Spiritus

Syah bin Syuja al-Kirmani, Sufi yang Tidak Tidur 40 Tahun

Setelah empat puluh tahun tanpa tidur, Syah al-Kirmani akhirnya memutuskan untuk tidur. Atas kuasa Allah, dalam tidurnya Syah al-Kirmani bermimpi bertemu Allah.

JERNIH– Syah bin Syuja’ al-Kirmani, memiliki nama kuniyah Abu al-Fawaris. Dalam “Tazkiratul Auliya’” karya Fariduddin Aththar dikatakan beliau adalah anak dari seorang raja tanpa disebutkan raja siapa dan di mana kerajaannya.

Tambahan Al-Kirmani di belakang namanya menunjukkan ia berasal dari Kirman, sebuah daerah yang dalam Mu’jam al-Buldan pada sisi selatannya berbatasan dengan Laut Persia, dan utaranya berbatasan dengan Khurasan. Ibnu al-Jauzi menginformasikan bahwa kematian Syah al-Kirmani sekitar tahun 299 Hijriyah.

Tazkiratul Auliya’ menuliskan bahwa Syah al-Kirmani pernah selama empat puluh tahun tidak tidur, tentunya kejadian-kejadian semacam ini khoriqu-ll’aadah, di luar dari keumuman manusia, dan tentunya terjadi atas kehendak Allah. Dikatakan Syah al-Kirmani ini memakai celak yang bukan sembarang celak, melainkan garam sebagai celak di kedua matanya, hingga matanya menjadi merah menyala bak darah.

Setelah empat puluh tahun tanpa tidur, Syah al-Kirmani akhirnya memutuskan untuk tidur. Atas kuasa Allah, dalam tidurnya Syah al-Kirmani bermimpi bertemu Allah.

“Ya Allah, aku mencarimu saat bangun terjaga, sedangkan aku menemuimu saat aku tertidur,” ucap Syah al-Kirmani dalam mimpinya.

“Wahai Syah al-Kirmani, wushul-mu (pertemuan) dengan-Ku ini sebab seringnya kamu bangun terjaga dan wara’. Jika saja kau tak melakukan hal itu kau tak akan menemuiKu dalam mimpimu,” Allah menjelaskan kepada Syah al-Kirmani.

Cerita puteri Syah bin Syuja

Syah bin Syuja’ al-Kirmani mempunyai seorang puteri. Para pangeran Kirmani telah datang untuk melamarnya, sampai suatu ketika seorang pangeran lain melamarnya pula.

Syah bin Syuja’ al-Kirmani minta kelonggaran selama tiga hari sebelum memberi keputusan. Kemudian ia pergi menjelajahi masjid ke masjid, akhirnya terlihatlah olehnya seorang pemuda sufi yang sedang shalat dengan khusyuk. Syah bin Syuja’ al-Kirmani dengan sabar menanti si sufi selesai dengan shalatnya. Kemudian ia bertanya :

“Apakah engkau telah berkeluarga?.”

 “Belum,” jawab si sufi.

“Maukah engkau seorang isteri yang bisa membaca al-Qur’an?,”

“Siapakah yang mau menikahkan puterinya kepadaku? Harta kekayaanku hanya tiga dirham.”

“Akan ku serahkan puteriku kepadamu,” jawab Syah bin Syuja’ al-Kirmani.” “Dari tiga dirham yang engkau miliki itu belanjakanlah satu dirham untuk roti, satu dirham untuk minyak mawar dan selebihnya untuk pengikat tali perkawinan (mahar).”

Akhirnya mereka sepakat. Malam itu juga Syah bin Syuja’ al-Kirmani mengantarkan puterinya ke rumah si sufi. Ketika memasuki rumah itu terlihatlah oleh si gadis sepotong roti kering di dekat sekendi air.

“Roti apakah ini?” tanyanya.

“Roti kemarin yang kusimpan untuk hari ini,” jawab si sufi.

Mendengar jawaban itu si gadis hendak meninggalkan rumah si sufi.

“Sudah kusadari bahwa puteri Syah bin Syuja’ al-Kirmani takkan sanggup hidup bersama diriku yang miskin seperti ini,”kata si sufi.

“Aku meninggalkanmu bukan karena sedikit hartamu” jawab si gadis, “Tetapi karena sedikit iman dan kepercayaanmu sehingga engkau menyimpan roti kemarin dan tidak percaya bahwa Allah akan memberikan rezeki kepadamu setiap hari.

Aku jadinya heran kepada ayahku. Dua puluh tahun lamanya ia memingitku dan mengatakan,“Akan kunikahkan engkau dengan seorang yang bertakwa kepada Allah.” Tetapi ternyata ia menyerahkan aku kepada seseorang yang tidak pasrah kepada Allah untuk makanannya sehari-hari.”

“Apakah kesalahanku ini dapat diperbaiki?” Si sufi bertanya.

“Dapat,” jawab si gadis. “Pilihlah satu di antara dua, aku atau roti kering itu.”

Cerita putera Syah bin Syuja

Syah bin Syuja’ al-Kirmani mempunyai seorang putera.  Di dada si putera ia tuliskan kata “Allah” dengan warna hijau. Begitu menginjak dewasa, karena tidak bisa bertahan dari dorongan-dorongan hatinya, si anak menyenangkan diri berjalan-jalan sambil membawa kecapinya. Sambil memetik kecapi, dengan suaranya yang merdu ia senandungkan lagu-lagu yang sangat menyentuh.

Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk, ia menyusuri jalan-jalan raya sambil memainkan kecapinya itu. Ketika ia sampai di satu pelosok kota, seorang pengantin perempuan yang baru pindah ke tempat itu, bangkit dari sisi suaminya yang sedang tertidur untuk melihatnya. Si Suami terbangun, dilihatnya isterinya tak ada di sisinya, ia bangkit dan menyaksikan apa yang sedang terjadi.

Maka berserulah ia kepada si pemuda,“Anak muda, belum tibakah saatnya Engkau bertaubat?”

Kata-kata ini menghujam jantung si pemuda, dan ia segera menjawab “Sudah tiba, sudah tiba.”

Mantelnya dicabik-cabiknya, kecapinya ia hancurkan. Kemudian ia mengunci diri di dalam kamarnya dan selama empat puluh hari tidak makan apa-apa. Sesudah itu ia pun keluar dari kamarnya dan pergi mengembara.

Mengenai kelakuan anaknya itu, Syah bin Syuja’ al-Kirmani berkomentar, “Yang kucapai selama empat puluh tahun telah diperolehnya dalam waktu empat puluh hari saja.” [Tadzkiratul ‘Auliya karya Fariduddin Aththar]

Back to top button