Omnibus Law: Polisi Tembakkan Gas Air Mata Saat 3.000 Pelajar dan Buruh Berunjuk Rasa
Polisi di Bandung menembakkan gas air mata dan meriam air, setelah pengunjuk rasa melakukan pembakaran di dekat jalan yang diblokir dan melempari polisi dengan batu dan bom bensin
JERNIH– Ribuan pelajar dan pekerja Indonesia pada hari Rabu memprotes undang-undang baru yang mereka katakan akan melumpuhkan hak-hak buruh dan merusak lingkungan. Mereka bentrok dengan satuan polisi, dan seorang siswa tampaknya terkena tembakan.
South China Morning Post menulis, pihak berwenang di Bandung, Provinsi Jawa Barat, memblokir jalan-jalan menuju Gedung DPRD dan Balai Kota, tempat bentrokan antara mahasiswa yang bersenjatakan batu dan polisi anti-huru hara terjadi pada Selasa malam, ketika polisi berusaha membubarkan para pengunjuk rasa.
Pada Rabu siang ini, lebih dari 3.000 pengunjuk rasa, termasuk pekerja dan siswa sekolah menengah dan mahasiswa berbagai perguruan tinggi berusaha mencapai gedung parlemen yang dijaga ketat.
Pengunjuk rasa membakar ban di dekat jalan yang diblokir dan melempari polisi dengan batu dan bom bensin, serta mendobrak gerbang kompleks parlemen. Polisi anti- huru hara merespons dengan menembakkan gas air mata dan meriam air.
Protes yang lebih kecil juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia, termasuk di kota-kota satelit Jakarta, yakni Tangerang dan Bekasi, tempat pabrik-pabrik besar berada, dan banyak kota di pulau Sumatera dan Sulawesi.
Protes di Bekasi berubah menjadi kekerasan pada sore hari, dengan video yang diperoleh AP menunjukkan seorang mahasiswa roboh tiga meter dari barikade polisi setelah terdengar suara tembakan. Siswa lain membawanya pergi, dan kondisinya tidak jelas.
Juru Bicara Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Argo Yuwono mengatakan, polisi anti-huru hara hanya menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa. Dia mengatakan pihak berwenang masih menyelidiki kekerasan di Bekasi di mana pelajar dan polisi terluka.
Argo Yuwono mengimbau pengunjuk rasa menyampaikan pandangannya dengan tertib dan santun, serta selalu memakai masker untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Ribuan pekerja dari pabrik di kota Karawang Jawa Barat dan kota Serang di provinsi Banten juga melakukan protes di luar pabrik mereka. Polisi di ibu kota, Jakarta, melarang kelompok buruh menggelar aksi massa di depan gedung DPR.
Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang baru, yang disahkan Senin lalu, diharapkan pemerintah membawa perubahan radikal pada sistem ketenagakerjaan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Ini mengubah 79 undang-undang sebelumnya, termasuk UU Ketenagakerjaan, UU Tata Ruang dan UU Pengelolaan Lingkungan.
Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi birokrasi dan memangkas birokrasi sebagai bagian dari upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menarik lebih banyak investasi di negara kepulauan yang dihuni lebih dari 270 juta orang itu.
Tujuh partai di DPR menyetujui undang-undang tersebut sementara dua partai lainnya menolak, dengan anggotanya keluar melakukan walk-out dari sidang paripurna.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau yang dikenal dengan KSPI mengatakan sekitar dua juta pekerja yang mewakili 32 serikat pekerja akan mengikuti aksi unjuk rasa dan pemogokan massal di berbagai kota selama beberapa hari, mulai Selasa.
Presiden KSPI, Said Iqbal, merilis pernyataan yang mengatakan undang-undang baru akan merugikan pekerja, termasuk dengan mengurangi uang pesangon, menghapus pembatasan tenaga kerja manual oleh pekerja asing, meningkatkan penggunaan outsourcing, dan mengubah upah bulanan menjadi upah per jam.
“Kami menolak seluruh isi Omnibus Law yang sangat merugikan pekerja,” kata Iqbal. “Ini harus segera dibatalkan. Para pekerja sudah sangat menderita akibat krisis Covid-19.”
Indonesia, perekonomian terbesar di Asia Tenggara, dengan bersemangat mengajak investor asing menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di negara yang hampir setengah populasinya berusia kurang dari 30 tahun itu.
Tahun lalu, Joko Widodo mengatakan dia akan mendorong reformasi ekonomi yang luas dan berpotensi tidak populer, termasuk undang-undang ketenagakerjaan yang lebih ramah bisnis, dalam masa jabatan terakhirnya karena dia tidak lagi dibatasi oleh politik.
“Dalam lima tahun ke depan saya tidak memiliki beban politik sehingga dalam mengambil keputusan, terutama keputusan penting bagi negara, menurut saya akan lebih mudah,” kata Widodo. [South China Morning Post]