Veritas

Hamdan Zoelva: Penundaan Pemilu Bukan Hal Mustahil

Persoalannya, kata Hamdan, semua itu tentu jadinya politicking. “Nah, politicking ini jelas  akan jadi persoalan, meski semua bisa dilakukan dalam asas majority rule,” kata dia. Apalagi beberapa partai politik seperti PDIP, Nasdem, sudah menolak. “Dengan demikian ini menjadi agak berat. Tapi sekali lagi, kalau koalisi pemerintah semua sepakat, ya selesai. Bisa diubah UUD-nya,” kata Hamdan, menegaskan.

JERNIH—Penundaan Pemilu adalah hal yang dibolehkan dalam sistem kenegaraan Indonesia, sementara amandemen Konstitusi pun merupakan hal wajar yang bisa dilakukan manakala persyaratannya secara hukum terpenuhi. Meski demikian yang harus dipikirkan oleh seluruh warga negara Indonesia adalah ‘harga sosial’ yang mesti dibayar oleh negeri ini manakala hal itu dilakukan.

Demikian dikatakan pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, dalam wawancara yang dilakukan di Jakarta, Kamis (10/3) siang. Menurut Hamdan, penundaan Pemilu boleh dan sangat dimungkinkan dalam aturan kenegaraan, asalkan tak boleh melewati batas lima tahun. Artinya, kata Hamdan, kalau tadinya akan dilaksanakan—katakanlah–Januari, kemudian dipindahkan waktunya ke bulan Mei, itu boleh-boleh saja. Syaratnya, kata dia, jangan sampai melewati batas waktu lima tahun.

Persoalannya, seluruh jabatan politik di negara ini dipilih dalam cakupan waktu (range) lima tahun tersebut. “Masa jabatan Presiden, DPR, DPD, gubernur, wali kota, itu kan lima tahun. Kalau diundur pemilunya, gimana ini? Jadi persoalannya kompleks, bukan sekadar persoalan masa jabatan presiden,” kata Hamdan. Akan muncul pertanyaan, siapa yang melegalkan perpanjangan masa jabatan presiden? Ataukah diperpanjang duluan masa jabatan presidennya? Lalu siapa yang akan memperpanjang masa jabatan anggota DPR, MPR, dan sebagainya. Jelas persoalannya kompleks.

Tetapi, kata Hamdan, itu pun tidak lantas menjadikan kemungkinan tersebut tertutup sama sekali. Toh, amanademen Konstitusi bisa dilakukan untuk itu. “Kalau mayoritas kekuatan politik mau menunda Pemilu atau mengubah UUD, anytime bisa dilakukan.  Itu bisa dilakukan secara formal. Misalnya, jabatan presiden diubah di UUD, lima tahun dan dan dapat diperpanjang, misalnya. Bisa saja, misalnya, pengubahannya menjadi “dua periode dan dapat diperpanjang”. Kalau kekuatan politik di MPR mau mengubah, mengapa tidak? Secara formal (mungkin),” kata Hamdan.  

Pengubahan itu bisa juga dengan melakukan perpanjangan otomatis. Seluruh jabatan yang dipilih pemilu lima tahun sebelumnya otomatis diperpanjang, dan itu ditulis dalam UUD perubahan, kata dia.

Persoalannya, kata Hamdan, semua itu tentu jadinya politicking. “Nah, politicking ini jelas  akan jadi persoalan, meski semua bisa dilakukan dalam asas majority rule,” kata dia.

Apalagi menurut Hamdan, sebagaimana diketahui publik, beberapa partai [olitik seperti PDIP, Nasdem, sudah menolak. “Dengan demikian ini menjadi agak berat. Tapi sekali lagi, kalau koalisi pemerintah semua sepakat, ya selesai. Bisa diubah UUD-nya,” kata Hamdan, menegaskan.

Saat ditanya tentang ‘harga’ yang harus dibayar, Hamdan percaya bahwa harga yang harus dibayar Indonesia kalau itu terjadi, sangatlah mahal.”Itu akan jadi preseden baru buat presiden yang akan datang. Presiden yang akan datang sangat mungkin tak akan rela hanya berkuasa dua periode,” kata dia.

Selain itu, patut juga dipikirkan secara matang karena sejatinya hal itu akan merombak tatanan yang kita bangun pasca-Reformasi 1998 sebagai antithesis tatanan Orba yang justru ingin kita perbaiki.

“Kalau itu terjadi, bisa dibilang reformasi gagal, tak memperbaiki apa-apa karena toh (tatanan lama) kembali lagi,” kata Hamdan. [  ]

Back to top button