POTPOURRI

Dalam Gazal, Tak Akan Melayu Hilang di Bumi

JAKARTA—“Tiup api embun berderai

Patah galah di haluan perahu

Niat hati tak mau bercerai

Kuasa allah siapa yag tahu…”

Kawasan Riau dikenal memiliki latar belakang sejarah yang terentang panjang. Kerajaan Riau yang bercorak budaya melayu pernah berjaya baik di daratan maupun di lautan.

Latar belakang orang-orang Melayu yang gemar berdagang menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka dari pengaruh luar. Salah satunya adalah pengaruh Arab-Islam yang perlahan-lahan menghapus budaya Hindu dan Buddha.

Suku Melayu termasuk rumpun suku Autronesia. Sebagian besar bermukim di Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang selat Malaka dan Karimata. Di Indonesia suku Melayu mendiami Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Kalimantan Barat.

Sebelum Islam masuk dan berkembang pesat, Melayu sudah menjalin hubungan dengan Siam dan India. Pengaruh budaya Siam masuk melalui Kedah dan Perlis, jejaknya dapat dilihat dari beberapa jenis kesenian seperti Makyong, Menroa dan Mendu yang berkembang di wilayah Luhak Teluk Aru dan di Kerajaan Deli Serdang.

Sedangkan pengaruh India datangnya dari Tamil dan Keling yang meninggalkan corak kesenian seperti Wayang Parsi, dan Wayang Bangsawan.

Budaya Melayu masih kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tanjung Pinang  yang merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kota ini dijuluki Kota Gurindam Negeri Pantun berkat peranan Raja Ali Haji yang mengangkat hikayat negeri ini dalam Gurindam Dua Belas di tahun 1847. Maka tak heran jika masyarakatnya tidak pernah lupa akan sejarah dan budaya Melayu yang merupakan induk dari lahirnya kota Tanjung Pinang yang multietnik.

Keteguhan masyarakat Melayu di Kepulauan Riau terungkap dalam tradisinya yang kental dengan nuansa Islam. Sehingga ada pepatah berbunyi “Adat Bersendikan Syarak dan Syarak Bersendikan Kitabullah”. Sedangkan keteguhan masyarakat Melayu terhadap budayanya elok terpatri dalam kalimat “Tak Akan Melayu Hilang Di Bumi”.

Pepatah tersebut kemudian tertaut pula dalam ungkapan lainnya, yaitu “Biar Mati Anak, Jangan Mati Adat”, yang menggambarkan betapa kuatnya sikap dan cara pandang orang Melayu terhadap adat istiadatnya. Semua ungkapan yang terpelihara turun temurun telah menjadi darah daging bagi orang Melayu.

Kekayaan seni dan budaya di kepulauan Riau yang beragam, juga ditunjang keelokan paras alamnya, membuat potensi kepulauan Riau bagaikan jambrud yang bersinar di gugusan Nusantara. Banyak tempat di kepulauan Riau yang kini sudah menjadi destinasi wisata kelas dunia.

Beberapa penghargaan skala international diraih oleh keelokan alam di Kepulauan Riau. Sebut saja Treasure Bay di Lagoi, Bintan yang merupakan kolam renang air asin terbesar di Asia Tenggara, Patung Dewi Kwan Im di KTM Resort yang tertinggi se-Asia Tenggara, Vihara Avalokitesvara Graha yang terbesar se-Asia Tenggara, Patung Dewi Kwan Im di dalam Vihara Avalokitesvara Graha merupakan patung Dewi Kwan Im terbesar yang terdapat dalam sebuah ruangan se-Indonesia, Pulau Bawah di Anambas yang termasuk pulau tropis terbaik Asia versi CNN, Pantai Sisi di Natuna yang termasuk pantai alami terbaik di dunia versi Majalah Island, dan Funtasy Island yang merupakan kawasan agrowisata terbesar di dunia (wikipedia).

Salah satu tempat yang layak diperbincangkan adalah Pulau Penyengat yang bersejarah. Di pulau yang terlerak di sebelah Pulau Bintan ini tersimpan ragam kisah masa lalu ketika berjayanya kerajaan Riau Lingga pada 1828-1911. Wilayah kekuasaannya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang dan puncak keemasannya ketika diperintah oleh Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll atau Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV yang memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M. Pada bulan febuari tahun 1911 Kedaulatan negeri terancam lenyap.

Saat itu Istana Riau Lingga dikepung serdadu Belanda karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menentang Belanda. Akhirnya tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.

Dari sekian banyak seni tradisi yang masih berkembang berkembang di Pulau Penyengat adalah Seni Gazal.  Kesenian ini awalnya berkembang di Semenanjung Arab dan dipengaruhi oleh budaya India. Dibawa masuk ke Kepri saudagar arab dan Persia sejak abad 18.

Mengapresiasi Seni Gazal akan membuai perasaan dan mengahadirkan suasana melankolis. Paduan antara tepukan tabla, gesekan syarenggi (sejenis biola), alunan harmonium (sejenis piano) dan petikan Sitar gambus (gitar) berpadu dengan lirik lagu yang bernafaskan seni pantun mencerminkan karakter Melayu Kepri yang melankolis dan romantis. Syair Melayu itulah yang menjadi ciri khas dalam Seni Ghazal dari bentuk aslinya di Persia.

Seni Gazal yang berasal dari kawasan Arab dan Persia pada dasarnya merupakan puisi berima yang setiap barisnya memiliki bentuk yang sama. Isinya mengekspresikan derita hati karena kehilangan atau perpisahan. Syair jenis Gazal ini pertama kali ditulis oleh Penyair Mistik Persia, Jalaludin Rumi di abad 13 Masehi.

Namun sebelum Rumi mewarnai sastra dengan corak syair kesedihan, Seni Gazal sudah menyebar ke Asia Selatan sejak abad 12. Seni Gazal masuk ke Kepulauan Riau berkat peran Lomak yang awalnya menyebarkan Gazal di Johor, Malaysia. Sampai kemudian menyebar sampai ke Kepulauan Riau. Modifikasi yang dilakukan Lomak agar Seni Gazal yang asalnya bernuansa Arab kemudian dimelayukan dengan variasi alat musik dan syairnya.

Contoh pantun yang populer di Pulau Penyengat dalam seni Gazal adalah Embun Berderai di atas.

Seni Gazal di Kepulauan Riau dijadikan media dakwah melalui pelantunan Rubaiyat Oemar Kayam yang juga disambut hangat di Pulau Penyengat. Dari Musik Gazal, maka terpantul kuat pandangan hidup dan kearifan masyarakat Melayu Kepulauan Riau yang dinamis. [Prd]

Back to top button