Veritas

Bagaimana Memahami Para Covidiot?

Ini sebabnya para Covidiot berkeliaran karena merasa kebal dan hanya menyaksikan dari layar televisi para korban Covid dibungkus plastik dan dimakamkan. Betapa jauh terasa dari hidup mereka sehari-hari, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa virus laknat itu tak mungkin menghampiri mereka.

Oleh : IGG Maha S. Adi

Covidiot:

· Someone who ignores the warnings regarding public health or safety.

· A person who hoards goods, denying them from their neighbors.

· Public officials who underestimate the global pandemic, the number of victims or its spread.

Urban Dictionary menyusun dua definisi pertama, yang terakhir dari saya. Sangat disayangkan jika idiot dari jenis terakhir itu-dan yang paling berbahaya-justru  kita abaikan.

Para Covidiot yang berkeliaran memang memusingkan. Ultimum remedium untuk mereka adalah pidana penjara dan denda, sesuai sanksi pelanggaran UU Karantina Kesehatan. Dalam situasi sistem jaring pengaman sosial tidak bekerja sempurna saat periode pembatasan sosial,  tampaknya penegakan hukum yang legalistis perlu ekstra hati-hati berhadapan dengan covidiot khususnya dari jenis yang berdilema, “Keluar rumah atau mati kelaparan!” Dalam ketikdaksempurnaan sistem pengaman, akan ada yang tercecer, tak terdata atau terdata tetapi terlewati sebagai penerima bantuan sosial, seperti missing data dalam sebuah dataset yang besar.

Bagaimana menjelaskan mereka yang punya pilihan untuk  bekerja dari rumah serta sanggup membatasi interaksi sosialnya, tetapi memilih tetap keluar rumah sekedar melepas kebosanan, berkeliling tak tentu arah, masih makan di café atau restoran karena bosan menu di rumah, bersenda gurau tanpa jarak dan masker, para pedagang yang tak mengindahkan pemakaian masker, atau ribuan pemudik yang kembali ke kampung halaman tanpa tes Covid terlebih dahulu?

Perilaku individu dalam kelompok atau komunitas biasanya dijelaskan pakar psikologi sosial.  Sembari menunggu uraian para pakar ini, ada analogi yang mungkin cocok menjelaskan fenomena itu, diambil dari salah satu bab dalam ‘David and Goliath’, buku karya Malcolm Gladwell yang mengutip kesimpulan penelitian  psikiater Kanada, J.T. MacCurdy tentang dampak psikologis serangan Luftwaffe—angkatan  udara Jerman, atas kota London selama Perang Dunia II. ‘The Structure of Morale’ adalah karya MacCurdy yang dikutip itu.

Begini cerita singkatnya: Luftwaffe melancarkan serangan The Blitz atas London pada musim gugur 1940 selama 57 malam tanpa jeda, dengan menghujamkan puluhan ribu ton bom berdaya ledak tinggi dan sejuta bom api ke kota itu. Akibatnya,  40 ribu orang tewas, 46 ribu orang terluka dan sejuta bangunan hancur. Sebagian warga London memang sudah diungsikan ke desa, ribuan orang tinggal di shelter kereta bawah tanah. Tetapi banyak keluarga yang enggan mengungsi, dan essential workers tetap melayani kota seperti saat pandemi ini.

Prediksinya muram. Angkatan bersenjata Inggris memperkirakan setidaknya 600 ribu orang akan tewas dan 1,2 juta terluka akibat pengeboman. Banyak warga London akan dilanda kepanikan, depresi, dan gangguan kejiwaan lainnya, sehingga tentara menyiapkan beberapa rumah sakit jiwa.

Tetapi, apa yang terjadi? Semua RS Jiwa itu kosong. Tak seorang pun warga London panik. Survei keliling kota oleh MacCurdy mendapati bahwa warga yang masih tinggal ternyata berkegiatan seperti biasa, bahkan ketika bunyi sirene serangan udara meraung dan pesawat musuh terdengar banyak yang merasa  tak perlu buru-buru bersembunyi. Dari pengamatan dan pemeriksaan atas catatan harian penduduk London, ia sampai pada kesimpulan bahwa pengeboman itu telah membagi warga kota ke dalam tiga kelompok dan pembagian ini bisa dianalogikan dengan para Covidiot merespons pandemi Covid-19 saat ini.

Pertama People Killed atau Direct Hit, yaitu orang-orang yang tewas karena bom atau samakan saja dengan kematian karena Covid-19. MacCurdy menulis, walau pun ada rasa kehilangan yang besar atas para korban ini, tetapi yang mati tidak menentukan moralitas komunitas. Adalah para penyintas yang memaknai  semua itu. Para korban selamat dari bom ini akan memiliki karakter yang lebih disiplin dan kuat. Jika ada teman kita mati karena Covid-19, bisa diharapkan yang selamat akan lebih berhati-hati menjaga kesehatannya dan mungkin menjadi kelompok yang paling patuh terhadap PSBB.

Kedua Near Misses atau nyaris kena. Kalau Anda atau suami/istri/anak pernah berstatus pasien dalam pengawasan atau positif Covid19 lalu sembuh, maka situasi pasca itu menurut MacCurdy akan menghasilkan trauma. Anda mungkin diliputi rasa takut terhadap virus Corona, takut penyakit itu kambuh, dihantui bayangan atas apa yang telah menimpa Anda atau keluarga terdekat Anda. Ketika hidup harus berjalan, Anda dalam situasi konstan “bernegosiasi” dengan luka-luka psikis itu.

Terakhir Remote Misses atau luput. Nah, kondisi psikologi inilah yang cukup banyak dijumpai pada penduduk London. Tahun 1940, kota itu berpenduduk 8 juta orang dan korban yang tewas “hanya” 40 ribu orang yang tersebar di seluruh kota. Bayangkan, begitu banyak yang selamat, begitu banyak yang cuma menyaksikan dari jauh bagaimana bom-bom berjatuhan, atau hanya mendengarnya dari siaran BBC, dan tak sedikit pun yang melukai mereka. Bahkan ada penduduk yang menganggapnya sebagai hiburan dan tak mau diungsikan.

Seorang Bapak yang dua kali kejatuhan bom di dekat rumahnya, tetap menolak mengungsi. “Lalu aku harus meninggalkan semua ini? Tidak. Bahkan demi semua emas di Cina. Yang begini tak akan pernah terjadi lagi. Tidak akan,”katanya beralasan.

Catatan seorang ibu yang rumahnya dua kali terkena namun ia tak terluka, menulis dengan nada gembira penuh kemenangan di dalam buku hariannya, “Aku dibom… aku dibom…baru kali ini aku mengalami kebahagiaan murni tanpa cacat.” Jenis ketiga ini menghasilkan manusia yang “riang dan merasa kebal.”

Indonesia berpenduduk sekitar 267 juta jiwa dengan penduduk tersebar pada begitu banyak pulau. Menurut pengumuman pemerintah, sampai minggu ini jumlah korban jiwa belum sampai 500 orang, dengan sekitar 5 ribu orang positif Covid-19. Itupun terkonsentrasi di beberapa kota dan kawasan. Sama persis dengan kondisi London tahun 1940.

Ini sebabnya para Covidiot berkeliaran karena merasa kebal dan hanya menyaksikan dari layar televisi para korban Covid dibungkus plastik dan dimakamkan. Betapa jauh terasa dari hidup mereka sehari-hari, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa virus laknat itu tak mungkin menghampiri mereka.

Sains v. anti-sains?

Beberapa orang menulis, kelambanan deteksi dini pemerintah (Indonesia?) atas Covid-19 disinyalir sebagai fenomena anti-sains para aktor kekuasaan ini. Benarkah? Saya pribadi menganggap loncatan kesimpulan ini cukup jauh, dan lemah sebagai pisau analisis atas fenomena yang ada.

Pertama-tama, mari kita samakan pendapat bahwa sains (science) itu bukan hanya rumpun Fakultas Matematika dan Ilmu Alam yang orang  sering sebut juga eksakta.  Pendapat itu sudah obsolete sejak abad ke-16 ketika metode ilmiah dirumuskan dan sains modern berkembang. Sains modern mencakup ilmu sosial dan ilmu formal. Silakan merujuk kepada berbagai literatur untuk isu ini. Siapa yang berani mengatakan bahwa segala macam beleid terkait Covid ini tidak berdasarkan sains—setidaknya ilmu politik, hukum, sosiologi, dan filsafat? 

Mari melihat Donald Trump, yang menurut saya paling “berkesan anti-sains.” Tak pernah sekalipun ia menyanggah atau mengabaikan sains dalam pengertian bukti keras dari penelitian dan analisis ilmiah Covid-19. Nuansa yang kental dari setiap konferensi pers Gedung Putih soal Covid adalah politik dan ekonomi.

Kelambanan pemerintah atau kesan meremehkan pandemi ini, betata pun itu salah dan memuakkan, tidak identik dengan basis pemikiran mereka. Itu sinyal tarikan dan dorongan kepentingan, terutama politik ekonomi, karena mereka organisasi politik. 

Dalam soal sains, ada banyak teori operasi sains di ruang publik, dan jika determinannya adalah kondisi sosial-politik seperti tarikan kepentingan para oligarki, kartel, atau kelompok kepentingan lain maka ia antara lain dikategorikan Co-production Model, dimana konteks sospol mendominasi pengambilan kebijakan (Mike Hulme menjelaskan dalam ‘Why We Disagree about Climate Change’  karena perubahan iklim mengalami fenomena yang sama).  Sains tetap akan menjadi instrumen rasional dalam kebijakan publik. Dan rasionalitas kekuasaan penting di dalam situasi krisis.  Pertanyaannya sama sekali tidak eksak, tetapi politis: Kelompok kekuasaan yang mana akan menggunakan sains apa, dan untuk kepentingan siapa.

Usul nih..

Jika mengikuti MacCurdy, yang dibutuhkan adalah terapi kejut near misses.  Polisi bisa menyamar berbaur layaknya pengunjung biasa di berbagai tempat yang masih dipakai berkumpul para Covidiot. Polisi berpakaian resmi masuk dan melakukan rapid test mendadak. Pastikan si penyamar dinyatakan positif Covid lalu digelandang masuk ambulans dengan perlakuan standar terduga Covid19 bila perlu didramatisasi seperti pesakitan, dan pastikan pula semua mata menyaksikannya.

Zona aman semua pengunjung tiba-tiba menjadi area berbahaya dan kecemasan melanda semua orang karena Sang Penular begitu dekat dengan mereka.   Situasi ini akan menimbulkan trauma berada di kerumunan saat PSBB.  Barangkali inilah yang sanggup membubarkan mereka. [ ]

Back to top button