
Dalam kepekaan rasa bersalah, seseorang bertanya dalam dirinya, patutkah menggelembungkan jumlah kementerian/lembaga dan penobatan kolosal di tengah gemuruh seruan efisiensi? Layakkah memberi insentif pajak bagi pemegang kuasa tambang sementara rakyat kecil dicekik beban pajak yang membengkak? Ada pula rasa malu yang mengintai dari balik sorot mata publik. “Apakah tak malu mendaki tangga kekuasaan dengan jalan pintas tanpa prestasi? Apa kata dunia manakala seorang wakil rakyat bermewah-mewah di tengah lautan derita rakyat?
Oleh : Yudi Latif*
JERNIH– Dosa adalah kata yang sering diucapkan dengan berbagai cara dan makna. Namun, ada satu pengertian yang menyentuh kedalaman nurani.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan hatimu dan engkau tidak suka jika diketahui oleh orang lain.” (HR Muslim no 2553). Dalam pengertian ini, dosa melampaui sekadar pelanggaran aturan hukum (syariat) sebagai imperatif dari luar diri.
Yang lebih ditekankan adalah getaran hati dan rasa malu yang tumbuh dari sensitivitas etis di kedalaman diri. Di sini, dua wajah dosa menyapa kesadaran manusia: rasa bersalah yang bersinar dari lentera moral di dalam diri (ihsan), dan rasa malu yang bergema dari tatapan orang lain.
Dalam kepekaan rasa bersalah, seseorang bertanya dalam dirinya, patutkah menggelembungkan jumlah kementerian/lembaga dan penobatan kolosal di tengah gemuruh seruan efisiensi? Layakkah memberi insentif pajak bagi pemegang kuasa tambang sementara rakyat kecil dicekik beban pajak yang membengkak? Patutkah penegak hukum menjadi perusak hukum dan oligarki yang mengeruk kekayaan dengan merusak ekosistem seraya menyengsarakan orang banyak?

Di sini, seseorang akan merasa berdosa jika bertindak melampaui ambang kepatutan
Ada pula rasa malu yang mengintai dari balik sorot mata publik. “Apakah tak malu mendaki tangga kekuasaan dengan jalan pintas tanpa prestasi? Apa kata dunia manakala seorang wakil rakyat bermewah-mewah di tengah lautan derita rakyat?
Apakah tak malu menyandang gelar (pangkat) akademik tanpa taat prosedur dan kontribusi ilmiah yang signifikan?
Di sini, dosa adalah bayangan yang menghantui ketika ekspektasi publik dikhianati. Rasa malu menjadi pengekang, menjaga seseorang tetap berada di jalur yang semestinya.
Kejayaan tebal muka
Masalahnya, getaran rasa berdosa itu bisa memudar. Pelan tapi pasti, rasa bersalah dan rasa malu bisa pingsan di bawah bius kekuasaan. Kekuasaan, seperti candu adiktif, yang meresap dalam jiwa dan mengubah watak manusia secara ajaib.
Hal itu dilukiskan secara menarik oleh Rutger Bregman dalam buku Humankind: A Hopeful History (2020). Mendasarkan pernyataannya pada hasil studi eksperimentasi Profesor Dachner Keltner, ahli ternama dalam penerapan Machiavellianisme, disimpulkan bahwa individu-individu yang bangkit meraih posisi kekuasaan pada umumnya bermula sebagai orang yang paling ramah dan dan paling berempati.
Hal ini sejalan dengan kaidah emas tentang daya sintas mereka yang paling bersahabat: the survival of the friendliests. Namun, setelah kuasa dalam genggaman, wataknya cenderung berubah. Mereka seperti mengalami kerusakan otak: lebih impulsif, egois, ceroboh, sombong, dan kasar, kurang empati dan kurang tertarik pada sudut pandang orang lain.
Mereka juga lebih tak tahu malu, sering kali gagal menampilkan fenomena wajah yang menjadikan manusia unik: manusia hanya sedikit di antara hewan dan satu-satunya primata yang wajahnya bisa memerah, tersipu malu.
Lebih lanjut, Bregman menyimpulkan bahwa selama ribuan tahun, rasa malu merupakan cara paling ampuh untuk menjinakkan pemimpin. Rasa malu lebih efektif dibandingkan hukum dan peraturan atau kecaman dan paksaan, karena manusia yang merasa malu bisa mengatur dirinya sendiri.
Tatkala gagal memenuhi harapan rakyat, cara bicara penguasa akan terputus-putus, dan pipinya memerah saat menyadari mereka sedang jadi bahan gunjingan (gosip). Sayangnya, selalu ada orang yang tak mampu merasa malu karena dibius kekuasaan atau mengidap sosiopatologis. Orang-orang seperti itu tak akan bertahan hidup dan segera terusir dari lingkungan suku-suku tradisional.
Namun, dalam kompleksitas dunia modern dengan pragmatisme berlebih dan kontrol (etika) sosial lembek, sifat tak tahu malu justru dapat insentif. Mereka yang tak terhalang rasa malu bebas melakukan hal-hal yang tak berani dilakukan orang lain, yang dengan itu bisa cepat melesat di tangga kekuasaan.
Sebuah studi menunjukkan, 4-8 persen CEO terdignosis mengalami sosiopati, dibandingkan 1 persen pada populasi umum, yang melahirkan fenomona plutokrasi miskin hati.
Situasinya lebih merisaukan dalam kepemimpinan politik.
Dalam sistem demokrasi terkini yang diwarnai “mediakrasi” (pemerintahan berbasis media) dan “timokrasi” (pemerintahan berbasis popularitas), mereka yang paling berani menabrak kepantasan adalah yang paling sering mendapat sorotan dan ganjaran viralitas. Dalam situasi demikian, yang berjaya dan bertahan bukan lagi yang paling bijak atau paling empati, melainkan yang paling tebal muka: the survival of the shameless.
Eling di zaman edan
Situasi zaman ini seperti memenuhi bayangan gelap bait- bait puisi “Serat Kalatidha” (Puisi Zaman Keraguan), karya pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita.
“Menghadapi zaman edan, sulit menggunakan budi pekerti; ikut edan aku tak sanggup, jika tidak ikut edan tidak akan kebagian; mungkin akan jatuh miskin pada akhirnya. Namun, karena kehendak Allah, seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat dan waspada.”
Dalam puisi itu digambarkan bahwa jika mengikuti arus “kegilaan”, dengan membunuh rasa bersalah dan rasa malu, hati nurani akan terganggu; tetapi jika tak ikut, kita bisa tertinggal atau kehilangan kesempatan. Namun, kendati yang larut dalam “keedanan” mungkin tampak beruntung, sejatinya orang yang tetap eling (sadar budi) dan waspada (punya kendali diri) justru akan lebih selamat dan beruntung pada akhirnya.
Serugi-ruginya manusia adalah manusia yang mati rasa dalam hidup. Rasa bersalah pertanda bahwa hati masih hidup —ia gemetar saat melukai dan perih saat mengkhianati. Rasa malu menjadi penjaga yang menuntun manusia berjalan dalam batas-batas kemuliaan. Saat keduanya sirna, lenyap pula rasa kemanusiaan. Yang lemah diabaikan, yang berbeda ditepikan, yang salah diagungkan, yang benar dibungkam.
Kemanusiaan tercekam dalam kegelapan dan kesunyian yang lebih mengerikan dari kelam malam. Tatkala hati tak lagi terusik oleh salah, dan wajah tak lagi memerah karena dosa, nurani menjadi tumpul, manusia kehilangan batasnya.
Kesalahan diulang tanpa gemetar, kehormatan dijual “murah”, korupsi menjadi kebanggaan, dan keburukan dibiarkan menjadi kebiasaan. Tak ada lagi kegelisahan di relung hati, tak ada lagi bisikan penyesalan dalam dada. Dosa tak lagi membekas, seakan hati telah mati sebelum raga terkulai.
Kehilangan rasa berdosa (salah dan malu) juga mengikis jiwa agama. Agama yang kehilangan rasa berdosa adalah agama yang kehilangan ruh. Seruan kebenaran agama tak ada artinya jika hati tak lagi memi- liki rasa bersalah dan rasa malu pada keburukan. Bisa dipahami Nabi Muhammad menyatakan, “Malu merupakan bagian dari iman” (mutaffaq alaih).
Agama bersemayam di hati yang peka dan jiwa yang menyala. Tatkala kedua rasa itu mati, lenyap pula kesadaran bahwa ada Yang Mahamenyaksikan. Akibatnya, apa yang mestinya dianggap aib, justru dirayakan penuh kebanggaan.
Apa yang semestinya dijauhi karena takut kepada Tuhan, malah dilakukan dengan keberanian. Jiwa agama pun perlahan padam di hati. Ibadah jadi hampa tanpa makna, ayat-ayat menjadi gema tak membekas, kesucian jadi simbol yang tak lagi dihayati. Orang-orang beribadah dengan mendustakan agama: memamerkan ritual tanpa akhlak dan amal kebajikan. Kehidupan kehilangan bintang penuntun (ageman).
Panggilan cinta
Situasi tanpa rasa berdosa adalah situasi mabuk yang mengancam kewarasan hidup. Keselamatan warga bumi menuntut kita, terutama elite negeri, menempuh jalan pertobatan.
Ada saat di mana hati berdiri di antara dua samudra; gumpalan dosa yang menggelapkan dan panggilan cinta yang mengajak pulang ke jalan cahaya.
Ibadah puasa adalah panggilan cinta untuk berpulang. Dalam hening fajar yang menggurat langit dengan semburat jingga, puasa membangunkan ingatan jiwa-jiwa yang tertidur. Dalam bejana diri yang dikosongkan sepanjang hari, relung jiwa mudah diisi tetesan cinta dari langit.
Ia membuka mata hati yang dibutakan gebyar duniawi, mengajak jiwa yang redup kembali menemukan cahaya. Puasa adalah jalan pulang dari kesia-siaan menuju makna, dari gelap menuju terang. Ia mengajari manu -sia kerendahan hati di hadapan waktu, mengingatkan kefanaan segala yang kita genggam, dan melatih kelapangan hati untuk mengembalikan segala titipan yang fana pada Yang Abadi.
Puasa mengajarkan bahwa tak ada pengawasan yang lebih tajam dan melekat daripada nurani dengan sinar ihsan yang senantiasa menyadari keberadaan Yang Mahamelihat. Di balik pintu tertutup, di tengah kesunyian, siapa pun bisa curang. Namun, mereka yang jujur akan merasa bersalah dan malu untuk berkhianat bahkan tatkala tak seorang pun yang melihat.
Puasa memulihkan kemampuan menahan dan mengendalikan; bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi utamanya membangun benteng pertahanan dalam hati, sebuah pelajaran memahat karakter lewat pemulihan rasa berdosa.
Puasa mendidik pemimpin suatu sikap ugahari, yang tahu batas dan mengenal kata cukup. Sebagaimana ia menahan diri dari yang halal di siang hari, ia pun belajar membatasi syahwat kekuasaan. Karena pemimpin yang baik bukanlah yang merasa bebas melakukan segalanya, melainkan yang merasa salah dan malu jika mengkhianati kepercayaan serta melukai dan menyengsarakan rakyatnya.
Di penghujung hari, saat matahari tenggelam dan dahaga terbayar, pemimpin yang belajar dari puasa akan mengerti: kekuasaan bukanlah hak mutlak, melainkan titipan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Dan hanya mereka yang memiliki rasa berdosa yang akan menjaga titipan itu sebaik-baiknya. Sebab, tanpa rasa salah dan malu, pemimpin hanyalah bayang kosong yang haus akan kehormatan, tapi kehilangan kemanusiaan.
Pemimpin yang berpuasa seharusnya belajar mengasah rasa bersalah dan malu pada janji yang diingkari, pada keadilan yang diabaikan, dan pada kepercayaan yang dikhianati.
Seperti kemampuan menahan lapar dan haus, pemimpin pun perlu ketahanan membentengi diri dari godaan kemewahan yang membutakan dan ambisi yang mengikis empati.
Pada perih perut kosong, ada pesan tersirat: bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang paling lantang bicara, melainkan yang paling takut membo- hongi dan menyengsarakan rakyatnya. Rasa malu menjaga mereka dari kesombongan, mengingatkan bahwa di balik jabatan ada tanggung jawab, di balik kehormatan ada pengorbanan.
Puasa sungguhan adalah cermin untuk mengaca diri. Di dalamnya, pemimpin yang jujur akan menemukan bayangannya sendiri—apakah ia memimpin dengan nurani yang bersih, atau sekadar memburu ambisi tanpa rasa peduli. Dan bila rasa salah dan malu masih ada dalam hatinya, itulah tanda bahwa kemanusiaan belum luruh di tengah gemerlap kekuasaan.
Karena, di ujung segala perjalanan, yang tersisa bukanlah harta atau tahta, melainkan jejak kebaikan dan kehormatan. Semua itu hanya bisa dijaga oleh pemimpin yang bukan sebatas merasa tahu, melainkan tahu merasa (salah dan malu) di hadapan manusia dan Sang Pencipta. []
- Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa