Crispy

Yuk Cek Kebenaran Seputar Mitos Vaksin

JERNIH – Ada beberapa mitos tentang vaksin dan imunisasi yang berseliweran di tengah masyarakat.  Tidak sedikit mitos membuat masyarakat enggan menjalani vaksinasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengamini bahwa satu dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin.

Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli menyebutkan beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu. Hal itu diungkapkannya dalam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin (12/10/2020) yang mengangkat Cek Fakta Seputar Mitos Vaksin.

Mitos apa saja yang perlu diluruskan, berikut ini penjelasan Windhi.

1. Mitos penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja

Windhi tak menampik pola hidup sehat adalah kebiasaan baik. Namun ia mengingatkan, cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Fakta soal anggapan ini bisa kita lihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang.

Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak. Yang perlu digaris bawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat.

Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul sekte atau kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Lalu diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak. “Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi,” ujar Windhi.

2. Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit

Windhi menjelaskan bahwa bila pun mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

“Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit,” ujar Windhi.

3. Mitos vaksin ada kandungan zat berbahaya

Windhi menegaskan bahwa hal ini keliru. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama: aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya panjang prosesnya.

“Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal,” ujar Windhi.

4. Mitos vaksin sebabkan autisme

Windhi memastikan bahwa tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.

Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun. “Angka autis malah naik. Artinya tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal,” kata Windhi.

Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika. “Jadi jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet” kata Windhi.

5. Mitos vaksin mengandung sel janin aborsi

Windhi pun membantah hal ini. Ia menjelaskan, virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak. Misalnya, virus campak, rubella, polio, bahkan SARS Cov-2 memerlukan inang berupa sel hidup.

Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

“Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja,” kata Windhi.

6. Mitos penyakit yang sudah ada vaksinnya, tak perlu vaksinasi lagi

Ini pun jelas hoaks. Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu. Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.

“Di AS juga terjadi, tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita,” jelas Windhi.

7. Isu halal-haram vaksin

Windhi menyampaikan bahwa isu ini hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas Muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi. Semua masyarakat dunia pun sepakat pentingnya vaksin.

“Dan peserta haji wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita doang. Jadi pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik. Supaya dapat komponen vaksin,” kata Windhi.

Ia mengatakan, masyarakat perlu memahami bahwa tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin. enzim ini akan dimurnikan kembali sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin. Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin.

“Seandainya tetap tidak mau. Karena bersinggungan, kita merujuk negara lain yang maju yang mayoritas Muslim dan MUI yang sudah sampaikan halal. Untuk kebaikan dan dalam keadaan mencegah penyakit yang lebih berat dan berbahaya, vaksin halal,” katanya. [*]

Back to top button