PersonaVeritas

Dari Jalanan ke Balai Kota: Bursah Zarnubi dan Misi Keadilan Sosial yang tak Pernah Padam

Warga kemudian sadar, yang datang ke kantor bupati setelah pelantikan bukanlah sosok politisi ‘biasa’. Bursah memulai Langkah dari penghematan. Ia mencoret anggaran perjalanan dinas, seremoni mewah, dan segala jenis bancakan yang tak menyentuh rakyat. Ia berhasil menghemat Rp425 miliar. Uang itu lalu disalurkan ke hal-hal konkret: membangun bendungan dan irigasi untuk menyelamatkan 5.000 hektare sawah, memperbaiki puskesmas, merehabilitasi sekolah, dan memodernkan layanan publik.

JERNIH– Suatu siang di 1986. Sekelompok mahasiswa berdiri, tegak berhadap-hadapan dengan aparat di bawah langit Jakarta yang muram. Di antara mereka, seorang mahasiswa kurus beraksen Palembang, Sumatera Selatan, mengangkat suara lebih lantang daripada yang lain. Namanya Bursah Zarnubi. Ia tak sedang berorasi tentang harga sembako atau subsidi mahasiswa. Ia menolak Soeharto, presiden saat itu, digelari “Bapak Pembangunan.”

Pernyataan penolakan yang terdengar sederhana hari ini. Tapi di masa jaya Orde Baru, itu setara dengan mengetuk palu ke kepala singa. Gelar itu, “Bapak Pembangunan,” bukan hanya penghormatan simbolik, melainkan sakralitas politik yang tak boleh digugat. Maka seperti yang bisa diduga, aparat segera menyeretnya. Ia dipenjara. Satu setengah tahun lamanya.

Tapi penjara tak menyudahi jalan hidupnya. Justru dari balik jeruji itulah keyakinan Bursah ditempa: bahwa kekuasaan tanpa keadilan hanyalah tirani berseragam. Ia keluar bukan dengan dendam, melainkan dengan rancangan. Ia tahu: perlawanan dari jalanan hanya satu tahap. Perjuangan yang sejati baru bermakna jika kelak bisa menyentuh kebijakan—dan mengubah hidup orang banyak.

Setelah bebas, ia mendirikan HUMANIKA—lembaga swadaya masyarakat (LSM) kecil yang bergerak sunyi, tapi tajam. Belakangan, ia juga menggagas Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), semacam kawah candradimuka untuk anak muda yang masih percaya bahwa politik bukan cuma alat dagang kepentingan, tapi sarana memuliakan kehidupan.

Pada 2004, ia masuk ke DPR RI. Di Senayan, ia bersuara soal revisi undang-undang, hak-hak minoritas, dan kerap menyelipkan kritik terhadap gaya hidup elite yang makin jauh dari rakyat. Tapi Bursah tak ingin hidup dalam lorong kekuasaan pusat selamanya. Pada 2024, ia pulang kampung. Maju sebagai calon bupati Lahat bersama Widia Ningsih. Dan menang.

Warga kemudian sadar, yang datang ke kantor bupati setelah pelantikan bukanlah sosok politisi ‘biasa’. Bursah memulai Langkah dari penghematan. Ia mencoret anggaran perjalanan dinas, seremoni mewah, dan segala jenis bancakan yang tak menyentuh rakyat. Ia berhasil menghemat Rp425 miliar. Uang itu lalu disalurkan ke hal-hal konkret: membangun bendungan dan irigasi untuk menyelamatkan 5.000 hektare sawah, memperbaiki puskesmas, merehabilitasi sekolah, dan memodernkan layanan publik.

“Kalau mau menyentuh rakyat, berhentilah menyentuh anggaran untuk diri sendiri,” katanya dalam rapat paripurna pertama setelah menjabat.

Nyaris setiap pekan ia hadir di desa-desa. Mengamati jalan becek, mendengar ibu-ibu mengeluh soal sekolah jauh dan air yang tak mengalir. Tak ada pasukan protokoler besar. Tak ada tenda VIP. Kadang ia cuma duduk di teras rumah warga, menyantap kopi pahit dan tahu goreng yang telah dingin.

Suatu kali, ia ditanya seorang pemuda: kenapa seorang bupati perlu turun langsung ke ladang? Jawabnya singkat, seperti senyumnya, “Karena petani tidak pernah diundang ke kantor bupati.”

Bursah menunjukkan, ia bukan sekadar administrator. Ia aktivis yang menjelma birokrat. Dan itu bukan kontradiksi. Dalam dirinya, dua dunia itu menjalin keseimbangan. “Jika politik adalah seni untuk memimpin manusia menuju kebaikan bersama,” tulis Aristoteles, “maka politikus sejati adalah yang berpikir untuk rakyat, bukan berpikir tentang rakyat.” Bursah barangkali tak mengutip Aristoteles. Mungkin bahkan tak membacanya. Tapi ia menjalankannya.

Sebagai kepala daerah, ia juga tidak alergi pada sinergi nasional. Ia menyelaraskan kebijakannya dengan prioritas “Asta Cita” Presiden Prabowo Subianto: ketahanan pangan, penguatan layanan dasar, dan efisiensi birokrasi. Tapi ia bukan penjilat. Ia tahu kapan harus ikut, dan kapan harus mengingatkan. “Kalau pusat lupa desa, kita yang harus ingatkan,” ujarnya.

Bursah percaya politik adalah panggilan untuk memperbaiki kehidupan. Dalam beberapa pelatihan PGK, ia mendatangkan tokoh-tokoh seperti Yudi Latif dan Jimly Asshiddiqie, bukan untuk memperkaya wacana, tapi untuk mengasah keberanian berpikir. Ia sering berkata kepada anak muda, “Jangan pernah bangga jadi politisi. Jadilah pemimpin. Karena pemimpin tak perlu punya partai, tapi harus punya hati.”

Di antara catatan pribadinya, ia kerap mengutip Václav Havel: “The salvation of this human world lies nowhere else than in the human heart, in the human responsibility. Keselamatan dunia manusia ini tidak terletak di tempat lain, selain di dalam hati manusia, dalam tanggung jawab manusia itu sendiri.”

Dan dalam diam, kadang ia menuliskan ulang kalimat favoritnya dari Che Guevara: “The true revolutionary is guided by a great feeling of love. Revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang besar.” Itulah cinta yang tak memanjakan. Tapi menggerakkan.

Jika Indonesia masih punya satu-dua bupati yang bekerja tanpa banyak drama, mungkin itu karena masih ada sisa-sisa idealisme mahasiswa 1980-an yang belum bisa dicabut kepentingan sesaat. Bursah Zarnubi bukan legenda. Ia hanya orang biasa yang memutuskan untuk tidak menyerah pada banalitas kekuasaan.

Barangkali justru karena itu, ia layak disebut luar biasa. [dsy]

Back to top button