5 PUISI A. APRIL

Rahim (bukan) Milik Bapak
pada saat aku melahirkan
jangan biarkan aku menyusui
harapan mutakhir milik akhir zaman
jangan biarkan aku menghabisi masa depan
sebab ingin kulahirkan ia yang mampu
tangis yang selesai
langkah gontai yang selamat
bisikan-bisikan dengan iman
yang tak segan bebas mencungkil isi kepala
saat kenyang akan air susu
yang tak tersia-siakan
meski aku harus rela kehabisan masa muda
***
CATATAN REDAKSIONAL
Rahim, Revolusi, dan Rasa Susu yang Tak Lagi Manis
oleh IRZI Risfandi
Kalau kamu berpikir puisi tentang rahim pasti akan dipenuhi bunga-bunga atau ibu-ibu yang sabar menanti anaknya tumbuh dewasa, rahim (bukan) milik bapak karya A. April akan mencabut seluruh asumsi itu dengan kuku bercat hitam dan gaya rambut messy chic. Puisi ini tidak sedang menenangkan siapa pun, dan dengan sinisme santun yang cerdas, ia mengutuk sistem patriarki dari akarnya: tubuh perempuan itu bukan warisan siapa-siapa, apalagi milik “bapak.” A. April menyeret pembaca ke ruang bersalin bukan untuk menciptakan kembali kodrat, melainkan menantangnya.
A. April, penyair muda dari Bintaro yang mulai unjuk gigi di media sosial sejak 2023, benar-benar tahu cara menggebrak dunia puisi dengan potret kehidupan urban yang liris namun tidak pernah lunak. Dalam puisi ini, ia mengambil momen melahirkan—sesuatu yang sering dibungkus romantika klise dalam puisi Indonesia—lalu memberinya twist postmodern: jangan harapkan aku menyusui harapan, karena aku sedang melahirkan sesuatu yang lebih tangguh dari impian. Lihatlah bait-baitnya yang kaya akan citraan paradoxical: “langkah gontai yang selamat,” “tangis yang selesai,” seakan-akan ia sedang mengajukan calon manusia baru, yang sudah kebal sejak dari kandungan.
Bait-bait April begitu sinematik. Ada rasa seperti sedang menonton potongan visual ala film A24: ruang bersalin suram, suara tangis bayi seperti gema sejarah yang tak selesai, dan tangan ibu yang gemetar bukan karena cinta semata tapi karena kelelahan melawan narasi usang. Ibu di sini bukan hanya peran biologis, melainkan juga figur resistensi yang memilih “kehabisan masa muda” demi menyusui makna, bukan hanya anak. Bahkan ada keberanian besar dalam menyandingkan iman dengan isi kepala, yang bisa dicungkil—pernyataan ini getir, dan penuh pertanyaan filosofis: warisan apa yang ingin kita teruskan lewat tubuh perempuan?
Dengan puisi ini, A. April bukan hanya menulis lirik. Ia sedang membentuk manifesto. Ia berdiri bersama generasi yang tak mau lagi membiarkan rahim jadi ladang simbolik milik ideologi siapa pun. rahim (bukan) milik bapak adalah penolakan terhadap pengkultusan perempuan dalam peran tunggal. Ia tidak anti-melahirkan, tetapi sangat anti terhadap glorifikasi yang melupakan luka dan ketimpangan. Ini puisi yang lahir dari tubuh yang marah, tapi tahu betul caranya bicara dengan nada yang tetap puitik, halus, dan—tentu saja—mematikan dengan manis.
Jadi jangan salah, A. April bukan sekadar penyair “iseng” di Instagram. Ia tahu betul cara mengemas amarah dalam kemasan estetik. Buku puisinya Per Kilometer (2024) mungkin belum semua orang tahu, tapi jika puisi seperti ini yang ia tawarkan, maka jarak antara satu kilometer dan revolusi bisa saja tinggal satu kata: lahir. Dan dalam puisi ini, lahir bukan hanya tentang bayi, tapi juga tentang kesadaran baru yang tak lagi tunduk pada siapa-siapa. Rahim sudah bicara, dan ternyata suaranya bukan bisik lirih—melainkan teriakan yang sangat puitik.
2025
***
Menghabisi Kemungkinan
ketika bibirmu seakan pisau
yang menciumi ketakutanku
merobek sela mataku perlahan
hingga hanya ada kekosongan
di
rongga
mata
menguap melalui kata kata
yang tak bisa di eja sesiapa
dan terus menerus memaksa
untuk mengeja kesalahan
kemunafikan
yang dilahirkan tanpa bapak
berlari telanjang tanpa kepala
berharap aku menjadi sebuah doa
yang tuhan sisipkan
di setiap kecupan
***
Seratusduapuluhkilomenujurumah
tik tok tik tok
tik
tok
tik tok
mungkin itu suara yang akan dibuat oleh
jam dinding jika ia sudi mangkal di tembok
kusam kamarku menontoni aku
yang kepalang resah sebab helaanmu terlalu tenang
ring ring ring!! ring!!
kriiiiingggg ring!
tenang, sayang. untukmu;
akan kuselesaikan panggilan
untuk kembali ke atas aspal
menerpa paradox yang biasanya
kembali ke dirimu yang entah di mana
aku akan menjadi mayat yang berjalan
menenteng perasaan dalam kantong sampah
kan ku buang secepatnya
ku tak butuh ustad, pastor dan juru agama
tidak usah disahkan
tidak perlu beralasan
ku hanya butuh kau selalu pulang
***
Lovehotel Jakpus
sayang, makan apa malam ini?
sebelum kita dibakar negara hidup-hidup
aku ingin menamatimu terlebih dahulu
siapa mereka ingin menghabisimu sebelum aku?
jangan tatap aku begitu
di luar sedang hujan lakrimator
kita hanya punya beberapa detik
tatap aku seolah aku bukanlah perlawanan terakhirmu
aku bukanlah bentuk ketidakadilan, sayang
ini adalah bentuk sepantas-pantasnya
maka tertawalah saat aku rela memberi
pisau dan kasa dari kantong belakang
panaskan api di kepalamu
hingga keringat mengucur kesela-sela tubuhku
akhiri aku sebelum gedung ini terbakar
sebelum aku menjadi milik negara
***
Kurasi Kurasa
ada pagi yang kuanggap kebangkitan
aku menemui bencana
yang tak kukenali haluannya
hingga
aku
kehilangan bahasa
keterangan menghilang
binasa
ditelan
dalam dalam
palung
dan panggilan yang menjemputku
rencana tutup mata
pertanggal tanggal yang ditanggalkan
oleh kemungkinan tertunda
tertata
terjarah
menjarah
kepada alamat yang meminta aku untuk
gagal
mengurasi rasa.
***
BIODATA :
A. April tinggal di Bintaro dan mulai mengunggah sajak-sajaknya di media sosial sejak tahun 2023. Karya-karyanya lahir dari pengamatan sehari-hari yang intim dan reflektif. Buku puisi terbarunya berjudul Per Kilometer, diterbitkan oleh Penerbit Velodrom pada tahun 2024.
Instagram: @apriladrn