Swara Aceh
“…ketiga buku ini adalah antitesis dari slogan-slogan mati, jargon kosong yang dikaitkan dengan Pancasila, lalu diperdebatkan tanpa kedalaman substansi, hakikat dan relevansinya dengan hidup sehari-hari dalam hukum, politik, sosial, kebudayaan dan pemerintahan.”
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Di benak banyak orang, Aceh mungkin terbayang sebagai kawasan budaya homogen. Nyatanya, Aceh adalah suatu pusat penyerbukan lintas etnis, ras dan budaya, yang berpadu dalam mosaik pelangi yang indah.
Secara “kirata”, sebutan Aceh dinisbatkan pada singkatan dari Arab, Campa (Cina), Eropa, Hindustan (India). Namun, menurut Denys Lombard, secara etimologis, “Aceh” kemungkinan berasal dari kata “acin”, sejenis tanaman yang tumbuh luas di kawasan itu.
Apapun, Aceh adalah salah satu manifestasi “Bhinneka Tunggal Ika”, yg menjadi pilar penyokong keindonesiaan. Aceh jadi “daerah modal” dalam revolusi Indonesia; bahkan berkontribusi besar dalam rintisan pengembangan bahasa-sastra Melayu Nusantara. Kekhasan karakter dan keindahannya memberi warna tersendiri dalam tamansari keindonesiaan.
Berikut saya tampilkan testimoni seorang ilmuwan Aceh, Wiratmadinata, S.H., M.H. atas karya saya.
“Bagi saya, ketiga buku (“Negara Paripurna”, “Mata Air Keteladanan” dan “Wawasan Pancasila”) adalah ‘Kitab Tafsir’ paling aktual terhadap Pancasila. Buku-buku ini sangat penting di tengah kian jauhnya cita-cita bangsa dari apa yang diamanahkan para pendiri bangsa.
Saat ini kita seperti sedang diseret pada arus dan pusaran beragam ideologi yang jauh dari kepribadian dan karakter Indonesia, yang sejatinya begitu luhur dan genius sebagaimana diajarkan Pancasila.
Pancasila jadi hidup dan relevan dalam ketiga buku ini, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari, maupun pada tataran kenegaraan. Dengan kata lain, ketiga buku ini adalah antitesis dari slogan-slogan mati, jargon kosong yang dikaitkan dengan Pancasila, lalu diperdebatkan tanpa kedalaman substansi, hakikat dan relevansinya dengan hidup sehari-hari dalam hukum, politik, sosial, kebudayaan dan pemerintahan.
Di ‘Jalan Pancasila’, yang makin hari makin sunyi, dan ‘akhlak berbangsa yang makin hari makin kering’, ketiga buku ini mengajak kita kembali menemukan hakikat Pancasila yang merupakan warisan paling substantif bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Saya membaca buku ini, karena ingin menempuh Jalan Pancasila itu.” [ ]