5 PUISI PALITO

TARIAN SEMUT DI JANTUNG BUNGA MAWAR
Siapa perempuan itu,
Yang melemparkan
Gigi-giginya ke langit,
Lalu makan pizza raksasa
Yang sebenarnya
Disantap burung berkepala pelontos?
Di peta yang baru belajar bicara,
Kata-kata yang pernah ribut
Kini menari salsa,
Api di ucapannya
Menjelma kucing
Mengeongkan lagu pengantar tidur
Yang tak pernah selesai.
Tangan itu menggenggam jantung—
Berdenyut penuh bunga mawar,
Tapi mawar itu berteriak,
“jangan pegang aku!
Aku ini lanang!”
Di siang hujan bulan mei,
Awan-awan fashion show ke tanah,
Menyamar jadi domba
Yang melompat ke kolam susu,
Sementara bulan main perosotan
Di taman hiburan sampai lupa waktu,
& sepatu yang hilang sebelah telinga
Mencari pasangan di riuh pasar malam.
Gelombang laut memintal dirinya
Menjadi syal sampai capek,
Mentari bersin keseringan makan es krim,
& seorang penyair gila
Muncul dari kantong plastik ikan asin—
Kalimat-kalimat cintanya terbang
Seperti lagu pesawat kertas 365 hari
Yang dinyanyikan jkt48,
Menyampaikan pesan yang tidak pernah selesai,
Karena liriknya dicuri semut
Yang kini berdansa di atas jantung penuh bunga
& kembali ke peta yang baru belajar bicara—
Menyusun huruf-huruf yang pernah
Dihempaskan ke langit.
2025
BUNGA MENARI DI ATAS KEBINGUNGAN
Di malam selasa yang kehilangan ingatannya,
Tikus bersayap membawa pizza pepperoni—
Terlalu panas untuk dimakan,
Terlalu jauh untuk disentuh,
Terlalu khusyuk dalam rapat rahasia dengan jangkrik
Yang mengutuki nada-nada sumbang di antara semak.
Sementara itu, kalender tua meronta di sudut meja,
Halaman-halamannya lepas,
Berlarian seperti burung yang lupa
Cara mengepakkan sayap.
Rindu meleleh di kaca jendela,
Menggoreskan puisi dengan kuku retak,
Huruf-hurufnya melompat, berputar,
Terjebak di antara papan catur tanpa pion
& pertunjukan sulap yang gagal total—
Kelinci lupa keluar dari topi,
Penonton lupa tepuk tangan,
Pesulapnya terjebak di balik tirai hitam
Yang tak pernah dibuka.
Di luar, peri-peri kecil mengunyah keripik bintang
Yang jatuh dari langit dua detik sebelum subuh,
Menegakkan topi keong mereka yang sudah terlalu berat
Oleh janji-janji busuk,
Menghitung rindu yang kau lipat terlalu rapat
Dalam lemari yang terkunci dari dalam.
Lalu biru pirus jatuh seperti pecahan kaca,
Menggelinding di trotoar waktu yang tak ada ujungnya,
Menabrak pot bunga berisi batu,
& tiba-tiba bunga itu—
Berdansa sendiri, liar, brutal,
Memutar lehernya 360 derajat,
Tertawa seperti badut yang kehilangan penonton,
Menari di atas kebingungan yang kini tak lagi absurd,
Tapi nyata,
Seperti dunia yang terus berjalan
Tanpa sadar sudah tersesat.
2025
KUCING OVERDOSIS KOPI
Aku mulai berjalan,
Tapi langit tiba-tiba jatuh ke tanah
Jalan yang kukenali berubah jadi warna-warni yang digoreng,
Saat aku menoleh,
Langkahku menghilang,
Hanya tawa dari langit yang bingung
Kenapa tak ada tanda hujan
Kehilangan bukan soal waktu yang hilang,
Tapi soal jam yang lenyap
Seperti nasi goreng di meja—
Kadang kita terjebak di antara kata-kata
Yang tak punya rumah,
Seperti benang kusut di kepala kucing
Yang overdosis kopi
Pertemuan itu kayak dua planet
Yang menjaga jarak,
Di ruang angkasa tanpa tanda,
Tanpa sistem navigasi,
Mata kita bertemu, disambut suara
Kambing yang menari balet sambil nyanyi
Rock
Kita diam,
Ngobrolin filosofi ikan paus yang suka
Nonton tv.
Bingung, tapi enak,
Kayak makan ketupat pakai lauk lengkap
Kita berdiri,
Lalu berubah jadi bayangan yang kebetulan
Ditabrak bus.
Tak ada yang bisa dijelaskan,
Semua kata-kata jadi busuk di udara,
Terlalu banyak bau aneh—
Kayak pizza basi yang dipanggang ulang
Kita diam lagi,
Ngeliat dunia berputar tanpa arah.
Semua orang berjalan,
Kaki mereka terbalik.
Kita berdua—
Cuma tertawa,
Karena kita tahu,
Tak ada yang mengerti selain kita—
& mungkin juga kucing yang kelaparan itu
2025
BAPAK DAN VESPA PINK
Di hari yang saya ubah jadi hijau campur oren,
Bapak pakai singlet & sarungan merek cap kaki aduh
Lagi mencuci vespanya
Yang berwarna pink di teras rumah,
Sambil dengerin pidato alien di radio,
Tentang kebebasan berbicara.
“heleh! Kebebasan berbicara apaan?
Ngomongin kodok lagi tilang musim kemarau aja diringkus,”
Rutuk bapak, “kamu tipu banget.”
Air cucian motornya mengalir ke selokan masa kecil saya
Dengan seekor ikan mas yang jago nyanyi
Yang sudah pensiun dari dunia hiburan.
Kemarin, kami video call,
Meski sinyal di dunia bawah air sering kena sensor,
Ia duduk di atas batu sambil ngerokok
& ngopi & ngemil sepiring gorengan,
Lalu ia mengeluh,
“industri musik di bawah air kejam.”
Bapak menggosok motor vespanya
Sampai silau,
Kaca spionnya memantulkan siaran tv dari alam sebelah;
Terlihat saya kecil sedang berdebat dengan bayangan,
Tentang siapa yang seharusnya masuk sekolah duluan.
Lalu busa sabun perlahan membentuk wajah seseorang
Yang kayaknya saya kenal;
Entah wajah ibu yang mana
Suka mendongengkan saya
Sebelum beranjak jadi dewasa,
Tapi saya agak lupa,
Sebelum sempat mengingat
Sesuatu asing masuk ke kepala saya,
& saya pun lupa segalanya.
& saya lihat lagi bapak masih mengomel
Seakan melawan dunia dengan sarung
& sendal jepit,
Sampai akhirnya saya sadari,
Genangan ompol bapak mengalir pelan
Ke selokan lain,
Bersama busa sabun & sisa ilusi kebebasan berbicara,
Sementara langit tiba-tiba berganti jadi belahan buah pepaya.
Di radio, pidato alien masih berlanjut,
“… & begitulah kebebasan berbicara, saudara-saudara.”
2025
MALAM BARENG SETAN
Malam hari,
Di bawah pokok pisang,
Kutengok setan lagi ngemis dosa,
Pakaiannya lilin yang meleleh
& sendalnya tai yang mengering,
Menggoyang-goyangkan kaleng berkarat,
“seribu aja, modal masuk vip neraka,” katanya.
Aku rogoh kantong,
Duh, isinya cuma mimpi buruk,
& janji yang sering kubatalkan.
“nggak ada receh?” Tanyanya.
Aku menggeleng,
Tapi kutawarkan sebatang rokok.
Ia nyengir,
Menaruh rokok di lubang hidung,
Lalu mengembuskan api
Seperti naga lagi pilek,
Lalu pergi melenggang,
Meninggalkan bau kemenyan,
& bekas jejak sandal yang dari tai.
Aku pandangi punggungnya
Yang masuk ke dalam bayangannya sendiri,
Seperti asap yang cari colokan
Buat ngecas kepulan terakhirnya.
Kalau setan itu kembali lagi,
Mungkin aku harus belajar
Mengemis dosa juga,
Karena dunia terlalu pelit
Memberi pahala.
2025
CATATAN REDAKSIONAL
Malam, Setan, dan Sajak yang Menggoda
Oleh IRZI Risfandi
Dalam puisi “Malam Bareng Setan”, Palito mengajak kita menyusuri lorong absurd antara realitas dan imajinasi, di mana setan bukan lagi sosok menakutkan, melainkan makhluk yang mengemis dosa dengan pakaian lilin meleleh dan sandal dari kotoran mengering. Dengan gaya puitik yang centil dan usil, Palito menghadirkan dunia yang terbalik, di mana dosa menjadi komoditas dan pahala terasa langka. Puisi ini bukan sekadar permainan kata, melainkan kritik sosial yang tajam terhadap masyarakat yang sering kali lebih mudah menghakimi daripada memahami.
Palito, penyair muda asal Padang Pariaman, Sumatera Barat, lahir pada 18 Oktober 2001, dan menyelesaikan studi di Universitas PGRI Sumatera Barat pada tahun 2023. Sebagai penulis yang terus mengeksplorasi gaya kepenulisan reflektif, Palito dikenal dengan kecenderungannya membawa pembaca menyelami ruang-ruang gelap refleksi sosial dan eksistensial. Melalui puisi ini, ia berhasil menyajikan kritik sosial dengan cara yang ringan namun menggugah, mengajak pembaca untuk merenung tanpa merasa digurui.
Puisi ini juga memanfaatkan simbolisme yang kuat, seperti setan yang mengemis dosa dan rokok yang dihisap melalui hidung, untuk menggambarkan absurditas dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Palito berhasil menciptakan suasana yang sinematik, di mana setiap baitnya terasa seperti adegan dalam film surealis. Penggunaan metafora yang tidak biasa ini memberikan warna tersendiri dalam puisi, menjadikannya karya yang unik dan berkesan.
Dalam konteks yang lebih luas, “Malam Bareng Setan” dapat dibaca sebagai refleksi atas kondisi masyarakat yang sering kali terjebak dalam rutinitas dan kehilangan makna dalam kehidupan. Setan yang mengemis dosa bisa diartikan sebagai representasi dari sisi gelap manusia yang terus mencari pembenaran atas tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Melalui puisi ini, Palito mengajak pembaca untuk menghadapi kenyataan dengan jujur dan berani, serta tidak takut untuk mengakui kelemahan dan kesalahan diri sendiri.
“Malam Bareng Setan” adalah puisi yang berhasil menggabungkan unsur humor, kritik sosial, dan refleksi eksistensial dalam satu kesatuan yang harmonis. Dengan gaya penulisan yang khas dan berani, Palito menunjukkan bahwa puisi tidak harus selalu serius dan berat untuk menyampaikan pesan yang mendalam. Sebaliknya, dengan sentuhan kreativitas dan keberanian dalam bereksperimen, puisi dapat menjadi medium yang efektif untuk menyuarakan kegelisahan dan harapan dalam kehidupan manusia.
2025
BIODATA :
Palito, lahir di Kabupaten Padang Pariaman, 18 Oktober 2001. Ia menyelesaikan studi Strata 1 (S1) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling (BK) di Universitas PGRI Sumatera Barat (UPGRISBA) pada tahun 2023.
Palito dikenal sebagai penulis muda yang terus belajar dan mengeksplorasi gaya kepenulisan reflektif, dengan kecenderungan membawa pembaca menyelami ruang-ruang gelap refleksi sosial dan eksistensial.
Instagram: @paa_litoo