POTPOURRI

Pada 14 Desember 1971: Serdadu Pakistan Membantai Ratusan Intelektual Bangladesh, Saudara Muslim Mereka

JAKARTA— Dalam banyak catatan sejarah, seringkali hubungan ashabiyyah (kesukuan, kesamaan etnis) dengan gampang mengalahkan hubungan karena kesamaan Tuhan yang disembah (ukhuwwah islamiyah) sebagaimana diperintahkan Nabi Muhammad SAW. Dengan menguatnya sistem nation state (negara bangsa) yang terjadi pada abad 20, patok-patok batas negara bahkan meruntuhkan rasa kemanusiaan dalam jiwa.

Peristiwa 14 Desember 1971 membuktikan hal itu dengan sah. Pada hari itu, militer Pakistan (barat)  membantai warga Pakistan (timur) dari etnis Bengali, terutama kalangan intelektual mereka. Darah dari ratusan (klaim Pemerintah Bangladesh bahkan hampir mencapai 1000 jiwa) mayat membasahi Dhaka Rayerbazar, laiknya Marx house dalam pembantaian yang dilakukan kaum Komunis di berbagai tempat di dunia pada abad tersebut.  Pakistan tega menumpahkan darah rakyatnya sendiri yang seagama dengan mereka, hanya karena suku  Bengali—yang merasa dijadikan warga kelas dua, menegaskan keinginan untuk merdeka.

Pembantaian seperti itu bukan satu-satunya yang terjadi. Selama Maret-Desember 1971 entah sudah berapa kali militer Pakistan menjagal para intelektual Bangladesh: cendekiawan, guru, pengacara, dokter, seniman, penulis, insinyur, dan sejenisnya ditangkap dan dieksekusi dengan cepat.  Tujuan mereka satu, yakni membuat kelas terdidik dari suku Bengali lenyap, seiring itu akan lenyap pula keinginan mereka untuk melepaskan diri dari diskriminasi. Seolah, orang-orang Pakistan itu tak tahu bagaimana rasanya menjadi warga kelas dua, manakala mereka masih bersama-sama di sebuah negara bernama India.

Awal semuanya tidaklah dimulai dari proklamasi kemerdekaan Bangladesh pada 26 Maret 1971 di Chittagong oleh Mukti Bahini–Tentara Pembebasan Nasional Bangladesh yang dibentuk kalangan militer, paramiliter, dan sipil Suku Bengali. Diskriminasi terhadap Bengali sudah terjadi cukup lama, semenjak Pakistan berpisah dengan India pada 1947.

Dipimpin seorang militer brilian, Jenderal M.A.G Osmani, berbagai satuan militer seperti Resimen Benggala Timur dan East Pakistan Riffle memainkan peran penting dalam perlawanan tersebut. Taktiknya dengan melakukan perang gerilya massal. Kekuatan tersebut bisa membebaskan banyak kota dari kekuasaan Pakistan. Sementara, pemerintah sementara Bangladesh dibentuk pada 17 April 1971 di Mujibnagar dan pindah ke Calcutta, India, sebagai pemerintah di pengasingan.

Di dalam negeri, selain perlawanan bersenjata, para aktivis Bengali mengoperasikan radio gelap Free Bengal Radio Station yang geroperasi di bawah tanah.

Berbagai operasi bersenjata yang dilancarkan Pakistan membuat situasi keamanan turun ke titik nol. Apalagi militer Pakistan pun tak segan membasmi rakyat sipil dan melakukan penjagalan besar-besaran. Misalnya Operation Searchlight yang dimulai malam 25 Maret 1971, sehari sebelum deklarasi kemerdekaan! Secara sistematis terlihat bahwa Pakistan mengupayakan penghapusan warga sipil Bengali, terutama kaum pelajar, intelektual, pemuka agama, dan sebagainya.

Semua itu menyebabkan 10 juta pengungsi Bengali melarikan diri ke India, sementara 30 juta lainnya mengungsi ke bagian lain wilayah Bangladesh yang dianggap aman.

India yang terganggu segera ikut ke arena pada 3 Desember 1971. Itu pun setelah Pakistan yang marah karena bantuan senjata India kepada Bangladesh, melancarkan serangan udara ke India Utara. Akibatnya, justru dengan segera posisi Pakistan terjepit.

Dua hari sebelum menyatakan menyerah karena kalah di berbagai front, 16 Desember 1971, militer Pakistan mengumpulkan warga Bengali di Dhaka. Pasukan Pakistan dan kolaborator local mereka—Komite Shanti, Razakars, Al-Badr dan Al-Shams, menculik dan mengumpulkan kaum terdidik Bengali. Para dosen, guru, karyawan swasta, dokter, insinyur, jurnalis, dan kalangan professional lainnya, diseret keluar dari rumah mereka. Mata mereka ditutup, sebelum dituntun untuk dibunuh. Tubuh-tubuh mereka dibuang begitu saja di Rayerbazar, Mirpur, dan tempat-tempat penjagalan lainnya di Dhaka.

Untuk mengenang mereka yang dijagal, sebuah tugu peringatan yang dikenal sebagai Martyred Intellectuals Memorial (Badhya Bhumi Smriti Soudha) dibangun di Rayer Bazaar. Sejarah, bagaimana pun pahitnya, harus dikatakan agar kita bisa belajar. [ ]

Back to top button