Crispy

Pembela HAM Arab Saudi Diduga Dihilangkan Paksa di Penjara

Rekannya, Al-Hamid, seorang perintis pembela hak asasi manusia Saudi, meninggal di penjara saat menjalani hukumannya pada tahun 2020. Dia menderita stroke dua minggu sebelum kematiannya tetapi tetap ditahan meskipun dalam keadaan koma di rumah sakit.

JERNIH– Pihak berwenang Arab Saudi telah secara paksa menghilangkan seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka yang telah dipenjara sejak 2013. Amnesty International mengatakan, sang aktivis HAM, Mohammed al-Qahtani, telah ditolak untuk berkontak dengan keluarganya sejak 24 Oktober, dan kini keberadaannya tidak diketahui.

Keluarga mencurigai hilangnya al-Qahtani berkaitan dengan keluhan yang dia buat awal bulan Oktober, yang menyatakan dirinya diserang oleh narapidana lain.

Istri Al-Qahtani mengatakan kepada organisasi hak-hak Saudi, Sanad, pekan lalu bahwa dirinya prihatin akan nasib suaminya, setelah dia tidak bisa menghubunginya pada saat panggilan regular sesuai jadwal.

Sang istri kemudian menghubungi pihak penjara untuk menanyakan tentang suaminya, dan diberitahu bahwa sang suami telah dipindahkan ke penjara lain. “Namun sekali pun bersikukuh, tetap tidak diungkapkan ke penjara mana suaminya itu dipindahkan, “kata Amnesty International.

“Amnesty International mendesak pihak berwenang Arab Saudi untuk mengungkapkan keberadaan Mohammed al-Qahtani, mengizinkannya untuk menghubungi keluarganya, dan dengan segera dan tanpa syarat membebaskannya,” kata kelompok itu.

Mohammed al-Qahtani adalah seorang aktivis hak asasi manusia terkenal yang pada tahun 2009 ikut mendirikan Asosiasi Saudi untuk Hak Sipil dan Politik, yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai HASM dan dalam bahasa Inggris sebagai ACPRA.

Pada 2012 ia ditangkap bersama salah satu pendiri ACPRA lainnya, Abdullah al-Hamid.

Pada tahun 2013, pasangan itu dijatuhi hukuman 10 dan 11 tahun penjara atas aktivisme damai mereka.

Rekannya, Al-Hamid, seorang perintis pembela hak asasi manusia Saudi, meninggal di penjara saat menjalani hukumannya pada tahun 2020. Dia menderita stroke dua minggu sebelum kematiannya tetapi tetap ditahan meskipun dalam keadaan koma di rumah sakit.

Beberapa anggota pendiri ACRPA lainnya juga berada di balik jeruji besi, termasuk Waleed Abu al-Khair, dan Mohammed al-Bajadi, yang telah ditahan tanpa dakwaan atau diadili sejak 2018.

Penindasan sistematis

Para pendukung hak asasi dan peneliti mengatakan, Arab Saudi telah mempersaksikan pola represi sistematis yang berkelanjutan sejak 2017 setelah Mohamed bin Salman menjadi putra mahkota dan penguasa de-facto.

Sejak itu gelombang penangkapan telah menargetkan puluhan akademisi dan ulama, penceramah, aktivis, ekonom, pekerja hak asasi manusia, dan aktivis hak-hak perempuan.

Mayoritas tetap berada di balik jeruji besi, dengan beberapa menghadapi hukuman mati, seperti Salman Odah, Ali al-Omari, dan Awad al-Qarni.

Amnesty International mengatakan bahwa pada November 2022 telah mencatat 55 kasus orang di Arab Saudi dituntut “karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul”.

Pada Mei 2020, Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Paksa membunyikan lonceng alarm atas pola represi ini. Kelompok itu mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa kerangka hukum Arab Saudi telah gagal melindungi rakyatnya dari penghilangan paksa, yang menurut mereka digunakan sebagai alat penindasan.

“Konsentrasi kekuasaan yang tidak terkendali dan meningkat dengan otoritas kerajaan, yang telah merusak independensi peradilan telah berkontribusi pada budaya impunitas, dan aturan dan praktik investigasi telah mendorong terjadinya penghilangan paksa,” tulis Satgas PBB itu. [Middle East Eye]

Back to top button