Benahi Sengkarut Negara
Masalah Indonesia: penjaga komunitas abai memupuk tata nilai (akhlak, mental-kultural); penyelenggara negara abai memperbaiki tata kelola pemerintahan; pasar (dunia usaha) sibuk memperkaya perseorangan, mengabaikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, apa pangkal sengkarut kehidupan negara kita? Sebagai insight, bisa kita baca buku “The Third Pillar” (2019), karya Raghuram Rajan (mantan gubernur ke-23 Bank Sentral India, chief economist dan direktur riset IMF; sekarang profesor di The University of Chicago).
Dalam pandangannya, entah berapa banyak hutan ditebang untuk menulis buku yang menggambarkan bahwa daya kembang suatu negara-bangsa ditentukan oleh hubungan bilateral antara pilar “negara” (state) dan “pasar” (market).
Wacana dominan seperti itu melupakan peran “komunitas” (aspek sosial dari masyarakat) dalam perkembangan kehidupan bangsa. Padahal, komunitas itu rahim negara dan pasar.
Pada mulanya, kehidupan sosial berpusat di komunitas, tempat segala urusan bersama (politik) dimusyawarahkan dengan melibatkan seluruh anggota komunitas; produksi dikerjakan oleh semua untuk kepentingan semua. Kemudian, otoritas politik berkembang kompleks dengan kekuatan pemaksanya yang melahirkan negara, dengan logika kepentingan dan mekanismenya tersendiri yang terpisah dari komunitas.
Sedang institusi ekonomi berkembang jauh mendorong institusi pasar yang bersifat independen, dengan kepentingannya sendiri, yang meninggalkan komunitas. Sejak itulah, peran komunitas cenderung ditinggalkan.
Padahal, komunitas–sebagai ranah pembudayaan tata nilai dan basis sosiabilitas–memiliki peran penting yang tak bisa digantikan oleh negara dan pasar. Membangun negara-bangsa (sebagai rumah bersama) dengan persatuan dan keadilan menuntut keseimbangan peran negara, pasar dan komunitas.
Terlalu lemah negara, kehidupan bangsa penuh ketakutan, anarkisme dan apatisme. Terlalu lemah pasar, bangsa jadi tak produktif. Terlalu lemah komunitas, bangsa mengarah pada oligarki (crony capitalism).
Sebaliknya, terlalu kuat negara, kehidupan bangsa terbelenggu otoritarianisme. Terlalu kuat pasar, bangsa jadi tak berkeadilan. Terlalu kuat komunitas, bangsa jadi statis.
Masalah Indonesia: penjaga komunitas abai memupuk tata nilai (akhlak, mental-kultural); penyelenggara negara abai memperbaiki tata kelola pemerintahan; pasar (dunia usaha) sibuk memperkaya perseorangan, mengabaikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. [ ]