Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [7]
Sejak ratusan tahun silam, wilayah Rawa Onom memang ditakuti seluruh lapisan masyarakat. Disebutkan oleh Mang Sajum, bahwa di Rawa Onom dan sekitarnya, memang sudah didengar banyak keanehan. “Rawa Onom memang dihuni oleh makhluk gaib yang disebutkan sebagai bangsa onom. Mungkin kau sudah mengalaminya sendiri …” tutur Mang Sajum. Lendra hanya terpekur mendengarnya. Diakui oleh hatinya, bahwa dia pernah mengalami kejadian gaib di mana pernah masuk ke dunia onom.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Beberapa hari lalu, dia pun sempat terperosok ke dunia gaib, namun sebetulnya hanya sukmanya saja, sebab raga kasarnya tetap utuh berada di dunia nyata. Maka berdasarkan pengalaman ini, Lendra memastikan bisa menemukan tubuh Jang Dayat.
“Semoga Jang Dayat tetap utuh …” tuturnya dalam hati.
Maksudnya, Lendra memohon pada Tuhan agar keselamatan Jang Dayat dilindungi. Kalau pun tubuh Jang Dayat ditemukan, maka dia minta agar tubuh itu tetap utuh menyertai jiwa dan rohnya. Rupanya doa Lendra terkabul sebab jauh di depan, nampak tubuh Jang Dayat meringkuk di bawah pohon besar dan berjanggut.
Jang Dayat masih hidup sebab tubuhnya bergerak-gerak. Gerakannya bahkan sedikit keras, bukan sekadar menggigil. Yang membuat Lendra terkejut, tubuh Jang Dayat sekujurnya dikerubuti oleh puluhan bahkan ratusan ekor lintah dan lipan. Binatang menjijikan itu Nampak menyedot tubuh Lendra. Ada darah meleleh di setiap wilayah tubuh yang disedotnya. Lendra berupaya sekuat tenaga mencabuti tubuh lintah dan lipan.
Lendra seperti bertarung keras melawan ratusan lintah atau lipan yang mengerubuti tubuh Jang Dayat. Kalau dia telat mencabuti binatang itu, maka darah Jang Dayat akan terkuras disedot binatang haus itu. Lintah-lintah itu sungguh keras dan bandel. Ketika ada yang bisa dicabut, maka ketika dilempar, lintah itu melata memburu tubuh Jang Dayat kembali. Begitu seterusnya. Itulah sebabnya Lendra hampir kewalahan. Akal satu-satunya, Lendra menghunus golok yang terdapat di pinggang Jang Dayat. Dengan mata golok, maka lintah lintah itu diserutnya seperti membersihkan lumut di tembok. Dengan begitu, banyak lintah bisa diusir pergi seketika. Setiap lintah yang jatuh ke tanah, segera dibabat habis dengan goloknya, begitu berulang-ulang. Begitu seluruh lintah bisa diusir pergi, begitu pula kesadaran Jang Dayat tumbuh. Tubuh Jang Dayat menggeliat. Namun setelah celingukan dan bisa menatap Lendra, serta-merta dia memeluk tubuh Lendra sambil berteriak-teriak histeris.
“Aduh, Lendra! Tolong aku! Selamatkan nyawaku! Selamatkan nyawaku!” teriaknya terlongong-longong.
“Kau sudah aman! Kau sudah selamat!” jawab Lendra menepis-nepis pipi Jang Dayat agar kesadarannya segera pulih. Beberapa saat kemudian, kesadaran Jang Dayat bisa pulih secara utuh. Namun demikian, untuk beberapa saat dia tak bisa ditanya. Kerjanya hanya melongo saja sambil sesekali bergidik ngeri. Sesudah berselang lama, barulah Jang Dayat bisa ditanya.
“Apa yang kau alami selama ini, Dayat?” tanya Lendra memegangi tengkuk Jang Dayat.
“Aku dikepung satu pasukan bersenjata. Mereka mencecarku dengan berbagai senjata tajam. Darahku sudah berceceran di setiap bagian tubuhku. Untung kau menolong mengusir penyerang-penyerang itu …” kata Jang Dayat sambil kembali bergidik.
“Engkau diserang oleh Pasukan Galuh, Jang Dayat?” tanya Lendra.
“Diserbu Pasukan Galuh? Sungguh edan dan sungguh sulit dimengerti. Penyerang itu malah menuduhku bagian dari Pasukan Galuh. Serbu prajurit Galuh. Bunuh prajurit Galuh! Begitu teriak mereka.”
“Kalau begitu, kau pasti diserbu oleh Pasukan Kerajaan Pulo Majeti, Jang Dayat …”
“Ya, benar. Mereka mengaku sebagai prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Tapi eh … dari mana engkau tahu, Lendra?” tanya Jang Dayat heran. Lendra hanya tersenyum tipis.
“Mari kita pulang saja ke Rancah …” ajak Lendra berjingkat.
Dengan agak lemah, Jang Dayat pun berdiri. Beberapa bagian tubuhnya yang berbintik merah dan ada noda darah, dia seka satu persatu.”Lendra, apakah aku ini mimpi atau apa? Bila disebut mimpi, kok tubuhku penuh luka?” tanya Jang Dayat terheran-heran.
“Biar kita obrolkan nanti di rumah saja …” tutur Lendra berjalan duluan.
Jang Dayat ikut berlari kecil di belakangnya seperti takut tertinggal.
“Kau musti hati-hati dengan perempuan, Lendra …”
“Oh, ya …?”
“Kalau permintaannya tak diturut, perempuan suka ngadat, memaksa, bahkan menekan.”
“Oh, ya?”
“Nyi Tarsih bahkan memanggil beberapa prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Dia katakan aku pengkhianat dari Galuh,” tutur Jang Dayat kembali bergidik.
“NYI Tarsih?”
“Kau tahu penari cantik berhidung mancung yang memberikan soder padaku? Nah, dia seperti tertarik padaku. Matanya berbinar. Sebentar menatap sayu, sebentar menatap tajam penuh gairah. Ketika selesai tari tayub, kami turun balandongan dan pergi menuju sebuah rumah bagus, asri, tenang, sepi dan ada tempat tidur hangat di sana …”
“Lalu kau mencumbu?” tanya Lendra.
“Tidak. Malah aku yang dia cumbu habis-habisan. Seluruh tubuhku dia elus mesra dan hangat. Sepasang pipiku dia kecup mesra. Dan manakala mulutku dia lumat habis, maka tergetar gelora berahiku. Namun ketika giliranku yang ingin bereaksi, malah dia menepis pergi. Ketika kekuatanku hampir roboh, dia malah meninggalkanku. Lendra, aku teriak-teriak tak kuat menahan birahi. Maka Nyi Tarsih bilang, mari kita bergumul sepuasnya. Mari kita menyatu hingga salah satu tak bisa lepas lagi. Tapi dengan satu syarat …”
“Apa itu?”
“Gagalkan rencana pengeringan Rawa Onom!” kata Jang Dayat.
“Lho? Itu kan rencana Bendara Wedana. Memangnya kau bisa apa?” tanya Lendra.
“Itulah susahnya. Maka aku katakan, aku tak bisa laksanakan. Itu adalah rencana besar Bendara Wedana, sementara aku hanya orang kecil saja,” kata Jang Dayat.
“Betul itu.”
Tapi kata Nyi Tarsih, orang besar dan apalagi yang namanya pemimpin, musti menurut apa keinginan yang kecil. Maka aku disuruhnya mengumpulkan seluruh rakyat Rancah agar menolak pengeringan rawa. Begitu usul Nyi Tarsih,” kata Jang Dayat.
“Lantas kau mau?”
“Ah … aku tak bilang apa-apa. Maka itulah akhirnya Nyi Tarsih jengkel dan memanggil para prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Aku dikepung dan hendak dicincang habis-habisan. Tua Kampung Handiwung pun ikut bantu memanasi para prajurit agar segera melumatkan tubuhku sebab aku tak mau bela rakyat Kerajaan Pulo Majeti,” tutur Jang Dayat napasnya memburu.
“Selamatkan aku, Lendra …”
“Lho, kau sudah selamat.”
“Tapi Nyi Tarsih tetap mengancam, kalau aku tak bisa mempengaruhi rakyat Rancah, maka aku akan terus dikejar. Lendra, tolonglah aku!” kata Jang Dayat sambil diakhiri tangisan memilukan.
“Kau akan selamat sebab kau kini ada di dunia nyata. Ancaman itu datang dari dunia gaib. Maka kau tak bisa dijangkau mereka,” kata Lendra.
“Apakah aku tak akan kembali ke dunia mereka?”
“Asalkan kau jangan mudah tergoda rayuan perempuan cantik, Dayat …”
“Apakah Nyi Nenah wajahnya jelek?”
“Nyi Nenah yang mana?”
“Anaknya Mang Sajum?”
“Ya … kalau dibandingkan dengan wajah Nyi Tarsih, dia sih bukan apa-apa. Aku akan pacari saja Nyi Nenah, Lendra …” kata Jang Dayat.
“Lho, apa-apaan kamu ini?”
“Katamu barusan, aku jangan mudah tergoda perempuan cantik. Lalu kalau digoda perempuan nggak cantik, nggak apa, kan?”
“Ah, sundel kamu, Dayat!” kata Lendra sebal. Maka Lendra berjalan cepat coba meninggalkan Jang Dayat. Tapi Jang Dayat pun ikut cepat berlari sebab dia takut ditinggal di belakang. Hanya ketika lewati rawa saja mereka mulai kewalahan.
Seperti pengalaman aneh yang pernah melanda Lendra, begitu pun yang melanda Jang Dayat.
Kisah aneh pemuda ini pun menjadi bahan perbincangan tak henti-hentinya di wilayah Rancah dan sekitarnya waktu itu. Isu menyebutkan bahwa penghuni Rawa Onom dan Pulo Majeti marah karena mendengar rencana pengeringan rawa. Mendengar isu ini, banyak orang menjadi takut dan khawatir atas rencana besar yang akan dilakukan Bendara Wedana R. Bratanagara. Rakyat yang semula merasa bimbang menjadi semakin menjauh atas ajakan ini.
Kata Mang Sajum, sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, wilayah Rawa Onom memang ditakuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Disebutkan oleh Mang Sajum, bahwa di Rawa Onom dan sekitarnya, memang sudah didengar banyak keanehan.
“Rawa Onom memang dihuni oleh makhluk gaib yang disebutkan sebagai bangsa onom. Mungkin kau sudah mengalaminya sendiri …” tutur Mang Sajum pada Lendra. Lendra hanya terpekur mendengarnya. Diakui oleh hatinya, bahwa dia pernah mengalami kejadian gaib di mana pernah masuk ke dunia onom.
“Tapi kalau benar di dunia gaib ada Prabu Lancang Kuning yang menguasai Kerajaan Pulo Majeti, mengapa raja itu mengingkari perjuangannya sendiri, Mang Sajum?” tanya Lendra merenung. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum mengerutkan dahinya.
“Aku tak paham pertanyaanmu, Lendra …” gumam Mang Sajum.
Kata Lendra, menurut yang dia dengar melalui Nyi Indangwati di dunia gaib, ayahandanya bernama Prabu Lancang Kuning itu dulu berjuang untuk memakmurkan wilayah Pulo Majeti.
Dari semula berupa hutan belukar, dibangun dengan susah-payah sehingga menjadi sebuah negri yang makmur.
“Namun kenapa ketika kini ada yang ingin lebih memakmurkan kembali wilayah itu, Prabu Lancang Kuning tak setuju?” tutur Lendra.
“Itulah yang aku tak tahu. Aku hanya tahu, makhluk gaib bernama onom itu memang tak mau mengganggu kecuali diganggu …” kata Mang Sajum.
Sementara itu, dua hari kemudian, Lendra dipanggil Bendara Wedana. Setelah Lendra menghadap, Bendara Wedana R Bratanagara berucap kalau pegawainya itu sebaiknya ikut mendukung rencana besar pengeringan Rawa Onom.
“Kau jangan membantu Jang Dayat untuk menyebarkan isu-isu gaib, Lendra …” kata Bendara.
Lendra menyembah takzim sambil wajahnya sedikit pucat karena terkejut.
“Saya tidak secuil pun mempengaruhi orang banyak untuk tak mendukung rencana besar itu, Gamparan …” kata Lendra.
“Syukur kalau begitu. Hanya saja yang terjadi di seluruh Rancah, semua orang menjadi takut setelah mendengar peristiwa yang menimpa kalian. Tak nanti mereka merasa takut kalau tidak menerima khabar-khabar buruk dari kalian, Lendra …” kata Bendara Wedana.
Lendra menunduk lesu. Rupanya dia merasa kalau majikannya tetap menuduhnya ikut menyebarkan isu yang membuat rakyat Rancah menjadi takut.
“Sudah ada utusan dari masyarakat yang meminta aku mengurungkan niatan itu, Lendra …” tutur Bendara Wedana lagi.
“Akan saya perjuangkan agar rakyat percaya lagi kepada Gusti Gamparan …” kata Lendra sedikit sendu karena sedih. Ketika Lendra mohon diri, Bendara Wedana tak bilang apa-apa. Itu membuat hati Lendra semakin sedih.
Sepulang dari pendopo, Lendra meneliti keadaan masyarakat Rancah. Maka dia menarik kesimpulan bahwa orang Rancah takut ikut ambil bagian dalam gotong-royong mengeringkan Rawa Onom lantaran di antaranya termakan isu yang dilontarkan Jang Dayat.
“Mang Sajum, Jang Dayat ke mana?” tanya Lendra ketika menemui Mang Sajum di istal kuda. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum hanya menghela napas.
“Anak muda itu pulang ke kampung halamannya di Kawali. Mungkin dia merasa takut setelah sadar bahwa banyak orang Rancah menolak bergabung kerja mengeringkan rawa lantaran berita buruk yang dilontarkannya …” tutur Mang Sajum.
“Jang Dayat lebih mengkhawatirkan jiwanya yang katanya diancam oleh bangsa onom, Mang Sajum …” kata Lendra.
“Aku mafhum atas kekhawatiran anak muda itu, Lendra,” kata Mang Sajum.
“Dan kini, giliran saya yang diperingatkan Bendara, Mang …” kata Lendra mengulang kisah pemanggilan dirinya oleh Bendara Wedana.
“Aku mengerti kekecewaan Bendara Wedana. Rencana besar ini sudah dilaporkan kepad Kangjeng Bupati RAA Kusumasubrata. Bahkan Kangjeng Bupati pun sudah melaporkannya ke pemerintah pusat di Batavia. Mereka setuju dan akan membantu sepenuhnya. Maka bagaimana tak kecewa kalau kini rakyat Rancah sendiri banyak mengundurkan diri karena ketakutan atas kemarahan penghuni gaib?” kata Mang Sajum.
“Saya mengerti, Mang …”
“Kau musti berusaha mengembalikan kepercayaan Juragan Bendara padamu, Lendra. Sejak dari Krangkeng Indramayu kau sudah mengabdi. Jadi, jangan putuskan nilai pengabdianmu hanya karena ini, anak muda …” kata Mang Sajum.
“Saya sungguh mengerti, Mang …” jawab Lendra.
Sepulang dari perbincangan ini, Lendra jadi melamun sendirian. Dia gelisah dengan peristiwa ini. Pemuda ini merasa kalau majikannya merasa kecewa atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung baru-baru ini. Bendara R Bratanagara mendapat reputasi baik dengan kenaikan pangkat dari asisten wedana di Krangkeng hingga menjadi wedana di Rancah lantaran prestasinya di bidang pengairan.
Di wilayah Indramayu sana, Bendara Wedana sukses mengeringkan beberapa rawa hingga menjadi daerah pertanian subur. Maka akan merasa malu dan jatuh reputasinya bila dalam membuat rencana besar di daerah Rancah ini mengalami kegagalan hanya karena masalah gangguan makhluk gaib semata.
“Aku harus berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat Rancah terhadap kepemimpinan Juragan Wedana …” tuturnya dalam hati. Karena tekadnya sudah bulat, maka Lendra berpikir keras, bagaimana dan apa yang mula-mula harus dia kerjakan agar tujuannya terlaksana. [Bersambung]