Suatu ketika, Mama Ajengan juga pernah kepergok santrinya. Beliau terlihat seorang diri menangis sesegukkan. Setelah dicermati, ternyata Mama Ajengan sedang mengadukan perlakuan orang-orang (masyarakat) terhadap dirinya kepada Allah SWT, Sang Mahacinta:

“Ya Allah, aku melakukan semua amal ibadah ini sebagai perwujudan rasa pengahambaanku kepada Engkau. Sungguh aku takut dengan orang-orang (masyarakat) yang memuji dan menghormati diriku. Karena hal itu, aku takut bisa mengotori nilai pengabdiaku kepada Engkau.” Merinding.

Saudaraku, sungguh kontras dengan situasi kiwari. Aku lihat, belakangan ini tidak sedikit ulama justru alergi dengan sikap yang mempertanyakan dan merendahkan komitmen mereka dalam akhlak. Mereka alergi dengan kesulitan dan penghinaan. Bahkan, mereka gila penghormatan.

Inikah yang namanya krisis akhlak sekaligus keteladanan? Entahlah! [Deden Ridwan]

Check Also
Close
Back to top button