POTPOURRIVeritas

Revisi edisi 4 sampai 7 Malik:

Permohonan Maaf:

Karena ada kesalahan pengunggahan pada edisi 4 sampai edisi 7, maka hari ini kami muat revisi dari edisi-edisi tersebut. Mulai besok kami akan mengunggah sebagaimana biasa. Mohon maaf atas kesalahan yang terjadi.

Pengantar:

Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

Cerita bersambung di bawah ini mengulas sekelumit masa mudanya. Manakala ia masih seorang Malik.–

Oleh : Darmawan Sepriyossa

Bab II

Bermalam di Tepian Muara

“Shiraathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairilmaghdhuuubi’alaihim, waladhdhaaaaalliiin..

Aaaamiiin…”

Hanya berselang tiga menit setelah suara ramai tersebut berhenti, kaki-kaki kecil terlihat bersicepat keluar meninggalkan surau. Sempat ramai sejenak manakala mereka masing-masing mencari-cari sandal dan terompah yang mereka gunakan di undak tangga pertama. Tak banyak, karena tak sedikit pula di antara anak-anak itu yang tak bersandal atau pun terompah saat datang untuk belajar mengaji. Jadi tak lama pula mereka kembali berlarian, bersicepat menuju rumah masing-masing.

Hanya seorang anak tujuh tahunan yang tak ikut berlarian. Tapi juga tidak bisa disebut santai. Dengan tertib dilipatnya sarung yang barusan dipakainya itu memanjang, sebelum mengikatkannya kuat-kuat ke pinggangnya, menjadi serupa ikat pinggang. Lalu Alquran yang barusan dibacanya dimasukkannya ke dalam tas selempang berbahan karung goni. Tas itu tampak cukup berat, karena selain Alquran, masih ada satu dua buku yang terlihat sekilas manakala ia menyibakkan untuk memasukkan kitab suci itu.

“Mari Engku,” katanya, masih bisa sedikit berpamit sebelum melangkah menuju pintu langgar, keluar.

“Hati-hati di jalan, Malik!” seru ustad yang barusan mengajarinya membaca Alquran. Anak yang dipanggil Malik itu hanya menjawab mengiyakan, tanpa menoleh. Setelah kedua kakinya berada di luar langgar, di undakan terakhir pas pintu masuk, setengah berlari anak itu menuruni undakan demi undakan tangga langgar.

Dilihatnya hanya sandalnya yang masih tertinggal, selain selop kepunyaan ustad mereka. Cepat dipakainya sandalnya, lalu berlari menuju rumah.

“Andung, apa Angku sudah pergi?” tanya dia sesampainya di rumah. Neneknya yang tengah menisik baju robek hanya menjawab pendek pertanyaan itu.

“Iya, barusan.”

“Apa Angku bilang mau menungguku di jalan?” Malik penasaran.

“Ndak. Mungkin Angkumu capek ditegur ayahmu karena membolehkanmu ikut mencari ikan. Apalagi kali ini ia mau pasang bubu, jadi pasti menginap di dangau,” andungnya kali ini melayani Malik.

Malik terdiam. Ia segera berlari ke belakang, menuju dapur. Terdengar ia berteriak sesampainya di sana.

“Aha, Angku pasti menunggu ambo di jalan. Ini bubu dibiarkan tak Angku bawa. Berarti ambo yang harus membawanya, Andung.” Suaranya kental menyiratkan rasa senang.

Neneknya tersenyum. Ia tahu betapa cucunya itu sangat suka ikut kakeknya menangkap ikan. Tak hanya menangkap ikan itu yang ia gemari. Suaminya bercerita, cucu mereka itu begitu tertarik akan cerita-cerita lama, juga pantun dan petitih.

“Ia selalu terkagum-kagum saat aku bercerita. Selalu saja ia minta aku mendongeng lagi, dan lagi, sampai tertidur,” kata suaminya.

“Anak itu kelak akan jadi orang,” begitu saat itu ia menimpali cerita sang suami.

“Aamiin. Sayang ayahnya terelalu keras mendidiknya. Lupa bahwa anaknya itu masih kanakkanak. Terlalu awal bila sungguh-sungguh harus belajar sebagaimana belajarnya orang Siak.” Orang Siak adalah panggilan di Tanah Minang untuk para santri, pelajar yang berguru di pesantren. “Biarlah dulu ia menikmati masa kanak-kanaknya. Belajar pantun, basilek. Semua itu toh ilmu yang pasti berguna pada saatnya,” kata suaminya.

Agak kesulitan juga Malik mengejar Angku. Sebabnya ia ternyata harus membawa bubu yang ukurannya lebih besar dari badannya sendiri. Apalagi Malik pun tak pernah tinggal dari tas goni berisikan buku-buku kesukaannya.

Angku seolah sengaja meninggalkan bubu besar itu untuk dibawa Malik. Anak itu tahu, angku yang sangat disayanginya itu tak mungkin alpa membawa bubu kalau berangkat ke muara pada petang hari menjelang malam. Malam adalah saatnya menangkap ikan dengan bubu. Dipasang malam, dibiarkan ditinggal tidur sementara aneka ikan terperangkap dalam bubu, baru esok paginya bubu itu diangkat. Biasanya aneka ikan pun akan didapat. Mulai dari ikan gariang, rinuak, bada, gupareh, asang, nila, mas, gabus, betok, sidat, cide-cide, patin, tawas, lele, kelus (gurame), bahkan tak jarang beberapa udang besar terperangkap di sana.

Jadi tak mungkin Angku lupa, apalagi itu bubu kesayangannya. Yang paling mungkin, tanpa harus menitip pesan kepada Andung (nenek), Angku menghendakinya membawa bubu itu.

Ada kemungkinan cara itu sebenarnya dilakukan Angku untuk mengetes dirinya. “Baiklah,” kata Malik kepada dirinya sendiri. “Siapa bilang awak bisa silap bahwa ini cara Angku menguji apakah awak sigap atau tidak.” Dipanggulnya bubu di satu sisi bahunya.

Tangan lainnya mau tak mau mencoba memegang juga bubu itu agar tak lepas atau hilang keseimbangan. Segera merasa letak bubunya sudah aman, Malik berangkat dengan langkah cepat, nyaris berlari-lari kecil.

“Angku….! Tunggu Malik, Angku…!” Mulutnya memanggil-manggil angkunya yang belum lagi terlihat. Baru setelah nyaris tiba di mulut kampung yang jalanannya panjang lurus, Malik melihat punggung Angkunya. Tak jauh, hanya sekitar 100 meter di depannya.

“Angku…! Tunggu!”

Terlihat angkunya berhenti, lalu berbalik. Samar Malik melihat mulut angkunya bergerakgerak. Sayang, jarak tak cukup dekat untuk bisa mendengar yang angku katakan. Setelah itu, dilihatnya angku berdiri, menunggu dirinya.

“Kenapa lama sekali Kau di langgar, Buyung?” Angkunya bertanya setelah ia tiba.

“Ambo dapat bagian paling buncit, Angku. Setiap bilang minta giliran, Ustad bilang biar Ambo kebagian ngaji paling akhir saja.” Mulut Malik menekuk saat berkata-kata. Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa dirinya pun kecewa karena pulang ngaji kali ini lebih telat dari biasa.

“Mungkin ustadmu mau mengujimu, Buyung. Kau ikuti sajalah. Sabar memang bagus buat anak tak bisa diam sepertimu.” Angkunya justru tertawa, membuat Malik sedikit mendongkol. Untung saja angkunya bijak. Segera orang tua itu mengambil alih bubu dari bahu Malik. Ringan saja bubu itu kini dipanggulnya. Malik ganti membawakan joran dan ceret yang tadi dibawa angku. Ceret itu biasa mereka gunakan untuk merebus air nanti malam. Dingin-dingin di tepi sungai enak benar dinikmati sambil minum kopi atau teh manis.

Angku sesekali mengizinkan Malik membuat kopi untuk dirinya sendiri dan belajar menikmati larutan hitam, manis dan kental itu.

Sebulan lalu Angku memberi contoh bagaimana membuat kopi yang benar. Bukan diseduh sebagaimana kebiasaan orang-orang yang ingin serba cepat namun mengabaikan rasa dan  khasiat. Kopi itu akan direbus Angku dalam air mendidih, agar air bersuhu sangat panas itu mengeluarkan minyak dan saripati kopi untuk bisa dinikmati. Baru kemudian ditambahkan gula secukupnya. Menurut angku, kopi yang direbus jarang membuat orang sakit perut akut yang rasanya melilit-lilit, tapi tak demikian dengan kopi yang hanya diseduh kemudian ditambah gula seenak perut. Apalagi bila gulanya gula pasir, yang diperkenalkan orang-orang Belanda dengan membangun sekian banyak pabrik gula sekitar 50-an tahun lalu.

“Gula yang kelebihan membuat kopi jadi asam, tak baik buat lambungmu,” kata Angku saat mengajari Malik itu. Entah benar atau tidak. Malik tak pernah mau membantah, apalagi tanpa pengetahuan sebelumnya. Ia tak suka bersilat lidah tanpa hujjah.

Itulah sebabnya, sebelum memuat kopi Angku selalu bertanya apakah Malik mau minum kopi atau teh. Bila pilihannya teh, Malik akan dibuatkan lebih dulu, baru kemudian air yang tersisa akan dibuat Angku merebus kopi. Tetapi yang terjadi sih selalu saja Malik menikmati keduanya: minta teh karena akan dibuatkan lebih dulu, setelah itu ia akan minta izin pula untuk menikmati kopi yang dibuat oleh dan dengan rasa khusus kegemaran angkunya itu. Kopi yang hanya menggunakan sedikit sekali gula aren dengan warna merah bening berkilat, tanda dibuat dengan bahan baku nira bersih segar.

Awalnya Malik merasa ganjil dengan rasa manis sepat yang diminumnya. Lama-lama ia justru seperti ketagihan, kalau tak dibatasi angkunya. “Jangan sering-sering minum kopi, Cu. Kau masih kanak-kanak. Bukan apa-apa, Angku takut kau malah jadi pelanggan warung kopi dan lebih senang duduk mencangkung nanti,” Angku berseloroh.

Sepanjang jalan angkunya tak henti berkata-kata. Kali ini ia bicara soal bagaimana meletakkan bubu di tempat yang benar. Angku bicara tentang tempat-tempat mana yang memungkinkan mereka memerangkap banyak ikan, serta pilihan ikan yang hendak didapat.

“Kalau kau mau lele, letakkan bubumu di tepian yang dekat akar-akar pohon menjulur ke sungai. Hanya hati-hati, kadang-kadang banyak pula ular di tempat seperti itu,” kata Angku. Angku juga mengajarinya bagaimana meletakkan posisi bubu dengan benar. Lubang perangkap jangan terlalu menunduk untuk jenis ikan ini, jangan dongak bila menginginkan ikan itu, serta bagaimana membuat lubang perangkapnya gampang dimasuki ikan-ikan tanpa mereka sadar, yakni dengan meletakkan ranting dan daun di sekeliling mulut bubu itu.

“Namun jangan pula membuat ikan sulit mencari jalan masuk bubu,” kata Angku. Tentang bagaimana membendung air pun diajarinya. Malik diberi tahu memilih tanah liat yang bagus untuk membendung, yakni yang tidak terlalu gampang ambrol saat air merembesinya.

Tanah liat yang bagus, kata Angku, biasanya berwarna kemerahan. Itu tanah lempung yang benar-benar liat dan kuat menahan rembesan air.

Tak terasa, mereka sudah sampai di persawahan tepi sungai. Malik melihat padi sudah mulai menguning dan diserbu burung-burung pipit yang terbang kian kemari mencoba mematuki butir-butir padi yang bernas. Kepakan sayap mereka bergerak cepat manakala mencoba terbang diam saat mematuki bulir padi dari rangkaiannya. Tentu saja di saat seperti itu para petani tak membiarkan burung-burung pipit itu berpesta pora tanpa terganggu. Mereka telah membuat orang-orangan sawah di berbagai penjuru, bahkan di tengah sawah luas itu terlihat beberapa. Juga klonengan. Semua orang-orangan dan klonengan itu tersambung tali temali yang berujung di dangau tempat petani menunggui sawah dan beristirahat. Setiap kali tali itu disentak, bergeraklah orang-orangan itu, bergoyang-goyang menakuti burung-burung. Sementara klonengan akan berbunyi, membuat burung-burung itu semakin ketakutan.

Malik memperhatikan, nyaris tak ada burung pipit yang menclok di batang padi saat mematuk. Semua terbang, bergerak, namun diam di tempat. Memperhatikan kepak sayap pipit bergerak cepat dari kejauhan pun sungguh merupakan kesenangan tersendiri bagi Malik. Itulah yang membuatnya selalu betah pergi kemana pun bersama kakek. Tak hanya ia akan melihat hal-hal mengasyikan, tapi cerita kakek pun selalu membuatnya senang berlama-lama mendengarnya.

“Sebentar lagi kau bisa main terompet-terompetan, Malik,” kata Angku. “Bulir padi mulai menguning masak, dan tak sampai dua pekan ke depan sawah-sawah ini akan dipanen pemiliknya. Kau bisa mengambil batang-batang padi yang besar-besar, biar Angku buatkan terompet buatmu nanti.”

“Wah, terima kasih, Angku,” sahut Malik gembira. “Tetapi Ambo belum berani pakai aniani, takut luka kena jari.”

“Nanti Angku ajari juga bagaimana cara menggunakan ani-ani. Meski kau laki-laki, setidaknya kau tahu bagaimana cara memakai perkakas, Buyung,” kata Angku.

Seseorang di dangau berteriak menyapa Angku. Sambil tetap berjalan Angku menjawabnya. Mereka bersahut-sahutan sejenak, bertanya kabar, kadang diiringi tawa masing-masing manakala canda terlontar. Rumpun padi yang cukup tinggi dan jarak lumayan jauh ke dangau membuat keduanya tak saling melihat. Tetapi itu tak mengurangi keakraban di antara mereka.

“Jerat ikan yang banyak, Angku. Agar bisa sedikit berbagi kemari,” kata petani di dangau, diiringi tawa berderai.

“Iyooo!” sahut Angku. Lalu dengan satu kata pendek ia mengakhiri percakapan itu karena jarak mereka pun kian jauh.

Sekitar sepeminuman kopi kemudian mereka telah tiba di muara. Tempat itu merupakan akhir aliran sungai memasuki Danau Maninjau. Segala unsur hara yang dibawa sungai, termasuk berbagai makanan bagi ikan-ikan terkumpul di sini. Tak heran bila muara menjadi salah satu tempat yang banyak ikannya. Tak ada orang terlihat di sana, kecuali mereka berdua.

Angku segera meletakkan barang-barang yang dibawanya di dangau, diikuti Malik. Hanya bubu dan golok yang tetap bersamanya saat Angku mulai turun ke sungai.

Malik segera mengambil cangkul kecil di dangau buatan angkunya itu. Dengan cangkul itu ia berlari hendak mencari tanah lempung guna membendung air dan memasang bubu. Tak lama ia kembali dengan sebongkah besar lempung di bahunya. Ia bolak-balik sekitar empat kali sebelum angku memberitahu bahwa tanah liat telah cukup.

Matahari telah nyaris hilang ditelan cakrawala, namun semburat layung masih menyisakan banyak cahaya yang membantu kakek dan cucu itu bergerak cepat memasang bubu.

“Harusnya kau buka dululah bajumu, Cu,” kata Angku. “Memangnya kamu sudah lupa makmu marah gara-gara bajumu kotor sepekan lalu?”

Malik diam, merasa bersalah.

“Lupa, Angku.”

“Ya sudahlah…”

Seolah hendak mencari pengampunan, Malik bergegas ke arah perdu di dekatnya. Di tangannya tergenggam sebilah golok kecil. Dengan golok itu ditebasnya beberapa dahan kecil dan ranting-ranting berdaun lebat. Diserahkannya segumuk ranting dan daun-daun  perdu itu ke Angku, yang segera menatanya di sekeliling mulut bubu yang telah terpasang sempurna.

“Nah, kelar sudah, Cu,” kata Angku. “Ayo bersihkan dirimu, kita shalat maghrib.”

***

Lepas Isya, Angku menjerang air untuk membuat kopi serta teh manis buat Malik. Air diambilnya dari mata air yang membual deras dekat akar-akar pohon beringin tua yang berdiri tegak sekitar 30 meter dari dangau. Besarnya sekitar dua kali badan seekor kerbau dewasa. Kalau dilihat dari arah dangau, pohon beringin itu seolah hanya gumuk hitam yang pekat. Gelap yang membawa kesan aneh dan misterius bagi Malik. Angku mendatanginya dengan berbekal obor minyak kelapa bersumbu tali kapuk yang dipintal Andung.

Sebenarnya ayah Malik sudah memiliki barang berharga sebagai alat penerangan, lampu senter. Barang itu dibeli saat pulang berhaji di waktu mudanya. Lampu senter yang tak pernah luput, selalu dibawanya serta dalam setiap perjalanan dakwahnya. Ayah tak pernah menolak manakala datang tamu yang memintanya memberikan pengajian atau ceramah pada malam hari. Saat itulah lampu senter itu benar-benar diperlukan dalam perjalanan.

Angku tak pernah sekali pun meminjam senter ayah itu untuk keperluan bermalam di dangau. Bukan tak perlu, mungkin Angku merasa sayang saja. Lampu senter bermerek ‘Daylo’[1] itu harus diisi batu batere agar ia menyala. Merek batu baterenya Eveready, diproduksi jauh di Batavia[2].

Di Maninjau penjualnya nyaris tak ada, sehingga harus beli ke Padang Panjang atau Payakumbuh. Jadi wajar Angku tak hendak meminjam senter, karena tak enak hati bila ia menghabiskan batere itu di dangau, dan harus jauh-jauh menyengaja datang ke Payakumbuh hanya untuk membeli penggantinya.

Malik merasa lebih aman manakala Angku datang dan segera menjerang air di tungku api.

Entah mengapa, gerumbul hitam pohon beringin serta kegelapan yang merajalela di manamana kecuali di sekitar dangau itu membuatnya tak tenteram. Hatinya lebih senang lagi manakala api telah berkobar di tungku. Tak hanya berharap dirinya bisa segera minum the manis dan ikut menikmati kopi Angku, tetapi kobaran api pun membuat lebih banyak area sekitar dangau menjadi terang. Malik sejak kecil tak suka gelap, ia seolah agak membenci kegelapan.

“Nih, Cu,” kata Angku memberikan mug kaleng berisikan teh yang masih panas mengepulkan asap. “Awas, panas.”

Peringatan yang tak perlu sebenarnya. Bahkan meski hanya diterangi cahaya kobaran api tungku dan cahaya obor di dua sudut dangau, uap panas tampak mengepul dari mug kaleng itu. Hati-hati Malik menerima mug, menaruhnya agak jauh dari kakinya untuk berjaga-jaga agar tak kena sepak tak sengaja.

“Kau mau didongengi apa malam ini, Buyung?” tanya Angku. Panggilan itu hanya akan diucapkan Angku manakala keduanya berada dalam kondisi-kondis seperti malam ini: berdua, tak ada yang mengganggu, bisa melakukan apa pun terserah Angku dan cucunya itu. Malik mencoba mengingat-ingat berbagai cerita yang pernah didengarnya dari Angku.

Ada anak durhaka bernama Malin Kundang yang dikutuk ibunya jadi batu karena

kesombongannya. Atau cerita Cindue Mato, yang memiliki bagian kisah tentang bagaimana menyabung ayam, kesukaan Malik lainnya setelah membaca. Cerita itu pun mengenalkan Malik pada berbagai hewan dahsyat yang coba ia bayangkan dalam benaknya. Ia selalu terkagum-kagum pada keperkasaan Binuang, kerbau yang besar dan kekuatannya setara, bahkan melebihi gajah. Atau kepada Gumarang, kuda yang bisa berlari dengan sangat cepat, seolah terbang laksana kilat menuju tujuan. Pernah suatu ketika Malik diam-diam menonton pacuan kuda. Saat itu dilihatnya seekor kuda berdiri besar dan gagah, persis sebagaimana Gumarang dalam bayangan benaknya. Ingin rasanya saat itu ia menggantikan jokinya, menunggangi ‘Gumarang’ dan memenangkan pertandingan.

Lain kali Angku juga bercerita tentang Malik Radin, atau tentang Sabai Nan Aluih, atau tentang kepemimpinan Bundo Kanduang, dan sebagainya.

“Atau barangkali kau mau dengar cerita tentang para Cindaku, manusia jadi-jadian yang banyak berkeliaran di antara kita manusia?” Angkunya mengagetkan lamunan Malik.

Bocah tujuh tahun itu tak menjawab. Susah. Mau mengiyakan, ia tak antusias mendengar cerita seram itu di sini, di dangau tepi muara sungai dengan bayangan hitam beringin tua di dekatnya. Hendak menolak pun ia tak tega membuat dirinya terlihat penakut di mata angkunya.

Akhirnya berceritalah angkunya tentang manusia jejadian yang sesekali bisa mengubah diri menjadi harimau itu. Tentang nenek moyang kaum Cindaku, Tingkas, yang memulai perjanjian dengan kaum harimau penguasa hutan di zaman dulu kala. Perjanjian tentang siapa saja perambah hutan yang layak diterkam si raja rimba dan siapa yang tak boleh.

“Para Cindaku ini punya ciri khas, Cu. Mereka tak punya lekukan di antara hidung dan bibir. Mereka juga sadar akan kelemahan itu. Makanya hampir semua Cindaku jantan selalu memelihara kumis tebal. Pada Cindaku perempuan juga menampak sedikit itu kumis…”

Selama Angku bercerita itu, Malik diam-diam terus mendekat ke pangkuan Angku, merangkul badan kakeknya itu erat-erat, seolah senyampang Angku bercerita, diam-diam sesosok Cindaku mengintai mereka.

“Biasanya kalau Cindaku itu merasa dijahati, apalagi bila dirasanya keterlaluan, ia akan

menunggu orang yang menjahatinya di jalan sunyi. Manakala orang itu datang, sang Cindaku yang telah mengintai mangsanya itu akan menerkam dari belakang, sasarannya tengkuk orang tersebut untuk digigit dan diputuskan dari badan,” kata Angku.

“Hiii…” Malik meringis, tak bisa menutupi rasa takutnya. Diam-diam Angku yang sedang datang isengnya itu merasa senang bisa mengerjai cucunya.

“Hauuurrrrrggrrrrhhh! Kini taring tajam Cindaku itu sudah menancap di tengkuk mangsanya,” kata Angku. Sambil menggeram ia melompat bangun tiba-tiba, membuat Malik yang dari tadi meringkuk di pangkuannya terlontar, berguling seputaran di balai-balai dangau.

“Adaaaw!” Malik menjerit takut, terkejut terutama. Kalau saja siang, tentu dengan jelas tergambar wajahnya yang pucat lesi ketakutan. Namun ketakutan itu tak lama, berganti sedikit rasa kesal. Pasalnya, Angku pun segera tertawa senang hingga Malik sadar ia tengah dipermainkan.

“Aaaah, Angku!” katanya merajuk. Angku masih saja tertawa hingga beberapa menit kemudian. Hanya beberapa tegukan kopi yang kemudian bisa membuat tawanya yang masih berderai sesekali itu hilang sama sekali.

“Ah, Kau akan susah tidur Malik. Daripada Angku sudah tidur dan kau tetap terjaga dicekam ketakutan, lebih baik Angku ajak kau berpeluh sebentar ya. Lelah mungkin saja akan membuatmu segera tidur nyenyak,” kata Angku.

Ia lalu meminta Malik turun dari dangau dan melepas pakaian. Malik patuh, ia yakin tak mungkin Angku memintanya sesuatu yang akan merugikan dirinya. Angku kemudian berjalan mencari tempat yang agak lapang, diikuti Malik dari belakang.

“Kau akan Angku kasih beberapa jurus permainan basilek Minang, Cu. Beberapa jurus yang bisa menghindarkan dirimu jadi bulan-bulanan siapa pun yang tak suka padamu, kelak, entah kapan.”

Malik diam. Ikatan batin antara dirinya dengan Angku memang lebih kuat dibanding ikatan batinnya dengan ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah, atau lebih dikenal masyarakat seantero Minang sebagai Haji Rasul, seorang ulama besar yang dihormati hingga Mekkah-Madinah, bahkan di dunia Islam umumnya. Malik mengetahui itu tak hanya dari apa yang ia sempat baca dan dengar dari orang-orang, melainkan dari cara orang-orang memperlakukan ayahnya, di mana pun ayahnya berada.

Sebelum meminta Malik mengikutinya, Angku memainkan serangkaian gerakan basilek.

Semua gerakan lelaki usia tujuh puluhan itu benar-benar membuat Malik tercengang. Tak hanya angkunya begitu gesit dan sigap bergerak, dari berkelit, merunduk bagai macan mengintai mangsa, melontarkan tinju ke berbagai arah, melesakkan tendangan, bangkit dan melompat tinggi, hingga betapa terlihat liat raga yang terhitung tua itu menjatuhkan tubuh, berguling di tanah, lalu bangkit kembali dan secepatnya melakukan tendangan sambil memutar tubuh dan melompat setinggi dada orang dewasa.

“Haaat!” teriak Angku kencang, seolah waktu itu matahari masih benderang dan semua dilakukan di lapangan depan langgar.

Hilanglah sudah semua ketakutan Malik akan Cindaku. Ia yakin, tak ada seorang Cindaku pun yang akan sanggup berbuat seenaknya terhadap kakeknya itu. Hanya teriakannya saja, pikir Malik, sekali pun ada Cindaku yang sejak tadi mengintai mereka berdua, tentu saat ini sudah kabur terbirit-birit entah kemana.

“Kini, kau ikutilah Angkumu ini, Malik,”kata Angku, setelah terdiam beberapa saat usai menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan berulang kali.

“Ambo, Angku,” Malik menyahut dengan sigap. Suaranya terdengar tegas dan bertenaga, membuat Angku senang dan bangga.

Malik mengikuti setiap langkah dan gerak yang dicontohkan Angku. Ia juga memperbaiki setiap kesalahan kecil yang dilakukannya. Misalnya letak atau arah kaki, sudut dan arah pukulan atau tendangan, tinggi rendah kuda-kuda, cepat atau lambatnya gerakan, dan sebagainya.

Lama-lama tak terasa, tak hanya degub jantung Malik yang berdentam kuat dan kencang, keringat di badannya pun berleleran. Apalagi Angku memang tak setengah hati. Ia tak segan meminta Malik mengulangi berkali-kali gerakan yang terlihat tidak sempurna di matanya. Berselang sekitar dua jam dari mulainya mereka berlatih silek Minang, nafas Malik pun terdengar ngos-ngosan.

“Istirahatlah, Cu. Sudah itu nanti kita mandi. Tak sehat tidur dengan badan berkeringat penuh kotoran. Air juga akan membuat kantukmu cepat datang,” kata Angku.

Malik menuju balai-balai dangau. Diambilnya lipatan sarung dari tas selempangnya. Diikutinya Angku yang berjarak dua meteran di depannya, lebih dulu turun ke sungai berbekal obor. Keduanya mandi, membersihkan kotoran dan daki daki yang luruh disapu keringat. Angku mengulurkan sekerat kecil sabun mandi, yang segera diterima Malik.

Sabun itu segera berbusa banyak begitu digosokkan ke tubuhnya. Malik senang, dengan sabun itu pula ia berkeramas.

Usai mandi, Malik segera mengambil sarung dan mengeringkan badan dengan sarung itu. Bukan tak ada handuk di rumah, namun menurutnya tidak praktis membawa-bawa handuk untuk sekadar ikut angkunya memasang bubu. Segar rasanya badan setelah mandi, apalagi setelah bercapek-capek memasang bubu dan latihan silek.

Apa yang diucapkan Angku, memang benar dirasakan Malik malam itu. Ia hanya sempat memakan sepotong Arai Pinang, sejenis kue beras yang dibawakan Andungnya saat tadi sore berangkat. Lalu perlahan rasa kantuknya datang hingga tak mampu lagi tangannya menjangkau kue Pinyaram di piring kaleng.

**

Malik terbangun. Sinar matahari yang menyusup celah di antara rimbunnya daun-daun dan lubang bocoran atap dangau tepat menghunjam matanya yang terkatup dalam tidur.  Memberinya panas setelah beberapa lama, hingga silaunya kemudian mampu membuka mata dan kesadaran anak tujuh tahun itu. Dicarinya kakeknya yang semalam telah mengajarinya serangkai jurus silek Minang, tak tertangkap matanya ada di mana.

“Sudah bangun, Cu?” terkaget Malik, mendapati Angku sudah berada di belakangnya. Di tangan Angku tergenggam seutas kulit Pohon Baru dengan serangkai panjang ikan di sana.

Panjang, karena banyaknya ikan yang didapat. Malik melihat ada Kelus, Gariang, Lele, Sepat, bahkan Patin dalam rangkaian itu.

“Maafkan Angku. Tidurmu begitu nyenyak, hingga Angku tak tega membangunkanmu untuk sembahyang Subuh. Angku angkat sendiri bubu kita. Nih.” Angku menyerahkan rentengan ikan itu, yang segera diambilnya. Wuuih, beratnya!

“Kau mandi di rumah saja, Buyung. Angku kuatir kamu terlambat masuk sekolah. Ayo kita pulang. Bawa perkakasmu.” Sambil berkata demikian Angku mengangkat bubu yang tergeletak di pojok dangau. Bubu itu dipangkunya dengan ringan. Tangan kanannya mengambil beberapa batang joran yang semalam juga sengaja ditegerkan di muara. Malik tak bertanya adakah di antara joran-joran itu yang berhasil menangkap ikan atau tidak.

Kalau pun ada, ikan sial yang kena pancing itu tentu sudah berada di antara rentengan tali Pohon Baru yang dijinjingnya.

Sambil berjalan pulang melewati pematang sawah dan tepian kali, Angku bernyanyi, kadang berpantun sekadar penghilang bosan. Suara Angku merdu sekali saat menyanyikan lagulagu lama macam Sirantih Teluknya Dalam, Lagu Sianok dan Palembayan. Suaranya meliukliuk, seolah gunung dan lembah yang mengelilingi Maninjau. Sesekali terdengar suara dari kejauhan, menyatakan kesenangannya ikut mendengar nyanyian Angku.

“Rancak Angku!” Biasanya Angku hanya melihat Malik dan tersenyum sebagai responsnya atas pujian itu.

Habis lagu, Angku masih melagukan pantun. Beberapa telah dihafal luar kepala oleh Malik, karena tak jarang juga Angku melagukan pantun-pantun itu bersama Malik selepas Isya.

Tentu saja bila ayah Malik, Haji Rasul, sedang tak ada di rumah dalam perjalanan dakwah atau organisasinya. Tetapi berapa lama sih Haji Rasul berada di rumah? Tak lebih dari tiga hari dalam sepekan rata-ratanya. Alhasil, cukup kerap juga Malik dan angkunya punya  kesempatan melewatkan malam selepas Isya, sebelum ia diburu-buru ibunya, Shafiah, untuk segera tidur.

Bukittinggi boleh didaki

Lurah dalam berkala-kala

Penat kaki boleh berhenti

Berat beban siapa membawa

Anak tiung atas rambutan

Berbunyi bertongkat paruh

Berhenti kapal di lautan

Tiba angin berlayar jauh

Kampung Tengah kotanya landai

Pematang guntung ketinggian

Jangan lengah janji kan sampai

Untung-untung berkejadian

Meski mendengarnya sudah berkali-kali, Malik kadang masih tak bisa menahan tawMeski mendengarnya sudah berkali-kali, Malik kadang masih tak bisa menahan tawa saat Angku melagukan pantun jenaka.

Orang masak pakai kuali

Membawa pelita semuanya

Berbisik si pekak dengan si tuli

Tertawa si buta melihatnya

Ambil segulung rotan saga

Sudah diambil mari diurut

Duduk termenung harimau tua

Melihat kambing mencabut janggut

Elok berjalan kota tua

Kiri kanan berbatang sepat

Elok berbini orang tua

Perut kenyang ajaran dapat

Persawahan sudah berada di belakang mereka berdua. Kini kakek dan cucu itu mulai memasuki perkampungan. Jalan mulai besar, terbuat dari batu-batu yang dikeraskan. Di kiri kanan jalan beberapa anak tercengang melihat tangkapan yang dibawa Malik. Bocah-bocah itu berdecak, seolah ingin memiliki angku sebagaimana angku Malik. Beberapa anak bahkan mengikuti dua kakek dan cucu itu beberapa jauh, sebelum pulang kembali ke tempat mereka tadi bertemu. Sebagaimana Malik, beberapa di antara anak-anak itu tentu harus masuk sekolah.

Namun pelan-pelan sebenarnya hati Malik mulai bergemuruh. Perasaan kacau itu kian kuat semakin ia dekat ke rumah. Perasaan senang dan bangganya bertambah hilang, berubah menjadi waswas dan bahkan takut. Timbul perasaan dalam hatinya bahwa ia akan kena marah ibunya. Dan kekuatiran itu membuat jantungnya lebih lagi berdebar-debar gemuruh takut ayahnya sedang pulang dari perjalanan dakwahnya, dan tengah berada di rumah.

Malik ingat terakhir kali ia ikut Angku ke muara, sekitar tiga pekan lalu. Saat itu ayahnya baru tiba di rumah setelah berceramah di Bukittinggi. Mungkin dapat kabar dari ibunya saat bertanya, Haji Rasul sudah berada di mulut halaman saat Malik dan Angku datang. Matanya nyalang, laksana elang siap menyambar anak ayam.

“Beginikah caramu sebagai anak ulama mengisi waktu, Malik?” kata Haji Rasul keras, bahkan sebelum punggung Angku lenyap ke dalam rumah. Malik hanya diam. Ia tahu, tak ada gunanya berjawab-jawab dengan ayahnya. Paling tidak ia memang salah karena sebelumnya pun telah berjanji tak akan lagi ikut Angku memasang bubu malam hingga bermalam di dangau tepi muara.

“Menghafal pantun, memerangkap ikan malam-malam, menari randai, berlatih silek, apa yang telah kau lakukan untuk selalu mendekatkan dirimu kepada Allah SWT, Malik? Begini kau mau jadi anak ulama pewaris Nabi?” Haji Rasul belum lagi puas memarahi anak laki- lakinya itu.

“Lihat pakaian kau tuh, Malik! Kotor, kumal, seakan tak pernah diurus ayah ibumu saja.”

“Malik, Waang ini anak laki-laki tertua Ayah. Ayah ingin Kau jadi ulama besar, orang berilmu. Seorang faqih yang dihormati orang,” Haji Rasul menghela nafas. “Sedang Waang tampaknya lebih memilih jadi tukang kaba atau orang pantun. Keluarga kita, dari ayahmu, kakek, lalu ayah kakekmu dan kakek dari kakekmu, semua ulama pewaris Nabi. Leluhur kita itu pendamping setia Tuan Peto Syarif alias Tuanku Imam Bonjol. Orang semua tahu. Jangan waang lupakan itu!”

“Saya, Ayah.” Malik baru membuka mulut. Tak elok juga bila terus berdiam diri.

Untung saja ibunya segera keluar rumah, mungkin diberitahu Angku. Segera ibunya menyambut tangannya yang memegang rangkaian ikan, lalu tangan satunya segera menjewer telinga Malik, menariknya hingga anaknya itu terpaksa harus mengikutinya masuk ke dalam rumah.

“Sudah, mandi sana, segera. Makan, lalu berangkat sekolah,” kata Mak setengah berbisik. Malik tahu, ibunya tentu berpihak padanya. Cara Mak menjewer telinganya tak lain agar dirinya tak berlama-lama dimarahi ayahnya itu.

Malik dengan gesit berlari ke belakang, lalu tak berapa lama terdengar kecipak suara air mengguyur tubuh. Cepat sekali ia bersalin dengan pakaian bersih setelah mandi.

Saat Haji Rasul masuk, ia sudah melihat anak laki-lakinya itu menekuni nasi dan goreng ikan gariang yang dibawanya tadi. Haji Rasul tak lagi berkata-kata. Ia hanya menggelenggelengkan kepala, memandang anaknya. Kalau saja Malik melihat tatapan mata ayahnya, yang terpancar dari bola mata itu hanya kasih sayang belaka. Tak ada lagi nyalang mata elang, sesuatu yang selalu ia perlihatkan saat menentang mata bocah itu.

“Kau hati-hati di jalan, ya Nak. Pulang sekolah, sore nanti kau jangan lupa mengaji,” kata dia.

Nyaris tersedak nasi yang tengah ditelannya, Malik hanya menjawab pendek,” Ya Ayah.”

Saat itulah Angku masuk ke ruang tengah. Ia sudah berganti baju dengan baju gania putih. Destar kumal yang semalam dipakainya ke muara telah berganti sebuah songkok hitam. Songkok yang masih tampak baik meski terlihat tak lagi baru. Tangan Angku memegang cangklong yang mengepulkan asap tembakau Deli, tembakau kesukaannya.

“Biarkanlah Si Malik itu, Haji,” kata Angku sambil menghempaskan diri ke kursi. “Biar dia sejak kecil tahu banyak pekerjaan-pekerjaan orang kampung. Kalau ia sudah bujang, apalagi yang akan dia geluti kecuali kitab-kitab sebagaimana Nak Haji waktu muda, kan?”

“Biarkanlah saja dulu dia menikmati masa kanak-kanaknya. Tak ada salahnya, menurut Angku.”

“Bukan begitu, Angku,” kata Haji Rasul, memulai jawabannya. Seterusnya ia mengulangi alasan yang telah berkali didengar Malik, terutama soal bahwa pekerjaan seperti berpantun, basilek, menari randai dan sebegainya itu hanyalah hal-hal yang bisa melalaikan perhatian orang dari mendekatkan diri kepada Allah.

Malik tentu saja merasa rikuh berada dalam situasi seperti itu. Ia tak hendak menyaksikan angkunya berdebat dengan ayahnya. Kedua laki-laki dewasa itu adalah orang-orang yang ia hormati sepenuh hati. Untunglah nasi dan goreng ikan gariangnya sudah habis. Cepat ia membawa piring kotornya ke dapur dan mencuci tangan. Sesegera itu pula ke ruang tengah menemui Angku dan ayahnya. Cepat diciumnya tangan ayah, Angku lalu ibunya. Segera ia pamit berangkat ke sekolah.

Waktu langkahnya sampai di pintu depan, samar-samar ia masih mendengar Angku dan ayahnya bicara, berdebat, diselingi suara ibunya, Safiyah. Jelas mereka bertiga membicarakan dirinya.

Malik keluar pekarangan, lalu segera berlari-lari kecil menuju sekolah. Di jalan, satu demi satu ia bertemu teman-teman sekelasnya, yang segera mengikuti diirinya berlarian ke sekolah, gembira bersama-sama berangkat untuk belajar, menimba ilmu. [ ]

Bab 3

Si Malik yang ‘Nakal’ dan ‘Jahat’

Sering Malik merasa heran mengapa ayah melarangnya membaca, kecuali Alquran dan buku-buku bertuliskan aksara Arab milik ayah yang bertumpuk di rumah. Padahal, berbeda dengan kawan-kawan sebayanya, Malik adalah anak yang paling lancar membaca di kelas.

Membaca telah menjadi kegemaran Malik karena dirasakan memberinya banyak pengetahuan, juga pengetahuan tentang berbagai negara yang tak mungkin bisa ia datangi sendiri di usia itu.

Kadang, didorong keinginannya untuk berbagi, buku yang tengah ia bawa akan dibacakannya keras-keras di dalam kelas. Tentu saja kalau Guru sedang tidak berada di kelas, entah berhalangan, atau masih di ruang guru.

Soal buku bacaan, Malik tak pernah payah mencari. Ibu memberinya bekal sepuluh sen sehari. Dari bekal senilai itu lima sen biasa ia belanjakan untuk meminjam buku dari

Bibliotek Zainaro, milik patungan Engku Zainuddin dan Bagindo Sinaro. Itu harga penyewaan satu buku untuk dua hari. Tak pernah Malik sampai harus menghabiskan dua hari untuk satu buku. Ia seorang pembaca antusias yang bisa menamatkan sebuah buku sehari, meski masih duduk di kelas dua Sekolah Desa. Makanya kadang ia ingin sekali bilang, apakah boleh kalau ia tamatkan sehari maka biaya sewanya cukup dua setengah sen saja?

Sekolah Desa adalah sekolah untuk rakyat kebanyakan, yang kelasnya hanya sampai kelas tiga. Bukan tak mau Haji Rasul memasukkan anaknya ke Sekolah Gubernemen yang kelasnya sampai kelas empat. Namun ia terlambat memasukkan Malik ke sekolah itu. Tak ada lagi tempat karena sudah penuh. Akhirnya dimasukkanlah Malik ke Sekolah Desa, yang menumpang di tangsi militer Belanda di Guguk Malintang.

Letak kedua seolah itu tak terlampau berjauhan, hanya terpisah beberapa ratus meter.

Sayangnya, anak-anak Sekolah Gubernemen selalu memandang diri mereka lebih tinggi dan terhormat. Mereka selalu mengolok-olok anak-anak Sekolah Desa bilamana bertemu.

Di luar kedua sekolah itu ada lagi Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah yang khusus buat anak-anak orang Belanda, keturunan Eropa atau orang-orang Tionghoa yang saat itu disebut bangsa timur asing dan anak-anak tokoh pribumi terkemuka yang hidup sebagai Belanda ‘ireng’. Anak Demang dan anak jaksa biasanya bersekolah di sini. Anak-anak sekolah ini lebih lagi merasa terhormatnya, mungkin ketularan gila hormat para orang tua mereka.

Ada kesepakatan tak tertulis, bila di jalan anak Sekolah Gubernemen, anak Sekolah Desa dan anak ELS bertemu, anak ELS akan dipersilakan berjalan lebih dulu. Anak Sekolah Gubermenen menyusul, baru anak Sekolah Desa berjalan laiknya ‘Pak Turut’. Bila hal kecil itu dilanggar, urusannya bisa panjang.

Karena diberi bekal setiap hari, Malik pun tiap hari menyempatkan diri berkunjung ke Bibliotek Zainaro. Dibawanya buku-buku yang ia sewa itu ke sekolah, ia baca di kelas kalau guru lengah tak melihatnya. Ada banyak buku yang disukai Malik, termasuk karangan para penulis dunia, seperti Leo Tolstoy, Alexander Dumas, Victor Hugo dan berbagai sastrawan klasik dunia lainnya. Dari bibliotek itulah Malik mengenal ‘Monte Cristo’, ‘Kisah Tiga Negara’, ‘Ivanhoe’, ‘Robin Hood’, ‘Three Musketeer’, ‘Les Miserables’, ‘Si Bongkok dari Notre-Dame’ dan sebagainya. Lewat bibliotek itu pula bocah itu keranjingan karya-karya pujangga bangsa sendiri dari terbitan Balai Pustaka.

Di rumah, bukan sekali dua Malik ketahuan ayahnya sedang membaca buku-buku yang ia sewa. Setiap kali itu pula ayahnya marah dan mengatakan buku-buku cerita itu hanya akan membuatnya tak fokus belajar agama dan mendekatkan diri kepada Allah. Tapi hanya sampai marah, tak lebih. Misalnya sampai Haji Rasul merampas buku itu, atau melarangnya menyewa buku-buku itu lagi dari Blibliotek, tidak. Atau mungkin yang terakhir itu Malik sendiri lupa saking senangnya ia membaca.

Yang selalu menjadi pertanyaan Malik, mengapa ayah melarangnya membaca buku-buku sastra dan pantun, terutama. Pernah ia menanyakan hal itu langsung kepada Haji Rasul, setelah tak mampu menemukan jawaban oleh dirinya sendiri. Dan jawaban yang ia dapat pun tak membuatnya puas.

“Memang waang punya cita-cita jadi tukang kaba, atau juru pantun?” jawab ayahnya balik bertanya. Malik sempat hendak bilang, tak ada hubungan langsung membaca karya-karya sastra dengan pekerjaan menjadi tukang kaba. Tak ada pula garansi atau sebaliknya kutukan bahwa pekerjaan yang bisa dilakukan para pembaca buku pantun hanyalah menjadi juru pantun.

Tapi tidak mungkin ia menyatakan itu kepada ayahnya, karena sejak kecil pun perasaan halusnya sudah tumbuh berkembang, yang siapa tahu justru berasal dari buku-buku sastra dan pantun yang dibacanya itu.

Barangkali Malik kecil memang penuh rasa ingin tahu, dan karena itulah ia banyak membaca buku untuk memuaskan rasa keingintahuannya itu. Namun itulah hukum besi belajar.

Ibarat meminum air laut, semakin diminum kian pula peminumnya merasa haus. Sama dengan belajar. Pembelajar yang benar justru semakin merasa tak tahu apa-apa setiap kali sebuah langkah pembelajaran sudah ia tuntaskan, atau manakala sebuah buku selesai ia tamatkan.

Pernah suatu ketika Malik melihat seorang mantri cacar mencacar anak-anak sekolah. Termasuk mencacar dirinya juga dalam sebuah imunisasi massal di Sekolah Desa.

Esoknya, dalam permainan sepulang sekolah, dikumpulkannya teman-temannya, besar kecil di halaman depan surau tempat mereka mengaji yang juga selalu menjadi tempat mereka bermain. Sesudah anak-anak lelaki perempuan usia di bawah 10 tahunan itu terkumpul, Malik datang dengan penampilan yang ditirunya dari apa yang dilihatnya kemarin. Ia memakai baju ganiah putih kedodoran kepunyaan Angku, yang ia tahu tak akan marah ia pinjam, dengan kacamata-kacamataan dari batang daun ubi kayu. Kacamata palsu itu tanpa kaca, hanya seolah ada rangka bulat yang dibuatnya dengan melengkungkan batang daun ubi itu, lalu mengikatnya.

Namun bukan itu yang membuat urusan main-main itu jadi besar kemudian. Malik menggunakan duri pohon limau sebagai jarum suntik, dan disuntiknya teman-temannya itu satu persatu sampai berdarah. Hampir semua menangis, meski mereka ikut saja diminta Malik berbaris antre. Tak semua anak sebenarnya, karena tak kurang-kurang yang lari tunggang langgang tak sudi ditusuk duri.

Sorenya, Malik dipanggil ke surau. Di sana sudah ada ayahnya bersama dua orang tua dari anak-anak yang disuntiknya tadi siang.

“Kau tadi siang benar jadi mantri cacar?” tanya ayahnya, matanya nyalang. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat rotan. Malik tahu apa kegunaan tongkat itu di surau.

Malik mengangguk, tak sanggup menjawab. Ayahnya tak lagi bertanya-tanya. Beliau hanya minta Malik menjulurkan kaki. Benar, untuk dipukuli. Baru saja Haji Rasul mengangkat tongkat, belum lagi tongkat itu melayang menghempas kaki, Malik sudah memekik-mekik.

“Ampuuun, Ayah! Ampuuun!” berderailah air mata Malik dengan deras. Terbayang di benaknya bagaimana sakitnya tulang kering dipukuli rotan. Ia sudah merasakan betapa ngilunya, bahkan sebelum kena pukul!

“Sudah, Engku, sudah! Dia sudah minta ampun,” kata kedua orang tua temannya itu, bergantian melerai ayahnya. Namun ayahnya tak juga melepaskannya. Malah kaki Malik dipegang ayah erat-erat, sementara tongkat itu pun terangkat lagi dalam posisi hendak memukul tulang kering Malik.

“Duuh, sudah Engku Haji, sudaaah!” kata salah seorang tamu itu. Akhirnya karena kedua orang itu memegangi Haji Rasul kuat-kuat, tak jadilah kaki Malik kena pukul.

“Kau akan ulangi lagikah, Malik?” tanya ayahnya.

“Ampuun, Ayah, ampuun!”

“Ya sudah, pulanglah segera. Lekas mandi,” kata ayahnya. Sigap Malik bangkit dan berlari keluar surau. Tak sekali pun ia menoleh ke belakang. Langkah kakinya berlari pulang ke rumah terdengar berdebam-debam keras.

Malik tak sempat melihat kedua orang tamu Haji Rasul itu tertawa berderai sepeninggal dirinya. Ayahnya menutup mulut, menahan tawa yang susah ia kendalikan. Ketika langkah-langkah Malik berlari sudah tak lagi terdengar, baru Haji Rasul melepaskan tawanya.

“Duh, dasar anak-anak. Mohon maafkan Malik ya bapak-bapak,” kata Haji Rasul kepada keduanya.

“Ah, biarlah Engku Haji. Namanya juga anak-anak. Malik memang agak lain disbanding teman-temannya. Tapi dia juga jauh lebih berpikiran dewasa. Makanya anak-anak mau saja ia kumpulkan. Mungkin karena bacaannya. Dia selalu terlihat membawa-bawa buku kemana pergi bermain,” kata salah seorang.

Pernah pula pada suatu kali, di saat istirahat sekolah, Malik iseng mengganggu adik kelasnya. Baju Malik basah oleh keringat, begitu pula wajahnya, sisa berlari-larian melakukan aneka permainan. Dipanggilnya adik kelas yang ia kenal, Abdul Ghafar Ismail[3] namanya.

“Ghafar, kemari kau!” kata Malik. Teman-temannya diam, tapi segera mereka mengerubung. Anak yang dipanggil Ghafar mendekat. “Ada apa, Kak?” katanya, sopan. Bagaimana pun Malik adalah kakak kelasnya di sekolah itu.

“Kau mau mendapatkan anugerah dari Dewa?” tanya Malik serius. Dibukanya kancing atas baju ganiah yang dipakainya.

“Dewa apa, Kak?” Ghafar bertanya. Tampak benar dia tak percaya apa yang dikatakan Malik. Ganjil benar benaknya mendengar kata ‘Dewa’ yang tak pernah ia dapatkan, entah dari para ustad di surau atau pun guru di sekolah.

“Alah, yang penting kau mau anugerah dewa atau tidak? Ini anugerah dari Si Bigau, penguasa Telaga Dewi di Gunung Singgalang,” kata Malik. “Tutup matamu. Berdoa dalam hati minta anugerah dari Si Bigau.”

Terlihat Ghafar terpaksa menutup matanya. Entahlah, apakah ia juga berdoa sebagaimana yang diminta Malik atau tidak.

“Nanti setelah doa permintaanmu selesai, buka mulutmu!” ujar Malik. Sementara Ghafar menutup mata dan berdoa, Malik menggosok-gosok tubuh, mengumpulkan daki dari sekujur badan yang bisa ia jangkau. Didapatnya berapa banyak, yang dipadatkannya menjadi seujung kuku. Lalu dengan sabar ditunggunya Ghafar membuka mulut.

“Sudahkah kau baca dalam hati doamu, Ghafar? Tetap tutup matamu. Buka mulut bila

sudah.”

“Sudah Kak,” jawab Ghafar. Mungkin saja dia menjawab sudah itu sekadar agar permainan ganjil yang ia alami itu segera berakhir. Mulutnya lalu dingangakannya lebar-lebar.

Saat itulah Malik melemparkan daki padat itu ke mulut menganga Ghafar. Serentak pula ia tertawa kesenangan, dibarengi sekian banyak teman-temannya sesama anak kelas dua.

Ghafar yang merasakan pahit sepat barang di mulutnya, membuka mata. Namun ia hanya mampu meringis, antara takut, marah dan kecewa.

Mungkin karena seringnya Malik berlaku iseng itulah, anak-anak perempuan di kampungnya menyebutnya Si Malik Nakal, kadang Si Malik Jahat. Entahlah, karena Malik tak sedikit pun merasa ia nakal, apalagi jahat.

Yang pasti, pada usia delapan melangkah sembilan tahun itu Malik tak pernah tinggal shalat. Pulang sekolah, ia terus mandi, segera bersembahyang Ashar dan makan. Terus pula ia pergi ke surau, seringkali bermalam di sana hingga Subuh.

Tetapi sering pula ia tak lama di surau sore-sore, meski malamnya mungkin tidur di sana. Dari surau setelah mengaji Ashar, Malik dengan kawan-kawannya pergi bersama-sama ke bioskop panggung. Di sana mereka mengintip film yang diputar, tak hendak membayar untuk bisa menonton karena tak ada uang. Kalau pun ada, mereka sayang uangnya.

Dari kebiasaan menonton gratisan dengan cara melubangi seng pembatas itu, Malik jadi kenal beberapa bintang film. Ia senang Eddie-Polo dengan potongan rambutnya yang khas.

Namun Malik juga sangat menyukai Rudolph Valentino, Gary Cooper, Douglas Fairbanks hingga Ramon Navarro. Yang terutama sangat disukai Malik adalah film koboy, yang tak harus ia mengerti ceritanya pun sudah pasti ramai!

Rupanya kelakuan anak-anak itu lama-lama diketahui penjaga bioskop. Suatu saat ia sengaja melumuri seng-seng bolong yang menjadi lubang pengintipan itu dengan tahi ayam.

Manakala malam itu Malik dan kawan-kawan kembali mengintip lewat lubang itu, seketika itu pula segumpal tahi ayam melekat di hidungnya, menguarkan bau tak terkira. Bila Malik terkena tahi di hidungnya, teman-temannya yang lain ada yang terkena di baju, di kain sarung, dan sebagainya. Yang membuat anak-anak itu gusar, saat itu pula terdengar penjaga bioskop tertawa terbahak-bahak menyaksikan perangkapnya memakan mangsa yang menjadi targetnya.

“Sial kali ambo,” kata Malik. “Masak pula diborehnya lubang seng dengan tahi ayam hangat. Awas dia!” kata Malik geram. Paimin, anak serdadu asal Jawa yang belum ikut mengintip sehingga masih bersih tertawa tergelak. Malik juga lama-lama ikut tertawa, lucu memikirkan kebodohannya. Tetapi manakala Paimin lengah, diambilnya secuil tahi ayam yang menempel di hidungnya, lalu diusapkannya kuat-kuat ke celana serawal Paimin, lalu berlari sambil tertawa, menghindar. Tak urung Paimin gusar dan mengejarnya, meski kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak.

Bila tidak ke Pasar Usang tempat bioskop panggung itu berada, Malik dan komplotannya pergi melihat pacuan kuda di Bancah Lawas, atau ke Paninjauan melihat adu sapi, ke lapangan sepakbola melihat kesebelasan kebanggaannya IPE (Inlands Padang Elftal) berlaga membantai kesebelasan lain, bila tidak berlatih silat, basilek di antara mereka.

Yang kurang elok dilakukan Malik, ia tak jarang memanen tanaman buah orang. Jambu dan mangga, terutama. Bagai bajing yang bergerak liat, atau mungkin lebih tepat beruk pemetik kelapa, anak itu bisa dengan cepat memanjat pohon. Beberapa anak dimintanya berjaga-jaga di bawah. Selain untuk menangkap buah yang sudah ia petik, anak-anak itu pun berguna memberitahunya kalau yang empunya pohon datang.

Demikian pula bila ada orang tengah memanen ikan tebat[4]nya. Tak segan-segan Malik turun membantu, bahkan tanpa menunggu izin. Saat yang punya tebat lengah, dua tiga ekor ikan sudah masuk sakunya. Bukannya yang punya tebat tak tahu, tapi buat apa pula berurusan dengan Malik? Apalagi orang tua anak nakal itu adalah orang yang sangat mereka hormati, tak hanya di nagari, tapi sampai kewedanaan,dan kemashurannya melintas seluruh alam Minangkabau!

Pokoknya, tak ada satu kampung pun di sekeliling Padang Panjang yang tak kenal anak bernama Malik. Dari Kampung Bukit-Surungan, Kampung Manggia, Silaing, Guguk Malintang, Balai-balai, Tanah Hitam, Tanah Pelambik, Tanah Bato, mengenal Malik sebagai anak nakal. Yang membuat mereka heran, anak itu juga dikenal pandai bersilat lidah, bahkan tak jarang menjawab dengan menggunakan pantun bila dikata-katai.

Mereka juga merasa ganjil melihat Malik tak pernah luput shalat bila waktu sembahyang datang, meski tak jarang tanpa berwudlu lebih dulu, kadang bahkan dengan celana yang sobek-sobek.

Namun anak yang selalu disebut bengal itu memiliki nurani yang halus, gampang tersentuh. Pernah suatu ketika ia datang ke pasar pada saat hari pakan (hari pasar).

Awalnya hanya ingin tahu, karena bosan bermain ke tempat itu-itu juga. Tetapi matanya menangkap apa yang orang awam tak lihat: seorang pengemis tua, buta pula, berkali-kali terlanggar orang yang lalu lalang saking ramainya hari pakan.

Kontan Malik segera berdiri. Diangkatnya tubuh ringkih kakek buta itu, digandengnya menepi. “Angku, ada yang terlukakah? Biar Ambo tuntun agar Angku tak terlanggar orang ramai,” kata Malik, berbisik.

Kakek tua itu terlihat terkejut. Matanya bekerjap-kerjap, seolah tak pernah seumur hidupnya ditolong orang. Oleh seorang anak kecil pula.

“Alhamdulillah, ndak ado, Nak. Waang anak baik, anak siapo?” jawabnya, balik bertanya.

“Ambo anak Haji Rasul, Angku. Mari Ambo tuntun. Angku mau keliling pasar?” Malik mengulangi tawarannya. Kakek buta itu tak menjawab, namun ia juga tak menolak saat Malik membantunya berdiri. Wajahnya berseri-seri, girang. Malik tak bisa menangkap makna paling dalam dari wajah tersebut. Hanya dia yakin, kakek buta yang sehari-hari mengemis itu senang dengan pertolongannya yang tak seberapa.

“Onde mandeee! Waang anak orang besar. Akhlakmu rancak bana, bagus. Semoga waang jadi orang besar pula kelak. Seperti ayahmu,” kata dia. Malik tersipu, namun kaget juga dia saat tahu betapa cukup besar nama ayahnya, hingga seorang pengemis jalanan tua itu pun kenal nama ayahnya.

“Ayuh, bawa Angku keliling. Jangan cepat-cepat ya,” kata dia kemudian. Malik kemudian membimbing kakek buta itu berkeliling pasar. Ia berjalan di depan. Dipegangnya tangan kanan kakek dengan tangan kiri yang ia taruh di pinggang. Tangan kanan Malik membawakan kaleng tempat uang yang tadi dipegang kakek. Sesekali, setiap berapa saat kakek meminta Malik berhenti, mengambil hampir semua uang di kaleng dan menyisakan hanya sedikit darinya. Uang itu kemudian ditaruhnya ke dalam kantong kain yang gantungkan sebagai kalung di lehernya.

Saat siang datang, kakek meminta Malik berhenti. Dimintanya Malik membawanya ke sebuah sudut yang agak tenang dari orang lalu lalang. Setelah duduk, kakek mengais-ngais

kantong kainnya, wajahnya memperlihatkan rasa senang.

“Kau membawa keberuntungan, Buyung. Orang-orang memberi lebih banyak hari ini,” kata kakek. Ia tersenyum. Malik melihat garis wajah kakek buta itu, menyiratkan ketampanan di masa mudanya.

“Ini untukmu, Nak. Bagianmu,” katanya tiba-tiba, menyorongkan segenggam besar uang logam. Dari bagian yang tak tertutup tangan, Malik melihat ada pecahan sebenggol, setalen, sepicis di sana.  

Malik kaget. Tak sedikit pun terbersit dalam benaknya hal seperti ini akan ia alami. Tadi manakala datang keinginan membantu pun, tak pernah terbayang bantuannya itu akan dihargai dengan talen dan benggol. Dengan uang, pitih.

“Jangan. Buat Angku saja. Angku lebih membutuhkannya,” katanya menolak. Nada Malik tegas untuk ukuran seorang anak seusianya.

“Terimalah, Buyung. Awak telah membantu Angku. Membuat Angku tak usah takut terlindas orang, tak kuatir tertabrak bendi. Ayolah, Angku ikhlas. Asal tentu, janganlah ayah ibumu tahu,” kata kakek setengah memaksa.

“Ndak Angku. Terima kasih banyak,” kata Malik, tak memberi jeda. Ia tak ingin terdengar bimbang di telinga kakek buta itu. Suara Malik yang tegas namun sopan membuat kakek pengemis itu mengalah. Ia tak lagi memaksa.

“Kakek pulang ke mana?” tanya Malik. “Biar ambo antar mencari bendi.” Ternyata kakek itu tinggal di Tanah Pelambik.

“Kau tak mau makan sama-sama dulu, Nak. Kita cari warung.” Kakek itu masih memberikan tawaran. Mungkin rasa terima kasihnya terlalu besar sehingga ingin sekali ia sedikit membalas kebaikan Malik. Malik tersenyum, tapi segera sadar itu tak ada gunanya mengingat si kakek toh tak akan bisa melihatnya.

“Angku sajalah. Ambo ndak lapar.”

“Ya sudahlah, awak bisa antar Angku mencari bendi,” kata si kakek mengalah lagi. Ia juga mengurungkan niatnya makan, karena sebenarnya itu hanya sebuah cara untuk bisa membalas kebaikan bocah tersebut.

Sorenya, saat pulang ke rumah ibunya sudah menunggunya di pelataran. Entah dari mana Ibu tahu apa yang ia kerjakan di pakan selama siang tadi. Yang jelas soal itulah yang menjadi sebab ibunya marah.

“Kau tahu tak, Malik, apa yang kau lakukan itu memberi malu ayahmu, ibumu, bahkan

keluarga besar kita?” kata ibunya menghardik. Kalau ke ibunya Malik kadang berani menjawab sedikit-sedikit. Lain bila ayahnya yang marah, ia tak hendak membuat orang tuanya itu tambah gusar.

“Apa maksud Mak bahwa ambo membuat keluarga kita malu? Bukankah selalu Ayah bilang, juga Angku, hendaklah kita menolong fakir dan miskin, anak yatim dan orang buta? Lha Angku itu fakir miskin, buta pula,” jawab Malik.

Dijawab begitu tentu saja ibunya tak lantas berhenti memarahi. Ia terus menasihati Malik meski tetap saja Malik tak mengerti pada sisi mana ia bersalah bahkan dibilang mempermalukan keluarganya. Bukankah ia telah menolong orang yang sepatutnya dibantu, dan itu artinya ia telah mematuhi nasihat yang hanya sekali ia dengar, yakni menolong orang miskin, fakir dan mereka yang buta?

Pernah suatu kali ada seorang perempuan, teman sebaya ibunya ditinggal mati anak tunggalnya. Anak tunggalnya itu kebetulan teman Malik, meski tak begitu akrab. Malik melihat betapa sedihnya ibu itu kehilangan anaknya, sehingga terbit rasa kasihannya. Sore itu ia kumpulkan teman-teman sebayanya, yang juga teman mendiang anak yang berpulang.

Malam itu ia memimpin mereka datang mengaji ke rumah ibu yang tengah kehilangan itu, membacakan tahlil seadanya. Baru hari ketiga ayahnya yang kebetulan sedang pulang mengetahuinya. Ayahnya pula yang mencegatnya untuk tidak jadi pergi mengaji ke rumah teman ibunya itu malam tersebut. Malik sangat ingin tahu alasan kuat mengapa ia tak diizinkan mengaji dan menghibur orang tua yang kehilangan anak itu dengan hadir bersama teman-temannya. Tapi lidahnya kelu di hadapan ayahnya. Baru saat ia tumbuh sebagai jejaka, telah membaca lebih banyak buku dan mengaji kepada lebih banyak ulama, ia sedikit mengerti jalan berpikir ayahnya. Tetapi tetap saja hanya sedikit.

Pernah juga saat itu harga beras begitu mahal dan mencarinya pun susah. Penjualan beras akhirnya diatur pemerintah Hindia Belanda. Untuk membeli beras harus menunjukkan surat yang distempel kantor pemerintah, dibagikan pemimpin nagari. Orang-orang antre untuk membeli, itu pun jumlahnya sangat dibatasi.

Malik melihat seorang nenek tua berada di antrean. Lututnya gemetar, wajahnya pucat lesi. Tak layak sebenarnya ia turut berdesak-desak dalam antrean. Malik mendekatinya, meminta karung yang ia bawa, juga surat dari kantor pemerintah. Ia yang berdiri sekian lama dalam antrean panjang itu.

Ternyata seorang murid ayahnya melihat itu dan membujuknya pulang. Malik tak mau. Murid ayahnya yang beberapa tahun lebih tua itu memaksanya, bahkan menyeretnya

keluar barisan. Malik melawan.

“Apa hak Kau memaksaku?” kata Malik, garang. Matanya tajam menentang pandangan mata murid ayahnya itu.

“Awak membuat malu Haji Rasul, ayahmu!” kata dia, tak kalah garang.

Malik terpikir untuk melawan bilamana orang itu tetap menyeretnya keluar barisan. Ia tengah mengingat-ingat jurus-jurus silek yang diajarkan Angku.

Akhirnya murid ayahnya pulang lebih dulu, memungkinkan Malik akhirnya sampai ke depan dan mendapatkan hak perempuan tua itu. Tak henti-hentinya perempuan itu berterima kasih telah ditolong. Ia juga bertanya kepada Malik, anak siapa. Malik menjawab, meski merasa aneh, mengapa orang harus tahu anak siapa dia hanya karena ia menolong? Apakah kalau ia bukan anak Haji Rasul maka pertolongannya sia-sia? Tidak begitu juga, bukan?

Sepulang ikut antre itu, di rumah Malik kena marah pula. Kali ini langsung oleh ayahnya yang sedang ada di rumah, yang tampaknya baru saja mendapatkan laporan dari murid yang tadi menyeret Malik dari barisan antre. Kalimat ayahnya deras tak berhenti memarahi Malik, menasihati anak laki-lakinya itu. Ada juga kalimat yang barusan dikatakan murid di antrean itu, soal memberi malu ayahnya.

Tapi Malik tak sepenuhnya mendengar. Benaknya yang pepak oleh pertanyaan apa yang salah dengan perbuatan menolong itu, membuat pikirannya mengembara kemana-mana manakala ayahnya menasihati.

***

Jangan pernah berkata bahwa membaca Robin Hood, Ivanhoe, Three Musketeer, serta sederetan buku lainnya atau menonton film-film koboy yang dibintangi Eddie-Polo dan Gary Cooper tak membawa dampak kebaikan apa pun. Paling tidak bagi Malik. Semua bacaan dan film-film itu dalam kadarnya masing-masing memberi Malik rasa percaya bahwa orang baik akan selalu mendapatkan bantuan, meski kadang di saat-saat akhir.

Orang baik akan menang, karena mereka membela kebaikan dan kebenaran, sementara Tuhan telah membuat hukum besi kehidupan untuk memenangkan kebenaran.

Bacaan dan film-film yang dilarang ayahnya itulah yang ternyata membawa kesadaran kepada Malik untuk sekuat tenaga membela kebenaran. Paling tidak mencegahnya untuk turut menjadi pengikut seseorang yang jahat kepada manusia.

Saat itu usia Malik sudah 9 tahun dan duduk di kelas dua Sekolah Desa. Sekolah itu- seperti telah disebutkan, berlokasi di Tangsi Tentara Belanda, Guguk Malintang, Padang Panjang. Tentu saja karena itu banyak anak-anak tentara bersekolah di sana. Akan halnya tentara Belanda, ada juga yang beranggotakan orang-orang pribumi, tergabung ke dalam Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang secara harfiah berarti Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Bicara tentang anak-anak tentara biasanya tak lepas dari urusan otak tumpul dan perangai nakal. Umummya mereka memang amat nakal, suka berkelahi, pengganggu, yang membuat anak-anak lain takut, setidaknya segan bergaul dengan mereka. Pasalnya pula, melawan mereka sering hanya membuat urusan panjang tersendiri.

Anak-anak serdadu Belanda itu berdasarkan keturunannya ada yang dari Ambon, ada yang dari Jawa. Nah, menariknya, di antara anak-anak serdadu itu sendiri memang terpecah.

Anak-anak serdadu Ambon entah mengapa kurang suka akan anak-anak serdadu Jawa. Orang bilang karena anak-anak serdadu Jawa, meski mengabdi kepada ketentaraan Hindia Belanda, tetapi mereka masih memegang kepercayaan Selam (Islam). Tidak demikian dengan umumnya para serdadu Ambon, yang biasanya ikut kepada kepercayaan pimpinannya di KNIL, memeluk agama Kristen. Anak-anak serdadu Ambon itu biasanya lebih nakal dibanding anak-anak serdadu asal Jawa. Yang paling nakal di kelas saat itu adalah anak seorang serdadu Ambon, Hendrik namanya.

Entah apa sebabnya, Hendrik berkelahi dengan Paimin, sobat Malik yang merupakan anak seorang serdadu KNIL asal Jawa. Mereka berkelahi dalam kelas, saling piting, saling meninju dan membanting. Karena perkelahian itu keduanya dihukum Guru Sain, berdiri di muka kelas hingga semua pelajaran usai. Semua hari itu pulang seperti biasa.

Esok harinya, kelas Malik ibarat kapal yang terdampar. Barang-barang pecah bertebaran di mana-mana. Beberapa alat sekolah rusak, papan tulis dilumuri lumpur yang telah mengering, pecahan botol berserakan di lantai, berselingan dengan banyak sobekan kertas yang berasal dari buku pelajaran yang halamannya direnggut. Tampak bahwa kemarin sore ada yang masuk kelas dan melakukan pengrusakan itu.

Guru Sain tampak marah dan kecewa. Ia berkali-kali memperhatikan Hendrik dan Paimin yang hari itu seperti biasa masuk sekolah. Setelah beberapa lama menyelidiki, dapatlah info bahwa kemarin petang ada beberapa anak tangsi yang masuk ke ruang kelas. Di antara mereka terdapat Hendrik.

Awalnya Hendrik tak mau mengaku. Guru Sain tak kurang akal. Dimintanya murid tertua di kelas, Udin, untuk membujuk Hendrik. Akhirnya mengakulah anak nakal itu.

“Sekolah ini kami punya. Ini tangsi saya punya bapak! Ini milik kami, anak Kompeni,”kata Hendrik, setengah menjerit. Ia juga bilang, hukuman berdiri sepanjang sisa pelajaran kemarin itulah yang membuatnya benci.

Memuncaklah kemarahan Guru Sain. Dibukanya baju Hendrik di bagian perut, lalu dipilinlah pusar Si Hendrik sekuatnya hingga anak nakal itu menjerit kesakitan.

Barangkali karena marah yang sudah sampai puncaknya, waktu itu Guru Sain lupa akan kemarahan para serdadu Belanda, bapak anak-anak nakal itu. Cukup lama juga Guru Sain memilin pusar Hendrik, hingga anak itu kembali menjerit sekerasnya. Terpaksa Guru Sain melepaskan pilinannya.

Seketika itu Si Hendrik bangkit dan berlari keluar ruang kelas. Sampai di pintu ia membalikkan badan dan berteriak,” Awas kalian semua! Saya laporkan pada saya punya papi!” Setelah itu Hendrik berlari dan hilang dari pandangan.

Sejenak orang-orang di kelas terdiam bagai kena strum. Namun Guru Sain cepat membawa suasana kembali seolah taka da apa-apa.

“Ayo anak-anak, kita mulai pelajaran berhitung,” kata dia, mengajak murid-muridnya berkonsentrasi.

Baru saja Guru Sain menuju papan tulis, pintu kelas dibuka dengan keras. Ditendang, tepatnya. Sesosok tubuh tinggi besar dengan kumis kaku laksana gulungan kawat masuk tanpa permisi. Di belakangnya tampak Hendrik, juga beberapa serdadu dan dua tiga perempuan. Mungkin keluarganya.

“Mana dia? Mana guru yang menyakitimu, Hendrik?” si kumis kawat berteriak.

Si Hendrik langsung menunjuk Guru Sain yang sedang berdiri di muka kelas, memegang kapur tulis. Kontan Guru Sain pucat lesi, jauh lebih pias dibanding wajah mayat. Anak- anak tak ada yang membuka mulut. Semua terdiam, ngeri dengan kehadiran para serdadu Kompeni itu.

Si Kumis kawat kelihatan sangat murka. Ia berteriak-teriak sambil menghantam-hantamkan kakinya yang bersepatu boots ke lantai kelas. “Hai Guru, apa betul kowe ganggu saya punya anak?”

Dengan muka pucat dan bicara gagap, Guru Sain mencoba menjawab. Ia tentu galau karena manakala Si Kumis kawat bicara pun beberapa tentara lainnya ikut berteriak-teriak, begitu pula para wanita. Beberapa ada yang memakai bahasa daerah timur, sukar diterka apa artinya.

“Nakalnya keterlaluan, Oom,” kata Guru Sain mencoba menjawab dengan terbata-bata. “Seisi kelas ia rusak saat kemarin sore ia masuk kelas ini.”

“Bukan, bukan saya!” sergah Hendrik tiba-tiba, lantang sekali. “Si Paimin anak Jawa yang melakukannya.”

“Bukan!”

Entah bagaimana Paimin mendapatkan keberaniannya. Mungkin karena ia tak suka dituding tanpa salah. “Memang dia dan beberapa anak Ambon.”

Ternyata apa yang dilakukan Paimin cukup membantu Guru Sain. Si Kumis kawat jadi tak bisa konsentrasi memarahi guru itu. Ia mendelik murka kepada mereka berdua. Kadang bola matanya yang hitam galak itu mendeleng ke Guru Sain, kadang pula menatap garang Si Paimin, seolah hendak menelan anak itu bulat-bulat.

Tapi memang keberanian Paimin melawan wajar membuat para serdadu itu jadi keder. Bagaimana pun Si Paimin sama-sama anak serdadu. Bila mereka mengapa-apakan anak itu, pertentangan tersembunyi antara serdadu KNIL asal Ambon dan serdadu asal Jawa pasti pecah. Urusannya bisa jadi gawat!

Akhirnya yang bisa dilakukan Si Kumis kawat hanya mencak-mencak menunjuk-nunjuk Guru Sain. “Kowe jangan lagi berani-berani ganggu anak Kompeni! Kowe mengerti siapa saya?”

Tentu saja pertanyaan itu tak butuh jawaban.

Saat itulah Malik merasa kian sebal kepada para serdadu Kompeni. Sejak awal, dari obrolan ayahnya dengan para tetamu yang sering ia curi dengar, tak pernah memang topik soal serdadu KNIL yang sebenarnya jarang pula menjadi pembicaraan itu mengundang simpati. Selalu saja Malik menangkap nada ketidaksukaan ayahnya kepada Kompeni.

Terlebih kalau ayah dan tamunya bicara soal bagaimana para Kompeni itu memperlakukan para pejuang rakyat di Tanah Aceh. Mendidih darah Malik yang sebenarnya masih jauh dari mengerti itu mendengarnya. Kembali, buku-buku yang sempat dibaca Maliklah yang membuat semua itu. Standar moral anak itu telah jauh mencelat dibanding anak sebayanya, karena bacaan bermutu.

Kini, menyaksikan sendiri bagaimana tindak-tanduk para serdadu Kompeni itu, sungguh membuat Malik muak. Malik yang tak mampu membalas, hanya mampu mengertakkan rahang karena marahnya. Kebencian berkilat di matanya. Sejak itu Malik kian tak suka dengan Belanda penjajah.

Sesekali Guru Sain terlihat mau membuka mulut. Tetapi ia kalah cepat, kalah keras pula oleh perkataan-perkataan Si Kumis kawat yang terus menyembur. Akhirnya Guru Sain memilih diam. Ia hanya mendengarkan segala sumpah serapah yang keluar dari mulut di bawah kumis ijuk orang hitam itu. Tapi entah dia dengarkan entah tidak. Kalau yang kedua yang Guru Sain pilih, sebetulnya tentu lebih baik buat jiwanya.

Lalu tanpa dikomando, tentara-tentara dan para perempuan itu nyaris bergantian mencaci maki Guru Sain. Kata-kata ‘Inlander’, ‘God Verdikkie’,’sekolah kampung’ entah berapa kali bergaung keras di seantero kelas.

“Apa ini sekolah, hah? Tidak tahu diuntung kalian semua orang. Sudah diberi tempat di sini, masih saja memusuhi Kompeni. Kalau tidak ditampung di Tangsi, Kalian punya sekolah ini sekolah liar! Guru-guru di sini bakal kena bui[5]. Ini sekolah musti sebenarnya sekolah tempat para pemberontak Kompeni dididik,” kata si Kumis kawat, berteriak.

Kini tak hanya anak-anak kelas Malik dan Guru Sain yang mendengar semuanya. Beberapa guru sekolah itu berdatangan, mendengar ribut-ribut yang terjadi. Tentu saja bila gurunya keluar, anak-anak muridnya pun pada bergerombol masuk kelas Malik.

Barulah setelah itu mereka pergi. Si Hendrik ikut juga, pulang ke rumahnya. Hari itu, dan sampai dua hari kemudian pun ia tak masuk kelas. Bolos.

Setelah punggung rombongan para pemarah itu tak lagi kelihatan, barulah Guru Sain menarik nafas, berat. Ia menumpahkan marahnya yang tak pecah dengan bicara seorang diri. Cukup keras hingga anak-anak muridnya mendengar.

“Kowe sangka awak takut, hah? Kemana pun awak siap beperkara, walau ke Landraad[6] sekali pun! Awak berani karena awak benar!” kata dia. Matanya nyalang keluar jendela, melihat gerombol rumah-rumah tentara Kompeni di Tangsi. Kelas yang hening membuat monolog Guru Sain itu terdengar jelas. Tak ada seorang murid pun yang berani berkatakata. Guru Sain memang terkenal galak, apalagi ia suka sekali memilin perut anak-anak.

Sejak itulah hubungan murid-murid dengan anak Tangsi kian jauh. Ibarat minyak dengan air, sukar sekali bisa bersatu. Bukan tak ada upaya anak-anak Tangsi untuk mendekat dan menjalin hubungan, tapi anak-anak luar Tangsi lebih memilih pasif, cenderung tak melayani.

Perlakuan memang agak berbeda kepada para anak Tangsi Jawa. Beberapa yang mendekati, dipimpin Si Paiman, memang diterima berteman. Biasanya anak-anak Tangsi Jawa itu bilang, ayah-ayah mereka yang ‘orang Selam’, sebenarnya ‘musuh’ para serdadu Ambon itu juga.

Tampaknya perkataan Guru Sain tak main-main. Mungkin benar ia sampaikan kejadian itu kepada Tuan Opsinder. Dua pekan kemudian Tuan Opsinder datang ke sekolah Malik, melihat-lihat dari satu ke ruang kelas, bertanya-tanya kepada guru-guru Malik. Lalu hanya sekitar sepekan setelah itu Guru Sain masuk kelas dengan wajah sumringah penuh bungah.

Di tangan tergenggam sepucuk surat resmi. Tampaknya urusan itu tak harus sampai ke Departement van Onderwijs, Eredienst en Nijverheid[7]  di Batavia. Barangkali cukup sampai di Padang, atau mungkin saja malah di Padang Panjang.

“Dengar anak-anak,” katanya di muka kelas. “Dua pekan lagi kita akan pindah dari sini. Sekolah Desa akan pindah ke Bancah Lawas. Sekolah ini akan ditutup,” kata Guru Sain.

Lalu seolah balas dendam atas perlakuan yang pernah ia terima, ia berkata sambil sebentar mengerling Si Hendrik. “Biar Hendrik juga bisa lebih leluasa bermain-main sendirian di sini, ya Hendrik.”

Kontan murid-murid bersorak. Semua bergembira, seolah lepas dari belenggu. Malik tanpa sadar berdiri, berlari menghampiri Paimin, dan memeluknya erat.

“Kita ndak perlu lagi takut anak-anak Ambon, ya Min,” katanya. Paimin melepaskan pelukan Malik, tertawa dan memandang wajah sahabatnya itu lekat-lekat.

“Memang siapa yang takut, Malik? Kau sajalah barangkali!” katanya dia, lalu tawanya kembali meledak.

Hendrik sadar, ia tak terlibat sama sekali dalam kegembiraan bersama itu. Ia tak lagi

menjadi ‘pemilik’ sekolah yang saat ini masib berdiri di Tangsi ini. Tiba-tiba ia merasa dirinya menciut. Sadar ia, tak ada lagi kawan-kawannya di sana. Jangankan nanti, dua pekan lagi, hari ini pun mereka tak mau berbagi kegembiraan dengannya. Hendrik tahu, sekolahnya akan putus. Diam-diam, Hendrik melipir keluar kelas.

“Eh, mana Si Hendrik?” Ujar Malik, mengingatkan Paimin. Yang ditanya menggeleng. “Apa perlunya?” tanya dia.

“Perlu sekali, malah. Ayo kita cari. Jangan karena pindah tempat, putus sekolah dia nanti,” kata Malik. Berdua mereka keluar, mencari Hendrik. Anak nakal itu mereka temukan dalam perjalanan ke rumahnya. Paimin dan Malik bergantian membujuk, mengembirakan dan membesarkan hati Hendrik, hingga anak itu mau kembali ke kelas dan belajar sampai sekolah usai.

Selama dua pekan kemudian, Hendrik menjadi anak yang berubah total. Ia baik sekali. Anak-anak lain pun tak sukar kemudian menerimanya sebagai teman.  Sayang, hanya dua pekan itulah sebenarnya Hendrik merasakan nikmatnya punya teman.

Saat Malik dan teman-teman pindah ke Bancah Lawas, belajar di tribun tempat orang menonton kuda pacu yang telah diperbaiki, dicat dan diberi dinding, Hendrik tak ikut serta. Dengar-dengar sih bapaknya, Si Kumis kawat yang melarangnya pindah. Dengar-dengar, Hendrik pun akhirnya putus sekolah. [ ]

Bab 4

Berguru Kepada Mak Pekak

Kegemaran Malik membaca memang tak hanya menyenangkan, namun juga memberinya nilai lebih dibanding teman-teman sebayanya. Ia jadi lebih banyak tahu, bisa sok menjawabkan beberapa persoalan ‘kecil’ teman-temannya. Benar kata pepatah Latin yang bilang ‘Ipsa scientia potestas est’, bahwa pengetahuan itu ya kekuasaan. Dengan isi kepala yang lebih banyak, Malik juga merasa ‘sah’ untuk menjadi pemimpin di kelompoknya.

Namun kegemaran itu bukan tidak membawa masalah. Kegemaran membaca Malik yang begitu tinggi dan antusias, tak jarang membuat Malik tekor. Uang jajannya sering terpakai buat menyewa buku dari Bibliotek Zainaro. Pernah Malik meminta pengecualian. Buku bibliotek disewakan lima sen per dua hari. Karena merasa bisa menamatkan satu buku dalam sehari, Malik minta sewanya diturunkan menjadi dua setengah sen saja per buku.

“Ambo bisa selesaikan sehari. Jadi untuk lima sen ambo bisalah dapat dua buku,” katanya. Ia mengusulkan hal itu langsung kepada Engku Zainuddin, salah satu pemilik bibliotek itu.

Jawaban Engku Zainuddin pendek saja: tidak. Malik sempat jengkel dengan jawaban yang menurutnya sama sekali tak mempertimbangkan alasan yang ia ajukan.

Karena urusan sewa buku itu Malik sering mengurangi jajannya. Sudah beberapa pekan ia tak mampu lagi membeli jajanan semacam es tebak yang segar pelepas dahaga usai sekolah siang itu. Tak ada sisa uang jajannya karena semua habis buat buku. Ia juga sudah rindu mengunyah Ampiang Dadiah yang segar manis asam itu. Es tebak adalah semacam es campur yang ditambah tebak atau cendol khas Tanah Minang. Sementara Ampiang Dadiah adalah kue ketan (Ampiang) yang diguyur atau kadang hanya dibalur susu kerbau yang telah difermentasi (Dadiah). Duuh, enaknya dimakan siang-siang! Belum lagi Lamang Tapai, atau kue Bika yang manis nikmat itu.

Sadar bahwa kue-kue dan minuman itu akan makin jauh dari lidahnya kalau dia tak mencari akal, kembalilah Malik menemui Engku Zainal setelah ia mengembalikan dan kembali menyewa buku. Engku Zainuddin tengah berada di ruangannya yang terpisah dari bibliotek saat Malik menemuinya.

“Engku, boleh ambo bicara sesuatu?” kata Malik di muka pintu. Engku Zainuddin mengernyitkan dahi sejenak, menaikkan kacamata yang tadi dipakainya ke dahi serta meletakkan buku yang tengah dibacanya. Ia menyilakan Malik masuk.

“Ada apa Kau Malik? Serius sekali kelihatannya?”

“Memang, Engku. Benar-benar serius. Orang Eropa bilang, bagi ambo ini tahapannya sudah bisa dibilang SOS,”jawab Malik. Tak ada seulas senyum pun tergambar di wajahnya saat mengatakan itu.

Nyaris saja tawa Engku Zainuddin meledak. Namun ia segera sadar, buruk bila hal itu ia lakukan. Akhirnya mau tak mau ia ikut memperlihatkan mimik muka serius.

“Sila, apa yang mau Waang kata.”

Seolah seorang diplomat ulung, Malik tak langsung bicara apa yang ia maui. Ia memulainya dari kewajiban membaca bagi orang-orang muda dan kanak-kanak, agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia pintar. Namun Malik juga segera mengajukan sisi lain, yakni hak anak-anak untuk jajan. Ia bilang, nyaris semua orang tua mengakui hak tersebut. Buktinya, hampir setiap orang tua memberi anak-anak mereka uang jajan.

“Setidak, kalau sepekan sekali sih semua kami dapat uang jajan, Engku,” kata Malik. Engku Zainuddin mengangguk-angguk.

Baru setelah itu Malik bercerita bahwa demi memenuhi kewajibannya banyak membaca bacaan bagus, ia rela mengurangi jajan hariannya. “Tapi sebaiknya, orang yang lebih tua juga harus membantu pemenuhan hak anak-anak untuk bisa jajan itu,” ujar Malik. Sorot matanya membentur pandangan Engku Zainuddin, seolah menakar sikap dan pemihakan pemilik bibliotek tersebut.

“Hm..”

“Nah, karena ambo sudah lama terganggu soal jajan, ambo mau usul kepada Engku,” kata Malik. Ia mengajukan keinginan untuk bekerja paruh waktu, atau apapun namanya di Bibliotek. Tak usah dibayar, kata dia. Cukup dibikin prodeo saja kalau Malik meminjam buku.

Engku Zainuddin masih saja mengangguk-anggukan kepala. Bahkan keterusan, seolah seorang tua yang tengah dilanda kantuk di saat khutbah Jumat.

“Bagaimana Engku?” tanya Malik, mendesak.

“Bagaimana apanya?”

“Kasih izin ambo bekerja di sini.”

“Ooh, boleh saja. Engku izinkan. Kau boleh mulai besok, Malik. Kerjamu bantu-bantu apa pun yang Engku perlukan ya,” kata Engku.

Malik gembira sekali. Tak nyana urusan yang sebelumnya ia bayangkan akan sulit itu berakhir jauh lebih mudah.

“Tapi, Buyung,” kata Engku. “Kau belajarlah bikin kopi yang nikmat. Mungkin salah satu pekerjaan yang paling diperlukan darimu di sini adalah membuatkan Engku kopi.”

Sehari kemudian Malik sudah tampak berada di Bibliotek Zainaro selepas sekolah paginya. Awalnya tugas Malik hanya membuatkan Engku Zainuddin kopi, karena urusan mencatat pinjaman buku bisa dilakukan lebih cepat oleh pegawai Engku. Tetapi tentu saja Engku Zainuddin pun tak harus minum kopi satu jam sekali, sehingga menunggu perintah membuatkan kopi itu menjadi beban berat tersendiri buat Malik.

Untunglah Engku punya ide, sekalian untuk merawat buku-bukunya jadi lebih bisa bertahan lama.

“Malik, mulai besok tugasmu bertambah. Kau seduhlah tepung kanji hingga jadi lem. Setelah itu sampullah semua buku yang ada. Karena banyak, sampullah paling tidak sepuluh buku sehari. Kalau belum selesai sepuluh, kau boleh bawa yang belum selesai itu, kembalikan esoknya,” kata Engku menerangkan cukup panjang.

Bola mata Malik berbinar mendengarnya. Mulutnya menganga, seolah tak percaya. Segera saja kepalanya bicara, tak lama lagi lidahnya akan bersua dengan segala jenis kue jajanan dan es tebak yang enak.

“Tak usah seperti itu,” kata Engku, tersenyum. “Kau masih punya tugas menceritakan isi buku yang kau bawa dan baca di rumah itu kepada Engku.”

Engku Zainuddin tahu, dengan cara itu ia bisa memastikan Malik akan membaca dengan serius buku-buku yang dibawanya. Ia senang dengan kegigihan yang dimiliki anak itu.

***

Selama ini dalam urusan basilek Malik hanya punya seorang guru, angkunya sendiri. Setiap mereka berdua bermalam di Muara tentu keduanya berlatih silek, menambah jurus atau sekadar mengulang guna melancarkan gerakan. Tetapi dengan ketidaksetujuan ibu Shafiah  dan Haji Rasul, tentu makin sulit saja Malik bisa ikut kakeknya itu memerangkap ikan di Muara. Akhirnya latihan rutin selalu dilakukan di halaman rumah yang cukup luas, setiap pagi bada Subuh.

Tak pernah sekali pun tersirat di benak Malik untuk mencari jenis dan tambahan jurus dari guru lain selain kakeknya itu. Ia merasa dengan kemampuan sileknya saat ini pun, kalau hanya diserang orang gila sih masihlah dapat ia hadapi. Sampai suatu kejadian membuat pikiran Malik yang jumud itu berubah.

Saat itu usianya sepuluh tahun. Pas libur besar sekolah menjelang bulan Puasa, ayah ibu membawa Malik pulang ke Maninjau. Ternyata telah ada rencana bahwa dua hari menjelang Puasa Malik akan dikhitan. Anak itu tentu saja terkejut. Tapi tak lama, karena dia pun sudah tak mau lagi dipanggil Si Kulup oleh teman-temannya yang lebih tua dan sudah berkhitan. Biasanya urusan mengolok-olok itu terjadi pada saat mereka mandi di sungai atau pancuran, atau paling tidak saat berlomba mencapai pancaran kencing terjauh.

Sehari menjelang disunat, beberapa sapi besar siap disembelih untuk keperluan hajat besar keluarganya itu. Seekor sapi besar kepunyaan Mamak Sutan Akin terlihat liar dan tak mau diam. Sapi itu mendengus-dengus, menyepak orang-orang yang mencoba mengikatnya dengan tali, membuat orang ketakutan.

“Ayo jatuhkan, ikat kaki depannya!” teriak Sutan Akin. Tapi dia sendiri paling jauh dari sapi kalap itu. Dia memang telah lari lebih dulu manakala sapi itu mulai menggila.

Mata sapi itu memerah liar, seolah seluruh pembuluh di matanya penuh berisi darah semata. Kaki depannya mengibas, mencakari tanah di depannya. Orang-orang kian ramai merubung, meski hanya menonton dari jauh.

Tukang jagal yang biasa menyembelih sapi dan kerbau, Engku Haji Zakaria, hanya bisa memegang pisaunya dari jauh.

Tiba-tiba seseorang berhasil melempar tali laso, menjerat kaki belakang sapi itu. Dibantu beberapa orang, dia berhasil menarik tali itu kuat-kuat, bermaksud merobohkan sapi gila itu. Merasa kakinya ditarik untuk dijatuhkan, sapi itu menyentakkan kaki belakangnya kuat-kuat. Tak hanya itu, ia juga mengejar tiga orang yang tadi berusaha membuatnya roboh. Serta-merta ketiga orang itu melemparkan tali, kabur bersama penonton yang bubar menjerit-jerit ketakutan.

Entah dari mana datangnya, muncullah Mak Tamam. Pria setengah baya itu selama ini sering menjadi bahan ledekan karena telinganya yang sedikit budhi, budeg atau pekak alias kurang mendengar. Orangnya pendiam, hanya punya sifat curigaan. Bila ada dua orang bercakap di dekatnya, karena pekaknya itu ia sangka kedua orang itu tengah membicarakannya. Marahlah ia, tak jarang mengajak kedua orang itu berkelahi.

Mak Tamam berjalan mendekati sapi gila itu. Santai saja, seolah mendekati anak kucing lucu yang hendak ia timang. Sapi gila mendengus, mungkin memperingatkan Mak Tamam agar tak lagi mendekat. Kaki depannya kembali menyepak-nyepak tanah.

“Hooi! Mana sekalian pendekar Tanah Maninjao?” Mak Taman berteriak keras, seolah meminta perhatian orang-orang. Tapi matanya tetap melekat erat-erat pada sapi gila itu.

“Sutan Akin, teriakan mulut tak akan bisa merubuhkan ini sapi. Pakai tanganmu, baru mungkin bisa,” kata dia lagi. Kini jaraknya dengan sapi itu tak lebih dari kisaran dua meter, bahkan kurang.

“Coba saja!” jawab Sutan Akin. Malu juga dia tampaknya. “Kau pun tak lebih bermulut saja.”

“Alah, berasa jago pula Kau, Tamam.” Engku Sutan Pamuncak yang terkenal sebagai pendekar nagari dan kepalanya sehari-hari tak pernah lepas dari destar, ikut bicara. Jelas ia merasa kehilangan muka, sebagai pendekar tak mampu menyelesaikan persoalan seperti itu. Jadi manakala ada orang yang mencoba mengatasi, wajar bila responsnya adalah menjadikan orang itu seterunya.

“Diamlah kalian para pendekar! Biar aku yang menyelesaikan,” kata Mak Tamam keraskeras. Lalu dengan cepat kedua tanduk sapi itu sudah berada dalam genggaman kedua tangannya. Diputarnya kedua tanduk tersebut ke bawah sekaligus menekan agar sapi itu rubuh. Sapi tahu apa yang akan dilakukan Mak Tamam, maka binatang gila itu pun melawan keras!

Sapi gila itu mendorong Mak Tamam. Posisinya kini lebih baik karena berhasil menempatkan bagian tengah tanduknya pada iga Mak Tamam. Untunglah bukan ujung tanduk itu yang beradu dengan iga orang tua pekak itu. Bila begitu kejadiannya, gampang saja sapi itu menanduk dengan cara mendongakkan kepalanya. Boleh jadi tanduk runcing itu akan membedah perut Mak Tamam dan memburaikan ususnya.

Kini orang-orang seolah menyaksikan adu kuat antara sapi gila dengan Mak Tamam, lelaki kecil pekak yang sehari-hari kerap mereka lecehkan. Sadar bahwa kelebihan manusia adalah akal, Mak Tamam bergerak sedikit dan lepas dari tekanan tanduk sapi. Dengan gerakan manis ia membuang kekuatan kepala sapi itu ke bawah, hingga sapi itu terjatuh dengan tanduk menancap kuat di pematang sawah. Secepat kilat Mak Tamam berkelit mengubah arah. Gerakan itu membuat posisinya kini lebih baik. Dengan tangan tetap memegangi tanduk yang tertanam di pematang, Mak Tamam menduduki kepala sapi itu, menekannya kuat-kuat ke bawah. Sapi gila itu diam tak bergerak.

“Ayo para pendekar, ke sini, ikat kuat-kuat!” teriaknya.

Beberapa orang yang tadi ingin sekali menyaksikan Mak Tamam roboh dihajar sapi, kini saling menoleh di antara mereka. Tetapi bagaimana pun kini sapi gila itu telah diam tak berdaya dalam penguasaan Mak Tamam. Akhirnya, diawali Sutan Akin, yang lain pun berdatangan membantu mengikat sapi itu.

“Hadapkan ke Kiblat!” kata Engku Haji Zakaria yang kini telah menemukan kembali kegagahannya. Tangannya masih memegang pisau besar tajam berkilat. Kini giliran Mak Tamam yang bergeser, menonton dari jarak agak jauh.

“He he, segitu sajo kebisaan para pendekar Maninjao yang katanya jago-jago tuh,” katanya. Suaranya, sebagaimana biasa orang pekak, tetap saja terdengar nyaring meski mungkin perkataan itu sebenarnya hanya untuk dirinya sendiri. Engku Sutan Pamuncak yang mendengar perkataan itu sempat mendelik, tapi segera ia sadar yang dikatakan orang pekak itu memang benar adanya.

Malik melihat semua itu. Makanya, ketika yang lain asyik menonton sapi gila itu disembelih, anak itu justru mendekati Mak Tamam. Cukup lama juga ia bercakap dan meminta izin Mak Tamam untuk menjadi gurunya. Bukan karena susah membujuknya. Tidak juga. Hanya karena orang tua itu pekak, Malik harus berulang kali mengulang apa yang ia katakan.

Orang tua itu setuju, meski sempat bertanya mengapa Malik tak berguru kepada kakeknya.

“Ambo hendak menyempurnakan silek ambo,” jawab Malik. Orang tua itu tampak senang dengan jawabannya.

“Hm..Baiklah, Buyung. Kau memang patut dapat guru yang lebih baik,” kata dia. Hampir saja Malik protes mendengar itu. Tak setuju ia mendengar Mak Tamam lebih baik dalam hal basilek dibanding kakeknya. Ia juga hanya ingin menambah kepandaian barang beberapa jurus dari orang tua itu. Tetapi protes itu ia urungkan. Buat apa berpayah-payah berdebat untuk hal yang tidak terlampau penting itu. Toh keinginannya berguru sudah diluluskan orang tua itu.

“Setelah sembuh khitanmu, Buyung, kutunggu kau setiap selesai salat Isya. Di dekat suraumu sajalah, agar gampang kita bertemu,” kata Mak Tamam, lalu dengan tak acuh ia membalikkan badan, berjalan ke arah pasar. Tak diacuhkannya lagi orang-orang yang tengah sibuk menguliti sapi gila yang tadi ia taklukan.

Esoknya Malik dikhitan. Pagi-pagi ia sudah berendam di Danau Maninjau, guna melembekkan kulupnya yang akan dibuang. Tidak sendirian karena empat temannya juga ikut dikhitan bersamanya.

Saat matahari muncul dan air mulai hangat, teman-temannya satu persatu naik ke darat. Malik memilih menambah waktu berkubangnya. Saat ditanya seorang mamak yang menjaganya berkubang, enteng saja anak itu berkata,” Biar kulupku lebih lembek lagi dan gampang disunatnya.” Mamaknya tak berkata apa pun, hanya tersenyum simpul. Entahlah apa benar atau tidak kulup akan lembek bila berkubang lama. Yang pasti kulup Malik tampak lebih mengkeret saat Engku Haji Ismail, dukun khitan paling terkenal di Maninjau siap memotongnya. Kulup Malik juga lebih sedikit mengeluarkan darah dibanding keempat temannya.

Selesai khitan, Malik dan teman-temannya dipakaikan kain sarung. Bedanya kali ini ke lipatan sarungnya dimasukkan benda hasil tangan dari sabut kelapa berbentuk palang. Karena benda itulah hasil sunat yang masih ringkih itu terbebas dari sentuhan kain sarung yang kasar. Sementara kalau tak pakai sarung, tak elok juga produk khitan itu dibiarkan berseronok tanpa penutup.

Sejak syair-syair barzanzi mulai dilagukan orang, para undangan ramai berdatangan

memberi Malik dan teman-temannya uang tanda kasih. Tak banyak, ada yang memberinya sekelip alias lima sen, seketip atau 10 sen, setali atau 25 sen, bahkan ada yang memberinya sesuku atau 50 sen. Senag sekali Malik saat kantong kainnya penuh lebih cepat dibanding keempat temannya. Ya wajar sebenarnya, karena orang tuanyalah yang menggelar pesta khitan ini.

Tanpa menghitung-hitung uang dalam kantong kainnya, Malik segera berkhayal  akan meminjam buku-buku yang selama ini ia impikan di Bibbliotek Zainaro. Agar hemat, sebagian akan ia bayar dengan tenaganya membikin kopi dan menyampul buku, sebagian lagi langsung akan dibayarnya dengan uang yang ia miliki.

“Ambo tak akan mau menceritakan isi buku yang ambo bayar tunai,” pikir Malik. “Biar Engku Zainuddin tahu itu.”

Pesta khitan itu berlangsung tiga hari dua malam. Setiap malam Malik tertidur di kursi saat ia menonton pertunjukan. ,Pada malama pertama Haji Rasul mengundang tukang kaba yang bergelar Si Balam seperti nama burung yang di Jawa disebut Tekukur. Entah mengapa, mungkin karena selain pintar mengoceh bercerita berbagai hal, suaranya pun tergolong sangat merdu. Apalagi memang cerita yang ia bawakan malam itu, ’Bujang Jauh’ memang diceritakan dalam berbagai lagu.

Kadang suara Si Balam merintih menceritakan berbagai kepahitan Sutan Pangaduan dan Sutan Lembak Tuah dalam membela kebenaran berhadapan dengan Raja Unggar Lajang dari negeri Medan Sabar. Sutan Lembak Tuah juga bergelar Si Bujang Jauh karena kepiawaiannya berkelana, merantau ke berbagai negeri yang jauh.

Maka bernama Bujang Jauh

Sebab jauh di perjalanan

Rimba nan mana tidak ditempuh

Lurah mana tak dituruni

Lah tumbuh sekat di punggung

Esoknya manggung Si Japan, tukang rebab terkenal asal Pariaman. Dia juga jago menyanyi dengan iringan rebabnya. Hanya malam kedua itu Malik tertidur lebih cepat. Bukan hanya karena lagu-lagu Si Japan lebih banyak merintih-rintih, isi ceritanya pun lebih banyak berisi pesan-pesan moral agama, yang kadang belum bisa dimengerti anak seusianya, meski dia si Malik yang banyak membaca.

                                                          **

Tak hanya gampang menyayangi orang yang malang, Malik juga cenderung menyenangi keindahan. Sejak usia lima tahun, jika menangis Malik hanya bisa ditenangkan dengan cara  membawanya ke pekarangan Angku yang berdiri di anak bukit. Didudukkan di kursi goyang kesayangan Angku, Malik bisa memandang segala hal yang terjadi di Danau Maninjau.

Di kursi itulah Malik kecil bisa begitu asyik menikmati pemandangan kegiatan di danau; orang mandi, nelayan menjaring ikan, biduk-biduk berseliweran mengantar orang. Itu membuat tak hanya tangisnya segera hilang, tapi juga bisa berjam-jam duduk terkesima menikmati pemandangan tersebut.

Nah, sejak usianya menginjak sembilan tahun Malik belajar membaca Alquran kepada kakaknya, Pijah. Pijah adalah kakak yang tak sabaran. Sementara Malik justru anak yang tak akan memberikan perhatian kepada pelajaran yang tak ia sukai. Belajar membaca Alquran bagi Malik tergolong ke dalam yang terakhir tadi.

Tentu saja sifat kedua adik kakak itu klop untuk terjadinya kekacauan. Pijah yang gampang marah bila adiknya itu dirasanya sukar mengerti yang ia ajarkan, bertemu Malik yang tak acuh mendengarkan dan belajar karena bukan kesukaan. Alhasil setiap pelajaran mengaji yang dilakukan sebelum maghrib itu selalu saja berakhir ribut. Kalau tidak Malik menangis karena perutnya dipilih Pijah yang matah akibat Malik tak bisa-bisa, bisa juga karena Pijah justru menangis gara-gara tangannya digigit Malik yang marah terus diomeli.

Alhasil, kaji Malik pun tak banyak beranjak. Persoalan itu baru kelar setelah datang ‘murid’ baru yang hendak ikut pula belajar membaca Quran. Anak perempuan kecil, setahun di bawah Malik usianya. Anak pemalu, kerap menunduk, bahkan bila sedang bicara. Namun bila ia tengadah, tampaklah wajahnya yang bulat, pipi semerah tomat dan bola mata yang hitam besar. Semua itu terlihat indah di mata Malik kecil. Ia segera menyukai Chamsinah, anak perempuan itu.

Kehadiran Chamsinah memberi dampak baik buat Malik. Ia kini rajin belajar. Bila sebelumnya selalu Pijah yang mengingatkannya untuk belajar, setelah kedatangan Chamsinah ganti Malik yang mengingatkan kakaknya untuk segera bersiap setiap bada ashar. Apalagi bila telinganya sudah mendengar suara Chamsinah mengucapkan salam di muka rumah.

Awal-awalnya Malik keteteran karena selama ini abai memperhatikan petunjuk kakaknya.

Ia kaget saat melihat Chamsinah mampu membaca lebih baik daripada dirinya.

“Saya belajar sedikit waktu di Padang,” katanya saat ditanya Malik.  

Merasa tak ingin jadi pengekor, Malik belajar lebih keras. Siang-siang, sebelum sampai waktu ashar, Malik mulai belajar mengaji sebagaimana yang diajarkan kakaknya, Pijah. Ia tak ingin Chamsinah, anak perempuan yang disukainya itu, lebih pintar darinya.

Anehnya, saat-saat menjelang belajar mengaji itu kini menjadi waktu-waktu yang mendebarkan dada Malik. Menunggu kedatangan Chamsinah baginya kini lebih menegangkan dibanding saat-saat pagi hari pulang ke rumah setelah tidur di Muara bersama Angku!

Sebaliknya, bila Chamsinah sakit, kendor pula semangatnya hari itu untuk mengaji. Sering kalau saat-saat itu datang, rumah kembali ramai karena Pijah pun kembali memarahi adiknya itu.

Empat bulan setelah mengaji bersama-sama itu, Malik pun sudah boleh membaca dari Alquran yang asli, bukan hanya buku Juz Amma selama ini. Chamsinah juga demikian. Pada saat keduanya mulai membaca surat Ali Imran, baik bacaan Malik maupun Chamsinah sudah selancar berkata-kata dalam bahasa Minang!

Pernah beberapa hari Chamsinah tak hadir mengaji. Itu membuat bacaan Malik turun drastis. Ia seolah tak lagi mampu mengeja rangkaian huruf Arab di depannya. Sempat saat itu Pijah terpikir mau memilin perutnya. Hanya ia urungkan, melihat Malik pun seperti sudah siap untuk membalas dengan menggigit kakaknya itu. Namun saat beberapa hari kemudian Chamsinah datang kembali, Malik pun lancar lagi mengaji.

Ternyata Chamsinah beberapa hari pulang menjenguk neneknya di Padang.

Sekali waktu Malik menemukan bait-bait pantun yang menurutnya bagus sekali. Ditulisnya bait-bait pantun itu ke bagian tengah bukunya. Dibuatnya agar tulisan yang ia goreskan itu sebagus dan serapi mungkin. Setelah kelar, disobeknya bagian tengah buku itu dengan hati-hati, lalu dilipatnya kertas berisikan bait-bait yang ia tulis itu dengan rapi.

Sorenya, sebelum Pijah datang mengajar, Malik menyerahkan kertas berisi bait-bait pantun itu kepada Chamsinah.

“Apa ini?” kata Chamsinah heran.

“Bukalah, baca. Menurutku sih cukup bagus.”

Usai membaca syair di kertas itu, anak perempuan sembilan tahun itu terlihat agak bingung. Tapi kemudian ia berkata, memuji bait-bait pantun yang barusan ia baca.

“Bagus sekali Malik. Kaukah yang membuatnya? Duuh, hebat sekali engkau Malik, kau berbakat menulis pantun,” kata Chamsinah.

Mendengar itu Malik terkejut. Tak disangkanya sambutan Chamsinah akan seperti itu. Malik hanya ingin berbagi bacaan bagus, hasil temuannya di buku yang ia baca. Respons Chamsinah justru membuatnya bingung.

Anehnya, Malik saat itu mengangguk pelan. Sikap yang dengan berat hati ia lakukan di tengah kegalauannya. Entah mengapa, untuk mengaku bahwa itu hanya temuan yang baca dari sebuah buku, terasa sangat berat. Bola mata Chamsinah yang berbinar senang, senyumnya yang manis terkembang, Malik takutkan akan segera hilang begitu ia mengaku posisinya atas syair itu tak lebih dari hanya menemukan lebih dulu.

“Kamu berbakat Malik. Sangat berbakat,” kata Chamsinah, memuji. Malik tersenyum, kaku. Entahlah, hanya saat itu perasaan hatinya tak sepenuhnya senang. Terasa, di sana pun ada perasaan yang terganjal sembilu. [ ]


[1] Merek lampu senter yang peryama kali masuk Indonesia (Hindia Belanda saat itu).

[2] Nama Jakarta sebagai ibukota baru muncul tahun 1942, saat zaman pendudukan Jepang bermula. Nama itu kemudian menjadi resmi melalui pengumuman Menteri Penerangan Arnold Mononutu pada 30 Desember 1949.

[3] Ayah penyair Taufik Ismail

[4] Kolam atau empang

[5] Sejak politik etis dijalankan pemerintah Hindia Belanda, berbagai sekolah yang didirikan atas inisiatif para pribumi berdiri. Semua itu lama-lama sekolah-sekolah pribumi itu dipandang pemerintah Hindia Belanda yang sebenarnya setengah hati menerapkan politik etis yang didesakkan Parlemen Belanda, sebagai sekolah liar.

Namun baru pada 1933 keluar peraturan (Ordonantie) berkaitan dengan ‘sekolah liar’ itu.

[6] Pengadilan Negeri zaman Hindia Belanda

[7] Lembaga yang disingkat OEN itu didirikan 1866 (gahetna.nl).

Back to top button