DesportareVeritas

Ekses Sepakbola, Lahirkan Kelas Oligarki Baru

Tahun 1999, berita harian olahraga “La Gazzetta dello Sport” melaporkan bahwa AS Roma membagi-bagi arloji Rolex seharga 13.500 dolar AS (sekitar Rp 209 juta pada kurs 15.500) kepada 37 wasit papan atas ltalia sbagai hadiah Natal. Menurut artikel tersebut, tak satu pun dari para wasit itu secara sukarela mengembalikan hadiahnya.

JERNIH–Tidak ada yang akan menyangkal bahwa Pierluigi Collina adalah seorang selebritas olahraga meski penampakannya jauh dari manis laiknya Anies. Tongkrongannya pun seram: kepala plontos, tubuh ringkih kurus, mata mendelik seakan hendak copot dari lobangnya. Kecepatan larinya nyuruntul seperti burung unta. Namun yang lebih aneh lagi, ia bukan atlet, melainkan wasit.

Sejujurnya, ia bukan hanya birokrat penegak aturan di lapangan Dengan suara bulat Collina dianggap sebagai wasit paling ulung di bidangnya. Memadukan sikap keras kepala dan diplomasi yang sensitif, Collina pernah memimpin banyak final Piala Dunia. Ia pernah memimpin pertandingan panas seperti pertandingan Argentina lawan Inggris yang bak Perang Malvinas. Tenarnya pernah tak hingga sampai sempat tampil di iklan Adidas, berdampingan dengan David Beckham, Zinedine Zidane, dan jagoan-jagoan bola lainnya. Halaman khusus majalah GQ, serta artikel di sekian banyak majalah menggambarkannya tengah berada di vila apik yang mahal, bersenda gurau dengan anjing piaraannya.

Tidak hanya buat Amerika, buat negara manapun puja-puji ini terkesan ganjil. Tapi orang Italia memang mengangkat wasit bola ke status selebritas. Rekan-rekan Collina malah ada yang mencalonkan diri masuk parlemen, ada yang nyaman sebagai komentator televisi pasca-pensiun. Wasit bisa mencapai taraf ketenaran macam itu karena media massa Italia mencurahkan begitu banyak perhatian–seteliti-telitinya–atas setiap kartu kuning yang diberikan dan setiap jegalan yang diabaikan.

Koran-koran memakai sistem peringkat dengan tanda bintang untuk menilai kerja wasit, seperti IMDB menilai film atau Laksmi Pamuntjak menilai restoran. Mereka secara reguler menerbitkan analisis statistik—hingga dua angka di belakang koma—mencoba menguak bias sang wasit. Acara televisi dengan pemirsa membludak, “Il Processo” (“Pengadilan”) mengumpulkan satu dewan juri yang terdiri dari para jurnalis dan pensiunan pemain untuk membedah secara mendetail keputusan-keputusan kontroversial. Dalam mewasiti para wasit, dewan juri ini mengandalkan pelbagai macam piranti teknologi. Gerak super lambat rekaman video bisa menunjukkan bahwa seorang pemain sebenarnya tidak offside dengan selisih hanya 16 sentimeter! Ibarat film seni karya Cindy Sherman, “Il Processo” tak habis-habisnya mengulang-ulang rekaman tentang para pemain yang terjatuh, agar juri bisa dengan pasti memutuskan apakah benar jatuh atau cuma pura-pura roboh.

Ada yang ganjil juga sebenarnya. Seperti yang semua warga dunia tahu, pria Italia adalah contoh pria paling pesolek di planet ini. Mereka melumurkan produk perawatan rambut dalam jumlah yang substansial dan mencurahkan banyak waktu dan antusiasme untuk mematut-matutkan warna kaos kaki dan ikat pinggang. Akibat sifat pesolek pria Italialah dunia mengenal Vespa, Prada, dan Renzo Piano. Dengan pengabdian yang begitu tinggi atas kenikmatan estetis, sungguh mengherankan bahwa sifat ini justru absen dari gaya nasional persepakbolaan mereka.

Bermula pada tahun 1960-an, orang Italia mulai mempraktikkan strategi defensif bernama Catenaccio, atau dikenal sebagai “pertahanan gerendel”. Formasi ini menambahkan lapisan pertahanan ekstra, seorang penyapu, yang menghidupkan lini belakang yang sudah begitu kuat dengan pola satu lawan satu. Ofensif tidak banyak diberi perhatian dalam struktur ini. Gol tercetak oleh serangan balik, dengan bola yang langsung dioperkan melintasi lapangan dalam sekejap.

Dengan begitu (atau begini?) gol menjadi sangat jarang. Biasanya hanya sekali atau dua kali dalam satu pertandingan. Karena peluang mencetak gol begitu sedikit, dan marjin kesalahannya juga begitu tipis, pemain pun harus berbuat apa saja untuk mengungguli lawan. Termasuk dengan seruan “Mamma mia!” sambil kedua tangan memohon-mohon penuh harap pada wasit. Inilah klise terhebat dalam sepak bola Italia.

Sekalipun gaya kuno Catenaccio telah banyak dirombak beberapa tahun belakangan untuk memberi lebih banyak ruang bagi ofensif, toh peninggalan sistem tersebut masih tersisa. Protes dan kelihaian berpura-pura masih terus dipakai untuk merebut keuntungan telak dalam pertandingan. Pemain bisa tiba-tiba tergeletak roboh dengan harapan bisa memperdaya wasit agar memberinya tendangan penalti. Setiap keputusan wasit langsung didebat, dengan memperhitungkan bahwa bila mereka berhasil menanamkan cukup kesangsian, mereka bisa memperoleh kompensasinya nanti dalam pertandingan. Tiap kali kecolongan gol, barisan pertahanan protes dengan mengangkat tangan, seolah-olah sikap ini bisa membuat hakim garis ikut mengangkat bendera offside.

Karena wasit begitu menentukan hasil pertandingan, maka tim berbuat segala cara untuk mempengaruhinya. Hampir setiap tahun terjadi perdebatan baru atas prosedur penugasan wasit. Di bawah sistem yang berlaku, sebuah komite yang terdiri dari dua orang menyortir daftar para wasit, sebelum nama-nama mereka masuk dalam pemilihan acak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang anggota komite ini dibeking oleh klub-klub yang paling berkuasa, yakni Juventus dari Turin dan AC Milan. Sedangkan seorang lainnya mewakili klub-klub selebihnya.

Alhasil, Juve dan Milan bisa mencurangi sistem untuk memasang wasit yang paling tanggung dan murahan, yang (di bawah sadarnya) akan condong memihak klub-klub kebanggaan mereka. Collina dan wasit-wasit lain yang sama cermatnya jarang ditugaskan untuk memimpin pertandingan Juve. Wasit yang pernah mengeluarkan penalti mematikan atas Juve ditaruh di pertandingan Seri B yang tidak bergengsi.

Dan ini cuma yang kita ketahui dari luar. Di belakang layer, jelas lebih parah. Fakta bahwa Milan dan Juventus begitu berkuasa atas proses pemilihan wasit itu sendiri sudah merupakan bukti mencolok adanya tipu-tipuan, yang mencuatkan pertanyaan panjang tentang transaksi antarpimpinan klub di ruang-ruang tertutup. Semua orang bersaksi atas adanya kongkalikong ini, tapi mereka jarang sekali mendapat bukti nyata untuk menopangnya.

Hanya pada beberapa kesempatan bau busuk ini tercium sampai ke permukaan. Tahun 1999, berita harian olahraga “La Gazzetta dello Sport” melaporkan bahwa AS Roma membagi-bagi arloji Rolex seharga 13.500 dolar AS (sekitar Rp 209 juta pada kurs 15.500) kepada 37 wasit papan atas ltalia sbagai hadiah Natal. Menurut artikel tersebut, tak satu pun dari para wasit itu secara sukarela mengembalikan hadiahnya.

Tak dapat disangkal, manfaat menjalin hubungan baik dengan para wasit ini paling banyak didapat oleh Juventus dan Milan, melebihi klub lainnya di Italia. Dalam satu pengertian hal ini tidak mengejutkan. Tim-tim besar yang secara historis mendominasi, pada umumnya memang meraup untung dari kondisi ini.

Tapi manipulasi wasit yang terjadi di Italia berlangsung jauh lebih rumit. Juventus dan Milan menempuh dua jalur yang berbeda untuk merebut hati para wasit. Dan dua jalur ini bukan hanya mengungkapkan perbedaan organisasi, melainkan mengungkap pula perbedaan antarpemiliknya: tokoh-tokoh paling berkuasa di Italia pasca Perang Dunia II dan perwakilan dari dua model oligarki yang amat berlainan.

Juve dimiliki oleh keluarga Agnelli, empunya perusahaan Fiat dan pemegang persentase substanstif pada Bursa Efek Milan. Sama seperti banyak orang di Eropa, keluarga Agnelli mewakili gaya penguasa pra-globalisasi yang mendominasi sebagian besar dunia Latin abad ke-20. Meski keluarga Agnelli adalah kaum industrialis, pada puncak kekuasaannya mereka bersikap seperti tuan-tuan tanah yang menguasai Amerika Tengah. Mereka tak banyak memamerkan pengaruhnya, memilih sembunyi di belakang layar sambil terus mengontrol para politisi yang me-regulasi kerajaan bisnis mereka. Sikap mereka yang pemalu dan enggan tampil turut menghadirkan problem berkepanjangan dalam politik Italia: tak seorang pun dapat menunjukkan pusat kekuasaan yang sebenarnya. Keadaan ini kian memperparah kecenderungan orang Italia untuk merasa paranoid soal konspirasi.

Terlepas dari ketidakpastian sistem ini, jelas bahwa cara kerjanya berlangsung seperti ini: kaum industrialis dari Utara, politisi korup Kristen Demokrat, serta mafia di Selatan berkoalisi untuk menjalankan negara. Politisi hidup dari sogokan kaum industrialis, dan industrialis bisa terus hidup dari proyek-proyek kenegaraan yang mereka terima sebagai imbalannya. Sistem ini baru bisa tumbang oleh investigasi anti-korupsi “tangan-tangan bersih” pada awal 1990-an serta gugatan pidana terhadap ratusan politisi.

Hampir sepanjang era pasca Perang Dunia II, Juventus juga sama dominannya seperti keluarga Agnelli, hanya sempat tersungkur sesaat pada tahun 1960-an. Juve menjadi semacam tim nasional bagi rakyat Italia. Penggemarnya tersebar di pelosok semenanjung itu melebihi tim manapun lainnya. Tetapi pada tahun 1980-an, basis pendukung Juve menghadapi tantangan serius dari AC Milan.

Sukses para pendatang baru ini hampir sepenuhnya diakibatkan oleh pemilik mereka yang flamboyan, Silvio BerJusconi. Dalam rentang dua dekade ia membangun imperium bisnisnya sendiri, berawal dari properti, meluas ke televisi, surat kabar, periklanan, dan asuransi. Delapan tahun setelah membeli AC Milan pada 1986, ia kendalikan sukses klub itu dari pucuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri Italia, jabatan yang pernah ia duduki dua kali.

Menurut para pengkritik Berlusconi dari kubu kiri, jalinan kepentingan yang ia punya menghadirkan mara bahaya bagi demokrasi, gelagat lahirnya diktator baru: raksasa media yang dapat memanipulasi dan mengontrol wacana publik untuk memastikan pemasukan dan kekuasaan yang sedemikian rupa, sampai praktis takkan pernah bisa dilawan. Dan dalam perekonomian yang mengglobal ini, kata mereka, media sungguh berkuasa. Raksasa-raksasa ini tak perlu lagi bersaing dengan jaringan teve milik negara, atau bertarung memperebutkan pasar dengan BUMN-BUMN yang telah dikebiri oleh deregulasi dan privatisasi.

Kini raksasa-raksasa seperti Silvio Berlusconi dapat beroperasi di pentas global. Mereka dapat membangun jangkauan ekonominya yang kian membuat mereka lebih oligarkis dan secara politik tak tersentuh.

Tetapi ada pula perbedaan-perbedaan penting yang memisahkan oligarki baru ini dari oligarki-oligarki sebelum mereka. Karena mereka memperdagangkan saham perusahaannya di bursa efek dan melakukan transaksi dengan korporasi-korporasi multinasional, raksasa-raksasa usaha zaman ini lebih sulit dalam mendulang harta dan pengaruh. Andaipun dapat, sikap menutup diri bukan tabiat mereka. Seperti Berlusconi, mereka adalah para orang kaya baru (OKB) yang gemar pamer kemewahan. [Disarikan dari “How Soccer Explain the World…”Franklin Foer, New York, 2004)

Back to top button