POTPOURRI

Cerpen : Saat Perjanjian Tiba

Yang sibuk mengurus mayatku, adalah orang-orang yang kurang kuperhatikan semasa hidup. Kenal sepintas saja karena sekampung. Tak pernah akrab. Mereka orang-orang sederhana yang biasa memandikan mayat, membantu Pak Lebai. Tanpa disuruh, begitu mendengar pengumuman kematianku di pengeras suara masjid

Oleh   : Usep Romli H.M.

Tak mampu kugambarkan, bagaimana rupa tamu yang datang tiba-tiba itu. Hamya sepintas saja, tampak, mau tak mau aku  harus mengatakan, ia menakutkan! Memang demikian. Sesuai dengan kehendaknya menemuiku.

“Mengapa tak memberi kabar terlebih dulu?”aku memaksakan  bertanya.

“Sudahlah, jangan kausamakan dengan urusan dinas kantoran.“ Ia menjawab dengan nada mengejek. “Dan kata siapa tak memberi kabar lebih dulu?”

“Harap mengerti saja. Aku ini kan bukan orang sembarangan…”

“Baiklah. Aku memberi kabar dengan demam panas dingin yang kauderita,”katanya lagi sinis. ”Banyak orang yang dibokong. Sedang jalan kaki, sehat  wal afiat, misalnya.”

Berdebat tinggal berdebat. Tak berguna. Saat memenuhi perjanjian telah tiba. Dan sudah dipastikan. Salahku sendiri. Tak memperhatikan tanda-tanda soal itu. Kukira hanya demam biasa saja. Dua tiga hari diobati akan sembuh lagi. Ternyata mengandung isyarat.

“Tak ada lagi tempo luang?” aku mencoba menawar.

“Tidak ! Aku bukan tukang dagang. Bukan tukang kredit. Bukan tukang mengurus tawar-menawar.”

“Apa betul?”aku megingat-ingat nama tamu. Serasa kenal. Tapi siapa? Mungkin dulu waktu kanak-kanak, pernah akrab.”

“Nah, bersiaplah. Garis takdir, kodrat dan iradahmu sudah sampai pada titik penentuan. Detik ini kau harus pasrah untuk kubawa ke alam keabadian…..”

Nafasku tersengal. Dada gemetar. Serasa akan meledak. Sesak dan sakit luar biasa. Mulutku mencoa menganga. Tapi tak bisa. Kaku. Aku tak berdaya. Tamuku benar-benar kejam. Tak berperikemanusiaan.

Aku tersengal. Merasakan haus teramat sangat.

Yang duduk merubung di sisi kanan kiriku, tak bisa berbuat apa. Tak ada yang mampu membantu. Menolongku dari keadaan gawat ini. Membiarkanku terombang-ambing antara alam nyata dan alam gaib. Mereka membisu. Komat kamit mulut. Tapi tak terdengar suara apapun.

Dan jantungku berhenti berdetak. Napasku tak ada lagi. 

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,”orang duduk paling dekat meraba dadaku. Mendekatkan telinganya ke arah jantungku. Lalu mengucapkan “istirja”. Tanda bagi orang meninggal.  ”Sudah tiada…..”

Suara jerit tangis dari tengah rumah, terdengar. Disambung hiruk pikuk dan kesibukan tak karuan, Istri dan anak-anakku berhamburan masuk kamar. Memeluk jasadku dan menangisiku habis-habisan.     

Aku tak peduli. Jasadku digotong ke tempat memandikan. Aku heran juga. Yang sibuk mengurus mayatku, adalah orang-orang yang kurang kuperhatikan semasa hidup. Kenal sepintas saja karena sekampung. Tak pernah akrab. Mereka orang-orang sederhana yang biasa memandikan mayat, membantu Pak Lebai. Tanpa disuruh, begitu mendengar pengumuman kematianku di pengeras suara masjid, mereka segera berdatangan. Menyiapkan  segala alat keperluan memandikan mayat. Memandikannya sesuai aturan syariat agama.

Sedangkan kawan-kawan akrabku, tak seorang pun yang tampak. Mungkin masih di perjalanan. Atau mungkin tidak datang melayat. Melainkan cukup mengirim  karangan bunga tanda belasungkawa.

Padahal dengan mereka, aku bergaul erat. Setiap saat. Setiap hari. Setiap detik. Di kantor. Di ruang pertemuan. Di tempat olah raga. Bersama-sama menonton film. Dan bersama-sama menikmati kesukaan lain.

Waktu mereka satu dua datang, tak ada yang ikut memandikan mayat. Atau sekedar menengok ke tempat jasad kakuku dibersihkan. Mereka duduk-duduk saja di luar, di atas kursi yang telah disediakan bagi pelayat. Mereka asyik mengobrol bersama-sama kawan-kawannya lain. Seperti telah berpisah bertahun-tahun saja.

Mungkin mereka berkata dalam hatinya masing-masing mengenai diriku : “Waktu masih hidup, kau dihormati. Sekarang, setelah tak bernyawa lagi, siapa yang akan menghormatimu?”

Itu baru sekarang. Ketika jasadku masih berada di dunia. Betapa nanti, jika aku sudah lenyap ditutup tanah. Mungkin banyak perkataan lain dari orang-orang yang selama hidup, bekerja sama dengan segala cara.

Seorang laki-laki tegap, berjas hitam legam, datang membawa karangan bunga.

“Aku ikut sedih atas kepergian almarhum,“  Ia berkata kepada salah seorang saudaraku yang menyambut di depan pintu. “Semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan yang Maha Kuasa.”

“Aamiin,”sahut saudaraku dengan suara tersedak.

Lelaki itu salah seorang kawan terdekatku. Kami saling membantu dalam segala hal. Termasuk dalam hal-hal buruk dan salah. Yang melanggar hukum. Namun dianggap menguntungkan kami berdua. Maka kami saling menjaga dan saling memegang rahasia serapat-rapatnya.

Maka kurasa, ucapannya agar aku mendapat kebaikan di alam kubur, hanya basa-basi saja. Kata-kata asli dari lubuk hatinya, malah mempertanyakan dengan nada sinis : “Apakah menggelapkan dana milik orang lain, akan terbongkar setelah engkau mati? Di alam kubur kelak? Kalau di dunia, tak akan ada yang  mampu mengendus. Hati-hatilah. Dan jangan bawa-bawa aku di depan malaikat nanti.”

Datang lagi seorang kawan lain. Ia juga mengucapkan bela sungkawa dan harapan agar aku mendapat rahmat di alam kubur. Padahal dalam hatinya, ia bersorak gembira. Ia telah lama mengincar kedudukan dan jabatanku. Kematianku memberi jalan terbuka bagi hasratnya yang menggebu. Selama aku hidup, tak mungkin ada yang berani menggeser posisiku. Koneksiku  selalu siap melindungiku dari gangguan apapun. Karena aku menjadi kunci bagi rejeki-rejeki tambahan mereka setiap diperlukan.

Seorang lagi datang. Mengucapkan kesedihan atas kematianku dengan air mata sibak. Ia seorang pesuruh setia. Orang yang kupercaya untuk diperintah apa saja. Asal mendapat upah. Ia merasa sedih, mungkin karena memikirkan nasibnya setelah  aku tak ada. Membayangkan kehilangan tambahan penghasilan yang  melebihi gaji resminya.

Sekarang aku telah tiada. Ia tentu bingung, apakah atasannya kelak akan sebaik aku?

Pemulasaraan mayatku beres sudah. Aku sudah dikafani. Kemudian disalatkan. Ketika hidup, aku jarang salat. Apalagi salat  berjamaah. Kesibukan kerja tak memungkinkan untuk melakukan itu. Sekarang, setelah menjadi mayat, aku berada di jajaran paling depan. Malah di depan imam.

Kemudian aku digotong ke pemakaman. Ketika hidup, akupun selalu dilayani orang. Ada ajudan yang selalu siap di belakangku. Dari mulai menenteng tas hingga membuka dan menutup pintu mobilku.

Tapi tempatku sekarang, tentu akan sangat jauh berbeda dengan tempatku di dunia. Tidak akan resik, rapi dan tertata. Tidak akan ada kasur kualitas utama untukku berbaring nanti. Tidak akan ada perlengkapan lain yang mewah-mewah. Sebab aku akan mendiami sebuah tempat yang  bukan untuk hidup seperti di dunia. Melainkan untuk menunggu saat memasuki alam kekekalan. Alam akhirat yang entah berapa lama.

Pakaianku hanya tujuh lembar kain kafan sederhana. Bukan wol atau sutra lambang kebanggaan status. Untuk gengsi  dan harga diri. Tak ada selimut tebal. Tak ada kawan tidur yang molek yang dapat menemani berganti-ganti.

Hanya kelabang, ular, cacing dan ulat tanah yang akan  datang mengunjungiku nanti. Menggigiti sekujur tubuhku yang beku membusuk .

Gumpalan tanah merah menutup tubuhku yang sudah terbaring di dalam lubang kubur. Setelah selesai, ada upcara kecil. Seorang rekan mewakili semua kenalanku. Merangkai kata-kata pujian terhadapku semasa hidup. Bahwa aku seorang sosok penuh suri teladan. Hormat kepada atasan. Menghargai bawahan. Tekun mengerjakan tugas, dan lain-lain. Suatu  hal yang selalu kuinginkan tatkala hidup dulu. Tapi sekarang? Apa arti semua kedustaan itu? Ketika di dunia, mungkin pujian-pujian itu amat berguna. Menyenangkan hatiku. Juga menyenangkan pemuji. Karena sudah pasti dia akan mendapat rekomendasi kenaikan pangkat dan sebagainya, atas pujiannya itu.

Malah sekarang aku merasa sedih. Merasa tersiksa. Sebab segala sesuatu itu semua amat pamrih. Aku mendapat imbal jasa materi. Dan itu memang yang kucari. Untuk menambah pundi-pundi kekayaanku. Dan aku merasa, sebetulnya mereka tahu, aku seorang manusia  buruk seburuk-buruknya. Yang menggunakan pangkat serta kedudukan untuk memuaskan nafsuku. Bukan untuk berbuat kebaikan kepada sesama.

Aku harus mengakui, dalam menghargai sesama, aku menggunakan ukuran pangkat dan jabatan. Memandang tinggi rendah martabat seseorang berdasarkan kedudukan dsan kekayaan. Tidak pernah menghargai berdasarkan rasa kemanusiaan.

Aku merasa selamat selama hidup di dunia, karena punya prinsip, mendukung siapa yang berkuasa. Aku selalu  manut kepadanya. Apa pun perintahnya aku laksanakan. Apapun kesukaannya, aku ikuti.

Dan kini, semua itu tak berlaku. Aku harus tunduk patuh kepada keadaan yang kuhadapi di sini.

Kemudian satu persatu pergi menjauh. Termasuk anak istriku.

“Sudah saatnya kau menghadapi pemeriksaan, hai ahli kubur!” terdengar suara menggelar dari segala arah. Aku amat terkejut. Apa yang dapat kujawab dalam pemeriksaan itu? Apakah aku masih bisa menghelah? Berkata  dusta untuk men-cari selamat seperti ketika di alam dunia?

Tapi ini alam kubur. Dan aku hanya bisa menangis. Menahan rasa takut. Dan khawatir karena di dunia tak pernah belajar bicara benar dan jujur.

 “Celaka aku, duhai, celaka besar!” hatiku menjerit. Suaranya memantul di kepengapan lubang kubur.

“Sudah tiba masa menunaikan janji!” Kembali suara keras  menggedor lubang telinga.

Aku pingsan. Tapi siksaan mengerikan tak terhindarkan.

“Mana penolongmu? Amal salehmu?” teriak malaikat itu.Aku diam. Membisu. Tak mampu  menjawab apa-apa.Bahkan berdusta sekalipun seperti kebiasaanku. [  ]                                              

Back to top button